Seberapa semangat Anda dalam mencari makanan ditentukan dari seberapa besar rasa lapar tersebut.
Dalam konteks kebebasan finansial, rasa lapar adalah kesenjangan antara mimpi kebebasan finansial dan realitas Anda sekarang.
Semakin besar rasa lapar Anda, semakin banyak informasi yang akan Anda serap, semakin banyak tindakan yang akan Anda lakukan, semakin banyak sumber daya yang akan Anda investasikan. Tetapi jika mimpi Anda dan realitas telah menjadi satu (dan Anda tidak lagi memiliki mimpi), maka penyerapan informasi, tindakan atau investasi mungkin tidak akan Anda lakukan.
Namun, jika Anda lapar untuk mencapai kebebasan finansial, semakin besar kesenjangan antara realitas dan impian Anda, maka semakin penting bagi Anda untuk meraih informasi, melakukan apa pun yang diperlukan dan menginvestasikan sumber daya.
Terlepas dari apa yang dilakukan oleh pemerintah, pakar ekonomi, atau wakil rakyat sekalipun, mereka tidak akan membuat perubahan dalam perekonomian pribadi Anda. Anda dan hanya Anda yang bisa mengubah itu. Dan jika Anda tidak memutuskan untuk mengubah itu, Anda mungkin akan tenggelam lebih dalam dan lebih dalam lagi dalam pasir hisap kebutuhan hidup.
Dibutuhkan disiplin untuk menjaga impian Anda lebih besar dari kenyataan. Dibutuhkan keberanian untuk menyatakan hal-hal yang tidak lagi ingin Anda alami.
Hal tersebut dapat berupa:
* Saya tidak lagi bersedia untuk menerima gaya hidup saat ini.
* Saya tidak lagi bersedia menerima jumlah stres yang saya hadapi dalam hidup saya.
* Saya tidak lagi bersedia dibebani tagihan yang tidak mampu saya bayar.
* Saya tidak akan lagi menelantarkan pasangan saya dan anak-anak saya.
Apa yang ada dalam benak Anda?
Kenyataan/realitas apa yang tidak lagi dapat Anda terima?
Seberapa besar kesenjangan antara kenyataan/realitas dan impian kebebasan fiansial Anda?
Anda memiliki tanggung jawab terhadap diri sendiri dan keluarga untuk bergerak ke arah impian Anda. Tidak ada yang perduli terhadap perekonomian Anda selain diri Anda sendiri. Majikan atau atasan Anda hanya perduli terhadap perekonomian dirinya sendiri.
Lalu siapa yang akan mewujudkan impian Anda untuk mencapai kebebasan finansial?
Satu peribahasa bijak mengatakan:
Jangan sampai besar pasak daripada tiang. Anda pasti tak asing dengan pepatah
berisi wejangan agar jangan sampai seseorang punya pengeluaran yang lebih besar
daripada penghasilan itu.
Wejangan peribahasa tersebut tentu tak hanya berlaku untuk kondisi keuangan saat ini. Sebab, keluarga yang bijak tentu harus punya rencana keuangan dalam jangka panjang, dengan tujuan agar mencapai hidup sejahtera saat ini dan di masa yang akan datang. Syukur-syukur keluarga bisa segera mencecap kebebasan finansial atau financial freedom.
Apa, sih, yang dimaksud financial freedom? Anda yang kerap mengikuti seminar keuangan pasti tak asing dengan istilah ini. Sebenarnya, tak ada rumusan baku tentang pengertian financial freedom. Jadi, jangan heran kalau tiap perencana keuangan memiliki interpretasi yang tak seragam benar.
Direktur Senior Partner OneShildt Financial Planning Budi Raharjo, misalnya, berpendapat, financial freedom adalah kondisi ketika seseorang bisa mencukupi kebutuhan dan gaya hidup tanpa harus bekerja. Orang itu mendapatkan uang dari aset produktif yang bisa memberikan penghasilan rutin. "Merencanakan financial freedom penting karena suatu saat orang bakal kehilangan kemampuan bekerja," ungkap Budi.
Perencana keuangan dari Tatadana Consulting Felicia Imansyah menyodorkan dua syarat seseorang berada dalam kondisi financial freedom. Pertama, senada dengan Budi, seseorang dikatakan bebas secara finansial jika tak lagi mengeluarkan banyak tenaga dan waktu untuk mencukupi kebutuhan. Kebutuhan dipenuhi dari aset yang memberi penghasilan rutin.
Kedua, jumlah penghasilan setidaknya tiga kali dari pengeluaran. Jarak atau gap yang jauh antara penghasilan dan pengeluaran memberikan peluang bagi seseorang untuk mengembangbiakkan dana pada instrumen invetasi.
