Halaman

Rabu, 24 Juli 2013

Kisah Ashabul Kahfi dibuktikan dengan Ilmu Pengetahuan Modern

Seorang pemuda terheran-heran melihat keadaan kota sudah berubah, penduduknya dan bangunan yang ada di sana. Dia bermaksud membeli makanan pagi itu untuk dia dan 6 temannya yang lain. Saat membayar, si penjual kaget karena uang pembayaran yang dipakai itu sudah tak laku lagi. Uang tersebut bergambar raja Diqyanus yang sudah berumur 300 tahun lebih.
 

Beberapa orang yang berkerumun di dekat warung menuduhnya sebagai penipu. Beberapa lagi mengatakan pemuda itu kurang waras alias gila. Bahkan beberapa orang mengira bahwa pemuda itu mengetahui tempat harta karun.

Sang pemuda menjadi kerumunan dan perbincangan orang-orang disekitar warung makan tersebut. Dia merasa heran, mengapa pedagang makanan tak mau menerima uang pembayaranya dan mengatakan bahwa uang itu sudah tak laku lagi. Padahal ia merasa bahwa uang itu hasil penjualan domba yang diperoleh sehari sebelumnya. Sesaat sebelum dia berlindung dan tidur di sebuah gua bersama teman-temanya yang lain.

Cerita di atas merupakan cuplikan kisah 7 orang pemuda dan seekor anjing. Demi menjaga iman, mereka melarikan diri dari raja Diqyanus. Penguasa Romawi (249-251 M) yang kejam dan menganggap dirinya sebagai Tuhan. Lalu bersembunyi di sebuah gua. Atas kekuasaan Allah Subhanallahu wa ta’ala, mereka ditidurkan selama lebih dari 3 abad (309 tahun) dan bangun di jaman yang berbeda. Peristiwa ini dikisahkan dalam Al-Qur’an surat al-Kahfi

Ada tiga versi tentang gua yang dimaksud dalam kisah Ashabul Kahfi tersebut. Yang pertama adalah gua Ephesus di Anatolia Turki, yang kedua sebuah gua Damsyik Syiria, dan yang ketiga di Amman, Jordan. Karena ada beberapa versi ini maka para ahli arkeologi, para ulama klasik dan kontemporer melakukan penelitian di ketiga tempat tersebut. Mencocokannya dengan keterangan dalam Al-Qur’an.

Kesimpulannya, gua yang berada di Ar-Raqim Jordan inilah yang mendekati seperti yang digambarkan dalam Al-Qur’an sebagai tempat persembunyian Ashabul kahfi. Salah satu yang memperkuat dugaan tersebut adalah surat Al-kahfi ayat 17. Menyebutkan, matahari cenderung ke kanan dari gua mereka dan terbenam di sebelah kiri. Kemudian, dilanjutkan dengan kalimat, “sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu.” (QS 18: 17).

Lokasi gua Ashabul Kahfi di Jordan memiliki sebuah lubang dan atas gua sehingga cahaya bisa masuk. Selain itu, bentuk gua yang terdapat di Ar-Raqim sangat luas dan lapang serta tidak dalam.

 
Cerita Lengkap

Dengan panjang lebar kitab Qishashul Anbiya mulai dari halaman 566 meriwayatkan sebagai berikut:

Dikala Umar bin Khattab memangku jabatan sebagai Amirul Mukminin, pernah datang kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi. Mereka berkata kepada Khalifah, "Hai Khalifah Umar, anda adalah pemegang kekuasaan sesudah Muhammad dan sahabatnya, Abu Bakar. Kami hendak menanyakan beberapa masalah penting kepada anda. Jika anda dapat memberi jawaban kepada kami, barulah kami mau mengerti bahwa Islam merupakan agama yang benar dan Muhammad benar-benar seorang Nabi. Sebaliknya, jika anda tidak dapat memberi jawaban, berarti bahwa agama Islam itu bathil dan Muhammad bukan seorang Nabi.

"Silahkan bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan," sahut Khalifah Umar.

"Jelaskan kepada kami tentang induk kunci (gembok) mengancing langit, apakah itu?" Tanya pendeta-pendeta itu, memulai pertanyaan-pertanyaannya. "Terangkan kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang berjalan bersama penghuninya, apakah itu? Tunjukkan kepada kami tentang suatu makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia bukan manusia dan bukan jin! Terangkan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang dapat berjalan di permukaan bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak dilahirkan dari kandungan ibu atau induknya! Beritahukan kepada kami apa yang dikatakan oleh burung puyuh (gemak) disaat ia sedang berkicau! Apakah yang dikatakan oleh ayam jantan dikala ia sedang berkokok! Apakah yang dikatakan oleh kuda disaat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh katak diwaktu ia sedang bersuara? Apakah yang dikatakan oleh keledai disaat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh burung pipit pada waktu ia sedang berkicau?"

Khalifah Umar menundukkan kepala untuk berpikir sejenak, kemudian berkata, "Bagi Umar, jika ia menjawab 'tidak tahu' atas pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak diketahui jawabannya, itu bukan suatu hal yang memalukan!''

Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata, "Sekarang kami bersaksi bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu adalah bathil!"

Salman Al-Farisi yang saat itu hadir, segera bangkit dan berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu: "Kalian tunggu sebentar!"

Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib. Setelah bertemu, Salman berkata: "Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama Islam!"

Imam Ali r.a. bingung, lalu bertanya: "Mengapa?"

Salman kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Khalifah Umar bin Khattab. Imam Ali segera saja berangkat menuju ke rumah Khalifah Umar, berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain penutup punggung atau leher) peninggalan Rasulullah SAW. Ketika Umar melihat Ali bin Abi Thalib datang, ia bangun dari tempat duduk lalu buru-buru memeluknya, sambil berkat,: "Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu kupanggil!"

Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang sedang menunggu-nunggu jawaban itu, Ali bin Abi Thalib herkata, "Silahkan kalian bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan. Rasulullah SAW sudah mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai seribu macam cabang ilmu!"

Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebelum menjawab, Ali bin Abi Thalib berkata, "Aku ingin mengajukan suatu syarat kepada kalian, yaitu jika ternyata aku nanti sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di dalam Taurat, kalian supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman!" "Ya baik!" jawab mereka.

"Sekarang tanyakanlah satu demi satu," kata Ali bin Abi Thalib.

Mereka mulai bertanya, "Apakah induk kunci (gembok) yang mengancing pintu-pintu langit?"

"Induk kunci itu," jawab Ali bin Abi Thalib, "ialah syirik kepada Allah. Sebab semua hamba Allah, baik laki-laki ataupun wanita, jika ia bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan dapat naik sampai kehadirat Allah!"

Para pendeta Yahudi bertanya lagi, "Anak kunci apakah yang dapat membuka pintu-pintu langit?"

Ali bin Abi Thalib menjawab, "Anak kunci itu ialah kesaksian (syahadat) bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah!"

Para pendeta Yahudi itu saling pandang di antara mereka, sambil berkata, "Orang itu benar juga!" Mereka bertanya lebih lanjut, "Terangkanlah kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang dapat berjalan bersama penghuninya!"

"Kuburan itu ialah ikan hiu (hut) yang menelan Nabi Yunus putera Matta," jawab Ali bin Abi Thalib. "Nabi Yunus AS dibawa keliling ketujuh samudera!"

Pendeta-pendeta itu meneruskan pertanyaannya lagi, "Jelaskan kepada kami tentang makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi makhluk itu bukan manusia dan bukan jin!"

Ali bin Abi Thalib menjawab, "Makhluk itu ialah semut Nabi Sulaiman AS putera Nabi Dawud AS, Semut itu berkata kepada kaumnya, 'Hai para semut, masuklah ke dalam tempat kediaman kalian, agar tidak diinjak-injak oleh Sulaiman dan pasukan-nya dalam keadaan mereka tidak sadar!"

Para pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya, "Beritahukan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang berjalan diatas permukaan bumi, tetapi tidak satu pun diantara makhluk-makhluk itu yang dilahirkan dari kandungan ibunya atau induknya!"

Ali bin Abi Thalib menjawab, "Lima makhluk itu ialah, pertama, Adam. Kedua, Hawa. Ketiga, Unta Nabi Shaleh. Keempat, Domba Nabi Ibrahim. Kelima, Tongkat Nabi Musa (yang menjelma menjadi seekor ular)."

Dua diantara tiga orang pendeta Yahudi itu setelah mendengar jawaban-jawaban serta penjelasan yang diberikan oleh Imam Ali r.a. lalu mengatakan, "Kami bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah!"

Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri sambil berkata kepada Ali bin Abi Thalib, "Hai Ali, hati teman-temanku sudah dihinggapi oleh sesuatu yang sama seperti iman dan keyakinan mengenai benarnya agama Islam. Sekarang masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepada anda."

"Tanyakanlah apa saja yang kau inginkan," sahut Imam Ali.

"Coba terangkan kepadaku tentang sejumlah orang yang pada zaman dahulu sudah mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Allah. Bagaimana hikayat tentang mereka itu?" Tanya pendeta tadi.

Ali bin Ali Thalib menjawab, "Hai pendeta Yahudi, mereka itu ialah para penghuni gua. Hikayat tentang mereka itu sudah dikisahkan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya. Jika engkau mau, akan kubacakan kisah mereka itu."



Pendeta Yahudi itu menyahut, "Aku sudah banyak mendengar tentang Qur'an kalian itu! Jika engkau memang benar-benar tahu, coba sebutkan nama-nama mereka, nama ayah-ayah mereka, nama kota mereka, nama raja mereka, nama anjing mereka, nama gunung serta gua mereka, dan semua kisah mereka dari awal sampai akhir!"

Ali bin Abi Thalib kemudian membetulkan duduknya, menekuk lutut kedepan perut, lalu ditopangnya dengan burdah yang diikatkan ke pinggang. Lalu ia berkata, "Hai saudara Yahudi, Muhammad Rasulullah SAW kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu terjadi di negeri Romawi, disebuah kota bernama Aphesus, atau disebut juga dengan nama Tharsus. Tetapi nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese). Baru setelah Islam datang, kota itu berubah nama menjadi Tharsus (Tarse, sekarang terletak di dalam wilayah Turki). Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai seorang raja yang baik. Setelah raja itu meninggal dunia, berita kematiannya didengar oleh seorang raja Persia bernama Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang amat congkak dan dzalim. Ia datang menyerbu negeri itu dengan kekuatan pasukannya, dan akhirnya berhasil menguasai kota Aphesus. Olehnya kota itu dijadikan ibukota kerajaan, lalu dibangunlah sebuah Istana."

Baru sampai disitu, pendeta Yahudi yang bertanya itu berdiri, terus bertanya, "Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana serambi dan ruangan-ruangannya!"

Ali bin Abi Thalib menerangkan, "Hai saudara Yahudi, raja itu membangun istana yang sangat megah, terbuat dari batu marmer. Panjangnya satu farsakh (+/- 8 km) dan lebarnya pun satu farsakh. Pilar-pilarnya yang berjumlah seribu buah, semuanya terbuat dari emas, dan lampu-lampu yang berjumlah seribu buah, juga semuanya terbuat dari emas. Lampu-lampu itu bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat dari perak. Tiap malam apinya dinyalakan dengan sejenis minyak yang harum baunya. Disebelah timur serambi dibuat lubang-lubang cahaya sebanyak seratus buah, demikian pula di sebelah baratnya. Sehingga matahari sejak mulai terbit sampai terbenam selalu dapat menerangi serambi. Raja itu pun membuat sebuah singgasana dari emas. Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40 hasta. Di sebelah kanannya tersedia 80 buah kursi, semuanya terbuat dari emas. Di situlah para hulubalang kerajaan duduk. Disebelah kirinya juga disediakan 80 buah kursi terbuat dari emas, untuk duduk para pepatih dan penguasa-penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di atas singgasana dengan mengenakan mahkota di atas kepala."

Sampai disitu pendeta yang bersangkutan berdiri lagi sambil berkata, "Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku dari apakah mahkota itu dibuat?"

"Hai saudara Yahudi," kata Imam Ali menerangkan, "Mahkota raja itu terbuat dari kepingan-kepingan emas, berkaki 9 buah, dan tiap kakinya bertaburan mutiara yang memantulkan cahaya laksana bintang-bintang menerangi kegelapan malam. Raja itu juga mempunyai 50 orang pelayan, terdiri dari anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai selempang dan baju sutera berwarna merah. Celana mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau. Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah. Masing-masing diberi tongkat terbuat dari emas. Mereka harus berdiri di belakang raja. Selain mereka, raja juga mengangkat 6 orang, terdiri dari anak-anak para cendekiawan, untuk dijadikan menteri-menteri atau pembantu-pembantunya. Raja tidak mengambil suatu keputusan apa pun tanpa berunding lebih dulu dengan mereka. Enam orang pembantu itu selalu berada di kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah kanan dan yang tiga orang lainnya berdiri di sebelah kiri."

Pendeta yang bertanya itu berdiri lagi, lalu berkata, "Hai Ali, jika yang kau katakan itu benar, coba sebutkan nama enam orang yang menjadi pembantu-pembantu raja itu!"

Menanggapi hal itu, Imam Ali r.a. menjawab, "Kekasihku Muhammad Rasulullah SAW menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang yang berdiri disebelah kanan raja, masing-masing bernama Tamlikha, Miksalmina, dan Mikhaslimina. Adapun tiga orang pembantu yang berdiri di sebelah kiri, masing-masing bernama Martelius, Casitius dan Sidemius. Raja selalu berunding dengan mereka mengenai segala urusan.

Tiap hari setelah raja duduk dalam serambi istana dikerumuni oleh semua hulubalang dan para punggawa, masuklah tiga orang pelayan menghadap raja. Seorang diantaranya membawa piala emas penuh berisi wewangian murni. Seorang lagi membawa piala perak penuh berisi air sari bunga. Sedang yang seorangnya lagi membawa seekor burung. Orang yang membawa burung ini kemudian mengeluarkan suara isyarat, lalu burung itu terbang di atas piala yang berisi air sari bunga. Burung itu berkecimpung didalamnya dan setelah itu ia mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya, sampai sari-bunga itu habis dipercikkan ke semua tempat sekitarnya.

Kemudian si pembawa burung tadi mengeluarkan suara isyarat lagi. Burung itu terbang pula. Lalu hinggap di atas piala yang berisi wewangian murni. Sambil berkecimpung didalamnya, burung itu mengibas-ngibaskan sayap dan bulunya, sampai wewangian murni yang ada dalam piala itu habis dipercikkan ke tempat sekitarnya. Pembawa burung itu memberi isyarat suara lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap di atas mahkota raja, sambil membentangkan kedua sayap yang harum semerbak di atas kepala raja.



Demikianlah raja itu berada di atas singgasana kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama itu ia tidak pernah diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa pusing kepala, sakit perut, demam, berliur, berludah atau pun beringus. Setelah sang raja merasa diri sedemikian kuat dan sehat, ia mulai congkak, durhaka dan dzalim. Ia mengaku-aku diri sebagai "tuhan" dan tidak mau lagi mengakui adanya Allah SWT.

Raja itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari rakyatnya. Barang siapa yang taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia akan segera dibunuh. Oleh sebab itu semua orang terpaksa mengiakan kemauannya. Dalam masa yang cukup lama, semua orang patuh kepada raja itu, sampai ia disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi memuja dan menyembah Allah SWT.

Pada suatu hari perayaan ulang-tahunnya, raja sedang duduk di atas singgasana mengenakan mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah seorang hulubalang memberi tahu, bahwa ada balatentara asing masuk menyerbu kedalam wilayah kerajaannya, dengan maksud hendak melancarkan peperangan terhadap raja. Demikian sedih dan bingungnya raja itu, sampai tanpa disadari mahkota yang sedang dipakainya jatuh dari kepala. Kemudian raja itu sendiri jatuh terpelanting dari atas singgasana. Salah seorang pembantu yang berdiri di sebelah kanan --seorang cerdas yang bernama Tamlikha-- memperhatikan keadaan sang raja dengan sepenuh pikiran. Ia berpikir, lalu berkata di dalam hati, "Kalau Diqyanius itu benar-benar tuhan sebagaimana menurut pengakuannya, tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur, tidak buang air kecil atau pun air besar. Itu semua bukanlah sifat-sifat Tuhan.

Enam orang pembantu raja itu tiap hari selalu mengadakan pertemuan di tempat salah seorang dari mereka secara bergiliran. Pada satu hari tibalah giliran Tamlikha menerima kunjungan lima orang temannya. Mereka berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan minum, tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut makan dan minum. Teman-temannya bertanya, 'Hai Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau minum?'

'Teman-teman,' sahut Tamlikha, 'hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak ingin makan dan tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur.'

Teman-temannya mengejar, 'Apakah yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha?'

'Sudah lama aku memikirkan soal langit,' ujar Tamlikha menjelaskan. 'Aku lalu bertanya pada diriku sendiri,'siapakah yang mengangkatnya ke atas sebagai atap yang senantiasa aman dan terpelihara, tanpa gantungan dari atas dan tanpa tiang yang menopangnya dari bawah? Siapakah yang menjalankan matahari dan bulan di langit itu? Siapakah yang menghias langit itu dengan bintang-bintang bertaburan?' Kemudian kupikirkan juga bumi ini, 'Siapakah yang membentang dan menghamparkan-nya di cakrawala? Siapakah yang menahannya dengan gunung-gunung raksasa agar tidak goyah, tidak goncang dan tidak miring?' Aku juga lama sekali memikirkan diriku sendiri, 'Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari perut ibuku? Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku? Semuanya itu pasti ada yang membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius'…"

Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi sambil berkata, 'Hai Tamlikha dalam hati kami sekarang terasa sesuatu seperti yang ada di dalam hatimu. Oleh karena itu, baiklah engkau tunjukkan jalan keluar bagi kita semua!'

'Saudara-saudara,' jawab Tamlikha, 'baik aku maupun kalian tidak menemukan akal selain harus lari meninggalkan raja yang dzalim itu, pergi kepada Raja Pencipta Langit dan Bumi!'

'Kami setuju dengan pendapatmu,' sahut teman-temannya.

Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual buah kurma, dan akhirnya berhasil mendapat uang sebanyak 3 dirham. Uang itu kemudian diselipkan dalam kantong baju. Lalu berangkat berkendaraan kuda bersama-sama dengan lima orang temannya.



Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada teman-temannya, 'Saudara-saudara, kita sekarang sudah terlepas dari raja dunia dan dari kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan marilah kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan kita serta memberikan jalan keluar. Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7 farsakh, sampai kaki mereka bengkak berdarah karena tidak biasa berjalan kaki sejauh itu.

Tiba-tiba datanglah seorang penggembala menyambut mereka. Kepada penggembala itu mereka bertanya,'Hai penggembala, apakah engkau mempunyai air minum atau susu?'

'Aku mempunyai semua yang kalian inginkan,' sahut penggembala itu. 'Tetapi kulihat wajah kalian semuanya seperti kaum bangsawan. Aku menduga kalian itu pasti melarikan diri. Coba beritahukan kepadaku bagaimana cerita perjalanan kalian itu!'

'Ah…, susahnya orang ini,' jawab mereka. 'Kami sudah memeluk suatu agama, kami tidak boleh berdusta. Apakah kami akan selamat jika kami mengatakan yang sebenarnya?' 'Ya,' jawab penggembala itu.

Tamlikha dan teman-temannya lalu menceritakan semua yang terjadi pada diri mereka. Mendengar cerita mereka, penggembala itu segera bertekuk lutut di depan mereka, dan sambil menciumi kaki mereka, ia berkata, 'Dalam hatiku sekarang terasa sesuatu seperti yang ada dalam hati kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku hendak mengembalikan kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku akan segera kembali lagi kepada kalian.'

Tamlikha bersama teman-temannya berhenti. Penggembala itu segera pergi untuk mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak lama kemudian ia datang lagi berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing miliknya."

Waktu cerita Imam Ali sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya melonjak berdiri lagi sambil berkata, "Hai Ali, jika engkau benar-benar tahu, coba sebutkan apakah warna anjing itu dan siapakah namanya?"

"Hai saudara Yahudi," kata Ali bin Abi Thalib, "Anjing itu berwarna kehitam-hitaman dan bernama Qithmir. Ketika enam orang pelarian itu melihat seekor anjing, masing-masing saling berkata kepada temannya, kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar rahasia kita! Mereka minta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau saja dengan batu.

Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya, lalu duduk di atas dua kaki belakang, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan lancar dan jelas sekali, 'Hai orang-orang, mengapa kalian hendak mengusirku, padahal aku ini bersaksi tiada tuhan selain Allah, tak ada sekutu apa pun bagi-Nya. Biarlah aku menjaga kalian dari musuh, dan dengan berbuat demikian aku mendekatkan diriku kepada Allah SWT.'

Anjing itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu pergi. Penggembala tadi mengajak mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka mendekati sebuah gua."

Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, bangun lagi dari tempat duduknya sambil berkata, "Apakah nama gunung itu dan apakah nama gua itu?"

Imam Ali menjelaskan, "Gunung itu bernama Naglus dan nama gua itu ialah Washid, atau disebut juga dengan nama Kheram!"

Ali bin Abi Thalib meneruskan ceritanya, "Secara tiba-tiba di depan gua itu tumbuh pepohonan berbuah dan memancur mata-air deras sekali. Mereka makan buah-buahan dan minum air yang tersedia di tempat itu. Setelah tiba waktu malam, mereka masuk berlindung di dalam gua. Sedang anjing yang sejak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga duduk sambil menjulurkan dua kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua. Kemudian Allah SWT memerintahkan Malaikat maut supaya mencabut nyawa mereka. Kepada masing-masing orang dari mereka Allah SWT mewakilkan dua Malaikat untuk membalik-balik tubuh mereka dari kanan ke kiri. Allah lalu memerintahkan matahari supaya pada saat terbit condong memancarkan sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada saat hampir terbenam supaya sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri.

Suatu ketika waktu raja Diqyanius baru saja selesai berpesta ia bertanya tentang enam orang pembantunya. Ia mendapat jawaban, bahwa mereka itu melarikan diri. Raja Diqyanius sangat gusar. Bersama 80.000 pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak enam orang pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati gua. Ia melihat enam orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan bahwa enam orang itu benar-benar sedang tidur.

Kepada para pengikutnya ia berkata, 'Kalau aku hendak menghukum mereka, tidak akan kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan mereka yang telah menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua. Panggillah tukang-tukang batu supaya mereka segera datang ke mari!'

Setelah tukang-tukang batu itu tiba, mereka diperintahkan menutup rapat pintu gua dengan batu-batu dan jish (bahan semacam semen). Selesai dikerjakan, raja berkata kepada para pengikutnya, "Katakanlah kepada mereka yang ada di dalam gua, kalau benar-benar mereka itu tidak berdusta supaya minta tolong kepada Tuhan mereka yang ada di langit, agar mereka dikeluarkan dari tempat itu.,

Dalam gua tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309 tahun.

Setelah masa yang amat panjang itu lewat, Allah SWT mengembalikan lagi nyawa mereka. Pada saat matahari sudah mulai memancarkan sinar, mereka merasa seakan-akan baru bangun dari tidurnya masing-masing. Yang seorang berkata kepada yang lainnya, 'Malam tadi kami lupa beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke mata air!'

Setelah mereka berada di luar gua, tiba-tiba mereka lihat mata air itu sudah mengering kembali dan pepohonan yang ada pun sudah menjadi kering semuanya. Allah SWT membuat mereka mulai merasa lapar. Mereka saling bertanya, 'Siapakah diantara kita ini yang sanggup dan bersedia berangkat ke kota membawa uang untuk bisa mendapatkan makanan? Tetapi yang akan pergi ke kota nanti supaya hati-hati benar, jangan sampai membeli makanan yang dimasak dengan lemak-babi.'

Tamlikha kemudian berkata, 'Hai saudara-saudara, aku sajalah yang berangkat untuk mendapatkan makanan. Tetapi, hai penggembala, berikanlah bajumu kepadaku dan ambillah bajuku ini!'

Setelah Tamlikha memakai baju penggembala, ia berangkat menuju ke kota. Sepanjang jalan ia melewati tempat-tempat yang sama sekali belum pernah dikenalnya, melalui jalan-jalan yang belum pernah diketahui. Setibanya dekat pintu gerbang kota, ia melihat bendera hijau berkibar di angkasa bertuliskan, 'Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah Roh Allah.'

Tamlikha berhenti sejenak memandang bendera itu sambil mengusap-usap mata, lalu berkata seorang diri, 'Kusangka aku ini masih tidur!' Setelah agak lama memandang dan mengamat-amati bendera, ia meneruskan perjalanan memasuki kota. Dilihatnya banyak orang sedang membaca Injil. Ia berpapasan dengan orang-orang yang belum pernah dikenal. Setibanya di sebuah pasar ia bertanya kepada seorang penjaja rot, 'Hai tukang roti, apakah nama kota kalian ini?' 'Aphesus,' sahut penjual roti itu.

'Siapakah nama raja kalian?' tanya Tamlikha lagi. 'Abdurrahman,' jawab penjual roti.

'Kalau yang kau katakan itu benar,' kata Tamlikha, 'urusanku ini sungguh aneh sekali! Ambillah uang ini dan berilah makanan kepadaku!'

Melihat uang itu, penjual roti keheran-heranan. Karena uang yang dibawa Tamlikha itu uang zaman lampau, yang ukurannya lebih besar dan lebih berat."

Pendeta Yahudi yang bertanya itu kemudian berdiri lagi, lalu berkata kepada Ali bin Abi Thalib, "Hai Ali, kalau benar-benar engkau mengetahui, coba terangkan kepadaku berapa nilai uang lama itu dibanding dengan uang baru!"

Imam Ali menerangkan, "Uang yang dibawa oleh Tamlikha dibanding dengan uang baru, ialah tiap dirham lama sama dengan sepuluh dan dua pertiga dirham baru!"

Imam Ali kemudian melanjutkan ceritanya, "Penjual Roti lalu berkata kepada Tamlikha, 'Aduhai, alangkah beruntungnya aku! Rupanya engkau baru menemukan harta karun! Berikan sisa uang itu kepadaku! Kalau tidak, engkau akan ku hadapkan kepada raja!'

'Aku tidak menemukan harta karun,' sangkal Tamlikha. 'Uang ini ku dapat tiga hari yang lalu dari hasil penjualan buah kurma seharga tiga dirham! Aku kemudian meninggalkan kota karena orang-orang semuanya menyembah Diqyanius!'

Penjual roti itu marah. Lalu berkata, 'Apakah setelah engkau menemukan harta karun masih juga tidak rela menyerahkan sisa uangmu itu kepadaku? Lagi pula engkau telah menyebut-nyebut seorang raja durhaka yang mengaku diri sebagai tuhan, padahal raja itu sudah mati lebih dari 300 tahun yang silam! Apakah dengan begitu engkau hendak memperolok-olok aku?'

Tamlikha lalu ditangkap. Kemudian dibawa pergi menghadap raja. Raja yang baru ini seorang yang dapat berpikir dan bersikap adil. Raja bertanya kepada orang-orang yang membawa Tamlikha, 'Bagaimana cerita tentang orang ini?' 'Dia menemukan harta karun,' jawab orang-orang yang membawanya.

Kepada Tamlikha, Raja berkata, 'Engkau tak perlu takut! Nabi Isa AS memerintahkan supaya kami hanya memungut seperlima saja dari harta karun itu. Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku, dan selanjutnya engkau akan selamat.'

Tamlikha menjawab, 'Baginda, aku sama sekali tidak menemukan harta karun! Aku adalah penduduk kota ini!'

Raja bertanya sambil keheran-heranan, 'Engkau penduduk kota ini?' 'Ya. Benar,' sahut Tamlikha.

'Adakah orang yang kau kenal?' tanya raja lagi. 'Ya, ada,' jawab Tamlikha.

'Coba sebutkan siapa namanya,' perintah raja. Tamlikha menyebut nama-nama kurang lebih 1000 orang, tetapi tak ada satu nama pun yang dikenal oleh raja atau oleh orang lain yang hadir mendengarkan. Mereka berkata. 'Ah…, semua itu bukan nama orang-orang yang hidup di zaman kita sekarang. Tetapi, apakah engkau mempunyai rumah di kota ini?'

'Ya, tuanku,' jawab Tamlikha. 'Utuslah seorang menyertai aku!'

Raja kemudian memerintahkan beberapa orang menyertai Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha mereka diajak menuju ke sebuah rumah yang paling tinggi di kota itu. Setibanya di sana, Tamlikha berkata kepada orang yang mengantarkan, 'Inilah rumahku!'

Pintu rumah itu lalu diketuk. Keluarlah seorang lelaki yang sudah sangat lanjut usia. Sepasang alis di bawah keningnya sudah sedemikian putih dan mengkerut hampir menutupi mata karena sudah terlampau tua. Ia terperanjat ketakutan, lalu bertanya kepada orang-orang yang datang, 'Kalian ada perlu apa?'

Utusan raja yang menyertai Tamlikha menyahut, 'Orang muda ini mengaku rumah ini adalah rumahnya!'

Orang tua itu marah, memandang kepada Tamlikha. Sambil mengamat-amati ia bertanya, 'Siapa namamu?' 'Aku Tamlikha anak Filistin!'

Orang tua itu lalu berkata, 'Coba ulangi lagi!' Tamlikha menyebut lagi namanya. Tiba-tiba orang tua itu bertekuk lutut di depan kaki Tamlikha sambil berucap. 'Ini adalah datukku! Demi Allah, ia salah seorang diantara orang-orang yang melarikan diri dari Diqyanius, raja durhaka." Kemudian diteruskannya dengan suara haru, 'Ia lari berlindung kepada Yang Maha Perkasa, Pencipta langit dan bumi. Nabi kita, Isa AS, dahulu telah memberitahukan kisah mereka kepada kita dan mengatakan bahwa mereka itu akan hidup kembali!'

Peristiwa yang terjadi di rumah orang tua itu kemudian dilaporkan kepada raja. Dengan menunggang kuda, raja segera datang menuju ke tempat Tamlikha yang sedang berada di rumah orang tua tadi. Setelah melihat Tamlikha, raja segera turun dari kuda. Oleh raja Tamlikha diangkat ke atas pundak, sedangkan orang banyak beramai-ramai menciumi tangan dan kaki Tamlikha sambil bertanya-tanya, 'Hai Tamlikha, bagaimana keadaan teman-temanmu?'

Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua temannya masih berada di dalam gua.

Pada masa itu kota Aphesus diurus oleh dua orang bangsawan istana. Seorang beragama Islam dan seorang lainnya lagi beragama Nasrani. Dua orang bangsawan itu bersama pengikutnya masing-masing pergi membawa Tamlikha menuju ke gua," demikian Imam Ali melanjutkan ceritanya.

"Teman-teman Tamlikha semuanya masih berada di dalam gua itu. Setibanya dekat gua, Tamlikha berkata kepada dua orang bangsawan dan para pengikut mereka, 'Aku khawatir kalau sampai teman-temanku mendengar suara tapak kuda, atau gemerincingnya senjata. Mereka pasti menduga Diqyanius datang dan mereka bakal mati semua. Oleh karena itu kalian berhenti saja di sini. Biarlah aku sendiri yang akan menemui dan memberitahu mereka!'

Semua berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang diri ke dalam gua. Melihat Tamlikha datang, teman-temannya berdiri kegirangan, dan Tamlikha dipeluknya kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata, 'Puji dan syukur bagi Allah yang telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanius!'

Tamlikha menukas, 'Ada urusan apa dengan Diqyanius? Tahukah kalian, sudah berapa lamakah kalian tinggal di sini?'

'Kami tinggal sehari atau beberapa hari saja,' jawab mereka.

'Tidak!' sangkal Tamlikha. 'Kalian sudah tinggal di sini selama 309 tahun! Diqyanius sudah lama meninggal dunia! Generasi demi generasi sudah lewat silih berganti, dan penduduk kota itu sudah beriman kepada Allah yang Maha Agung! Mereka sekarang datang untuk bertemu dengan kalian!'

Teman-teman Tamlikha menyahut, 'Hai Tamlikha, apakah engkau hendak menjadikan kami ini orang-orang yang menggemparkan seluruh jagad?' 'Lantas apa yang kalian inginkan?' Tamlikha balik bertanya.

'Angkatlah tanganmu ke atas dan kami pun akan berbuat seperti itu juga,' jawab mereka. Mereka bertujuh semua mengangkat tangan ke atas, kemudian berdoa, 'Ya Allah, dengan kebenaran yang telah Kau perlihatkan kepada kami tentang keanehan-keanehan yang kami alami sekarang ini, cabutlah kembali nyawa kami tanpa sepengetahuan orang lain!'

Allah SWT mengabulkan permohonan mereka. Lalu memerintahkan Malaikat maut mencabut kembali nyawa mereka. Kemudian Allah SWT melenyapkan pintu gua tanpa bekas. Dua orang bangsawan yang menunggu-nunggu segera maju mendekati gua, berputar-putar selama tujuh hari untuk mencari-cari pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak dapat ditemukan lubang atau jalan masuk lainnya ke dalam gua. Pada saat itu dua orang bangsawan tadi menjadi yakin tentang betapa hebatnya kekuasaan Allah SWT. Dua orang bangsawan itu memandang semua peristiwa yang dialami oleh para penghuni gua, sebagai peringatan yang diperlihatkan Allah kepada mereka.

Bangsawan yang beragama Islam lalu berkata, 'Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah tempat ibadah di pintu gua itu.'

Sedang bangsawan yang beragama Nasrani berkata pula, 'Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah biara di pintu gua itu.'

Dua orang bangsawan itu bertengkar, dan setelah melalui pertikaian senjata, akhirnya bangsawan Nasrani terkalahkan oleh bangsawan yang beragama Islam."

Sampai di situ Imam Ali bin Abi Thalib berhenti menceritakan kisah para penghuni gua. Kemudian berkata kepada pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, "Itulah, hai Yahudi, apa yang telah terjadi dalam kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu, apakah semua yang ku ceritakan itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam Taurat kalian?"

Pendeta Yahudi itu menjawab, "Ya Abal Hasan, engkau tidak menambah dan tidak mengurangi, walau satu huruf pun! Sekarang engkau jangan menyebut diriku sebagai orang Yahudi, sebab aku telah bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah serta Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga, bahwa engkau orang yang paling berilmu di kalangan umat ini!"

Demikianlah hikayat tentang para penghuni gua (Ashhabul Kahfi), kutipan dari kitab Qishasul Anbiya yang tercantum dalam kitab Fadha 'ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah, tulisan As Sayyid Murtadha Al Huseiniy Al Faruz Aabaad, dalam menunjukkan banyaknya ilmu pengetahuan yang diperoleh Imam Ali bin Abi Thalib dari Rasul SAW.


Apakah Kisah Ashabul Kahfi Sesuai dengan Sains Modern?

Dalam masalah tidur panjang para pemuda kota Afsus (Ashabul Kahfi) yang berlangsung dalam waktu yang sangat panjang, mungkin saja akan menimbulkan keraguan pada beberapa orang dan mereka menganggap hal ini tidak relevan dengan parameter-parameter ilmiah. Oleh karena itu, mereka menempatkan peristiwa ini sederet dengan khayalan dan dongeng belaka, karena:

Pertama, usia panjang yang mencapai ratusan tahun untuk orang-orang yang bangun saja merupakan sebuah hal yang tidak rasional. Apa lagi untuk orang-orang yang tidur!

Kedua, apabila kita menerima bahwa usia sekian ratus tahun ini adalah suatu hal yang mungkin dan bisa terjadi dalam kondisi bangun, maka dalam keadaan tidur, hal ini mustahil bisa terjadi. Karena pasti akan muncul problem makan dan minum. Bagaimana mungkin orang bisa bertahan hidup selama beratus-ratus tahun tanpa membutuhkan makan dan minum? Dan seandainya untuk setiap hari hidup kita membutuhkan satu kilo makanan dan satu liter air saja, maka untuk seusia Ashabul Kahfi ini, kita harus menggudangkan lebih dari seratus ton makanan dan seratus ribu liter air, yang tentu saja ukuran sebanyak ini belum mempunyai arti.

Ketiga, apabila semua itu tidak dianggap, maka kita akan tetap dihadapkan dengan persoalan, yaitu, menetapnya tubuh dalam kondisi monoton dan itu pun untuk waktu yang sangat panjang pasti akan menyebabkan kerusakan pada organisme tubuh dan menimbulkan begitu banyak kerusakan padanya.

Pada mulanya, mungkin kritikan-kritikan semacam ini bisa mengantarkan kita kepada sebuah jalan buntu yang tidak mungkin kita tembus. Padahal, tidak demikian adanya, karena:

Pertama, persoalan usia panjang bukan merupakan persoalan yang tidak ilmiah, meskipun kita mengetahui bahwa panjangnya usia setiap makhluk hidup secara ilmiah tidak mempunyai parameter yang pasti dan paten, karena dengan kedatangan maut, sudah pasti ia akan mati.

Dengan ibarat lain, benar bahwa ketahanan tubuh manusia, bagaimanapun kuatnya, pada akhirnya mempunyai keterbatasan dan sampai pada akhir perjalanannya. Akan tetapi, klaim ini bukan berarti bahwa kondisi tubuh seorang manusia atau makhluk hidup lain tidak mempunyai kemampuan untuk bertahan hidup lebih lama dari usia yang sewajarnya, seperti yang terlihat di alam natural bahwa apabila air telah mencapai suhu seratus derajat celsius, konsekuensinya adalah air akan mendidih dan pada suhu nol derajat celsius, air akan menjadi es.

Demikian pula halnya dengan manusia. Ketika ia telah mencapai usia seratus atau seratus lima puluh tahun, maka jantungnya akan berhenti melakukan aktifitasnya sehingga dengan demikian, kematian akan menghampirinya. Tidaklah demikian adanya. Parameter panjang-pendeknya usia makhluk hidup bergantung banyak pada kondisi kehidupan mereka. Karena, dengan adanya perubahan kondisi kehidupan, maka panjang-pendeknya usia makhluk hidup benar-benar bisa mengalami perubahan juga.

Terbukti bahwa dari satu sisi, tidak ada satu pun ilmuwan di dunia ini yang mampu menentukan parameter yang pasti untuk usia manusia, dan dari sisi lain, penelitian yang mereka lakukan di lapangan dan laboratorium menunjukkan bahwa terkadang mereka mampu mengupayakan usia sebagian makhluk hidup lebih panjang beberapa kali lipat dari usia yang semestinya. Terkadang hal itu bisa sampai dua belas kali lipat lebih lama dari usia yang semestinya. Dan bahkan, pada saat ini, mereka memberikan harapan kepada manusia bahwa di masa yang akan datang, dengan ditemukannya metode ilmiah terbaru, usia manusia bisa diupayakan hingga mencapai beberapa kali lipat dari usia yang ada sekarang. Ini sehubungan dengan panjang-pendeknya usia.

Kedua, tentang problem air dan pangan dalam keadaan tidur panjang ini, bisa dikatakan bahwa apabila tidur yang dilakukan adalah tidur biasa sebagaimana yang sering terjadi pada diri kita, maka kebenaran ada pada para pengkritik. Yaitu, hal ini tidak relevan dengan prinsip ilmiah, karena pembakaran dan pembentukan badan dalam keadaan tidur biasanya akan lebih sedikit daripada ketika dalam keadaan terjaga. Akan tetapi, apabila hal yang sama dilakukan secara kontinyu untuk tahun-tahun berkepanjangan, maka hal itu akan menjadi sangat banyak. Namun, ada satu hal yang perlu diperhatikan bahwa di dunia natural kita ini terdapat pula jenis-jenis tidur yang dilakukan pada musim dingin di mana penggunaan makanan dalam tubuh dalam kondisi seperti ini sangatlah sedikit.
Penyakit Tidur Musim Dingin

Terdapat banyak jenis binatang yang pada keseluruhan musim dingin senantiasa berada dalam keadaan tidur panjangnya di mana dalam istilah ilmiahnya dinamakan dengan penyakit tidur musim dingin.

Aktifitas kehidupan pada jenis tidur semacam ini bisa dikatakan terhenti sama sekali dan hanya terdapat nyala yang amat kecil di dalamnya dan jantung seakan berhenti berdenyut. Mungkin ungkapan yang lebih tepat adalah, bahwa detakan jantung sedemikian lemahnya sehingga bisa dikatakan sama sekali tidak bisa dirasakan.

Dalam keadaan semacam ini, tubuh makhluk hidup bisa diibaratkan sebagai sebuah tanur besar yang telah padam, di mana dalam kepadamannya ini masih terdapat nyala lilin kecil yang tetap berada dalam aktifitasnya. Sangat jelas bahwa bahan makanan yang dimasak di dalam tanur yang biasanya dalam satu hari membutuhkan sekian bahan bakar untuk menghasilkan nyala api yang besar akan bisa menjadi makanan untuk puluhan atau ratusan tahun apabila dimasak dengan menggunakan nyala lilin yang amat kecil. (Tentu saja hal ini bergantung pada besar kecilnya nyala tanur dalam keadaan menyala dan dalam keadaan lilin kecil itu menyala).

Para ilmuwan dalam menanggapi masalah penyakit tidur musim dingin sebagian binatang ini berkata, “Apabila kita keluarkan seekor katak yang sedang berada dalam keadaan tidur musim dinginnya dari tempatnya, maka ia seakan-akan tampak mati, tidak ada udara dari paru-parunya, dan detakan jantungnya sedemikian lemah sehingga tidak bisa ditemukan.

Di antara binatang-binatang berdarah dingin yang mempunyai kebiasaan tidur musim dingin ini adalah sebagian kupu-kupu dan serangga. Demikian juga jenis-jenis siput tanah, binatang-binatang melata dan sebagian dari binatang menyusui (berdarah panas) pun mempunyai kebiasaan tidur musim dingin ini. Ketika mereka sedang melakukan tidur musim dingin, maka aktifitas-aktifitas kehidupan sangatlah sedikit, dan lemak-lemak yang tersimpan di dalam badan akan dimanfaatkan secara bertahap.”

Maksudnya adalah, bahwa kita mempunyai jenis tidur yang dalam kondisi tidur ini kebutuhan akan makan dan minum menjadi luar biasa sedikit dan aktifitas kehidupan hampir mendekati nol. Dan kebetulan, hal inilah yang membantu guna menghindarkan anggota badan dari kerusakan dan keletihan, serta akan mempengaruhi panjangnya usia binatang-binatang jenis ini. Pada prinsipnya, tidur musim dingin ini merupakan kesempatan yang sangat berharga bagi sebagian binatang yang mungkin tidak mampu untuk mencari makanan pada musim dingin.

Penguburan Para Petapa

Berkenaan dengan masalah para petapa sering kita saksikan bahwa sebagian dari mereka diletakkan di dalam sebuah peti dengan disaksikan oleh mata-mata yang keheranan dan sulit menerimanya dan kadang-kadang mereka dikuburkan selama seminggu di dalam tanah. Setelah waktu itu habis, mereka dikeluarkan kembali dari dalam tanah, lalu dipijat dan diberikan bantuan pernafasan sehingga mereka kembali ke dalam kondisi awalnya setahap demi setahap.

Dalam hal ini, problem kebutuhan pada makanan bisa jadi tidak merupakan suatu hal yang amat krusial. Akan tetapi, kebutuhan pada oksigen untuk pernafasan merupakan problem yang lain. Karena kita mengetahui betapa pekanya sel-sel otak ini menghadapi kekurangan oksigen dan ketergantungan sel-sel otak ini terhadap zat kehidupan “oksigen” yang sedemikian eratnya sehingga apabila beberapa detik saja ia tidak mendapatkannya, hal itu akan menyebabkan kerusakan pada sel-sel tersebut secepat mungkin. Sekarang, bagaimana para petapa ini bisa menahan kekurangan oksigen dalam waktu —misalnya— satu minggu tersebut?

Jawaban dari pertanyaan ini, dengan memperhatikan penjelasan yang telah kami berikan sebelumnya, tidaklah terlalu sulit. Karena selama masa ini, aktifitas kehidupan pada tubuh para petapa ini kira-kira telah berada dalam kondisi terhenti. Hal ini menyebabkan kebutuhan sel-sel otak terhadap oksigen dan pengunaannya berada dalam level yang luar biasa sedikit sehingga selama masa ini, udara di dalam lingkup peti saja telah mencukupi kebutuhan oksigennya selama satu minggu.

Pembekuan Tubuh Manusia yang Masih