Sedikit berbeda dengan Budi dan Felicia, perencana keuangan dari Finansia Consulting Eko Endarto tak mematok pada banyak aset atau penghasilan. Sejauh dapat mencukupi kebutuhan pokok, dana pensiun dan dana pendidikan tersedia, dana darurat aman, dan masih bisa melakukan hal-hal menyenangkan, seperti berlibur, keluarga ini sudah bisa disebut dalam kondisi financial freedom.
Dengan kata lain, financial freedom bersifat subjektif bagi setiap keluarga. "Seseorang dengan jumlah aset dan penghasilan lebih sedikit bahkan bisa disebut sudah berada dalam financial freedom dibandingkan dengan orang yang memiliki aset dan penghasilan banyak tapi pengelolaan keuangannya berantakan," beber Eko.
Bagaimana dengan utang? Eko bilang, financial freedom bukan berarti tak berutang. Selama cicilan utang terkalkulasi dengan baik dan keluarga tak merasa terbebani dengan cicilan tersebut, keluarga tetap bisa disebut memiliki kemerdekaan finansial.
Sementara, menurut Felicia, kalaupun ada utang, sebaiknya, utang itu tidak bersifat konsumtif melainkan produktif. Duit hasil berutang itu dijadikan modal usaha dan hasil usaha diputar kembali untuk memajukan usaha.
Wejangan peribahasa tersebut tentu tak hanya berlaku untuk kondisi keuangan saat ini. Sebab, keluarga yang bijak tentu harus punya rencana keuangan dalam jangka panjang, dengan tujuan agar mencapai hidup sejahtera saat ini dan di masa yang akan datang. Syukur-syukur keluarga bisa segera mencecap kebebasan finansial atau financial freedom.
Apa, sih, yang dimaksud financial freedom? Anda yang kerap mengikuti seminar keuangan pasti tak asing dengan istilah ini. Sebenarnya, tak ada rumusan baku tentang pengertian financial freedom. Jadi, jangan heran kalau tiap perencana keuangan memiliki interpretasi yang tak seragam benar.
Direktur Senior Partner OneShildt Financial Planning Budi Raharjo, misalnya, berpendapat, financial freedom adalah kondisi ketika seseorang bisa mencukupi kebutuhan dan gaya hidup tanpa harus bekerja. Orang itu mendapatkan uang dari aset produktif yang bisa memberikan penghasilan rutin. "Merencanakan financial freedom penting karena suatu saat orang bakal kehilangan kemampuan bekerja," ungkap Budi.
Perencana keuangan dari Tatadana Consulting Felicia Imansyah menyodorkan dua syarat seseorang berada dalam kondisi financial freedom. Pertama, senada dengan Budi, seseorang dikatakan bebas secara finansial jika tak lagi mengeluarkan banyak tenaga dan waktu untuk mencukupi kebutuhan. Kebutuhan dipenuhi dari aset yang memberi penghasilan rutin.
Kedua, jumlah penghasilan setidaknya tiga kali dari pengeluaran. Jarak atau gap yang jauh antara penghasilan dan pengeluaran memberikan peluang bagi seseorang untuk mengembangbiakkan dana pada instrumen invetasi.
Sedikit berbeda dengan Budi dan Felicia, perencana keuangan dari Finansia Consulting Eko Endarto tak mematok pada banyak aset atau penghasilan. Sejauh dapat mencukupi kebutuhan pokok, dana pensiun dan dana pendidikan tersedia, dana darurat aman, dan masih bisa melakukan hal-hal menyenangkan, seperti berlibur, keluarga ini sudah bisa disebut dalam kondisi financial freedom.
Dengan kata lain, financial freedom bersifat subjektif bagi setiap keluarga. "Seseorang dengan jumlah aset dan penghasilan lebih sedikit bahkan bisa disebut sudah berada dalam financial freedom dibandingkan dengan orang yang memiliki aset dan penghasilan banyak tapi pengelolaan keuangannya berantakan," beber Eko.
Bagaimana dengan utang? Eko bilang, financial freedom bukan berarti tak berutang. Selama cicilan utang terkalkulasi dengan baik dan keluarga tak merasa terbebani dengan cicilan tersebut, keluarga tetap bisa disebut memiliki kemerdekaan finansial.
Sementara, menurut Felicia, kalaupun ada utang, sebaiknya, utang itu tidak bersifat konsumtif melainkan produktif. Duit hasil berutang itu dijadikan modal usaha dan hasil usaha diputar kembali untuk memajukan usaha.
Tak selalu wirausaha
Meski masing-masing perencana keuangan memiliki persepsi sendiri tentang financial freedom, setidaknya ada satu garis merah yang bisa ditarik. Yakni, financial freedom adalah kondisi ketika seseorang tidak terbebani dari sisi keuangan, sebesar apa pun aset dan penghasilan yang dimiliki.
Ketiga perencana keuangan sepakat bahwa financial freedom mungkin dicapai oleh siapa pun dengan profesi apa pun, termasuk karyawan kantoran. Peluang bebas secara finansial pun bisa dicapai tanpa harus menanggalkan status sebagai karyawan. Meskipun dalam pandangan yang lebih banyak berkembang disebut bahwa untuk mencapai kebebasan finansial, seseorang harus keluar dari pekerjaan dan menjadi wirausaha. Alasannya, bila hanya mengandalkan gaji, kehidupan seseorang hanya begitu-begitu saja.
Perlu Anda ketahui bahwa banting setir dari karyawan menjadi wirausaha itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh nyali besar menjadi wirausaha karena banyak risiko yang mungkin dihadapi, seperti kegagalan usaha yang dirintis.
Tak heran, salah satu faktor yang mengganjal niat merealisasikan diri menjadi wirausaha adalah soal "keamananan" dari sisi finansial. Hal lain, pilihan seseorang menjadi karyawan di sebuah bidang tak semata-mata mengincar gaji. Dia juga ingin mengaktualisasikan diri pada bidang yang memang digemari sambil menjalin relasi dengan rekan kerja di kantor dan luar kantor. Bayangkan jika orang tersebut lantas memutuskan diri menjadi wirausaha, kebutuhan mengaktualisasikan diri dapat tercerabut.
Bisa saja dia memilih menjadi wirausaha di bidang yang diminati. Namun, tentu ada suasana berbeda yang dirasakan antara jadi karyawan di kantor dan wirausaha.
Jadi, kebebasan finansial bagi karyawan diartikan sebagai kondisi saat seseorang tetap bisa mengaktualisasikan diri sebagai karyawan, tapi sejatinya pengeluaran dan kebutuhannya dicukupi dari sumber lain, yakni aset aktif yang ia miliki.
Meski masing-masing perencana keuangan memiliki persepsi sendiri tentang financial freedom, setidaknya ada satu garis merah yang bisa ditarik. Yakni, financial freedom adalah kondisi ketika seseorang tidak terbebani dari sisi keuangan, sebesar apa pun aset dan penghasilan yang dimiliki.
Ketiga perencana keuangan sepakat bahwa financial freedom mungkin dicapai oleh siapa pun dengan profesi apa pun, termasuk karyawan kantoran. Peluang bebas secara finansial pun bisa dicapai tanpa harus menanggalkan status sebagai karyawan. Meskipun dalam pandangan yang lebih banyak berkembang disebut bahwa untuk mencapai kebebasan finansial, seseorang harus keluar dari pekerjaan dan menjadi wirausaha. Alasannya, bila hanya mengandalkan gaji, kehidupan seseorang hanya begitu-begitu saja.
Perlu Anda ketahui bahwa banting setir dari karyawan menjadi wirausaha itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh nyali besar menjadi wirausaha karena banyak risiko yang mungkin dihadapi, seperti kegagalan usaha yang dirintis.
Tak heran, salah satu faktor yang mengganjal niat merealisasikan diri menjadi wirausaha adalah soal "keamananan" dari sisi finansial. Hal lain, pilihan seseorang menjadi karyawan di sebuah bidang tak semata-mata mengincar gaji. Dia juga ingin mengaktualisasikan diri pada bidang yang memang digemari sambil menjalin relasi dengan rekan kerja di kantor dan luar kantor. Bayangkan jika orang tersebut lantas memutuskan diri menjadi wirausaha, kebutuhan mengaktualisasikan diri dapat tercerabut.
Bisa saja dia memilih menjadi wirausaha di bidang yang diminati. Namun, tentu ada suasana berbeda yang dirasakan antara jadi karyawan di kantor dan wirausaha.
Jadi, kebebasan finansial bagi karyawan diartikan sebagai kondisi saat seseorang tetap bisa mengaktualisasikan diri sebagai karyawan, tapi sejatinya pengeluaran dan kebutuhannya dicukupi dari sumber lain, yakni aset aktif yang ia miliki.
sumber :
http://personalfinance.kontan.co.id/news/apa-sih-financial-freedom
http://suksesitubebas.com/2012/11/13/kebebasan-finansial/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar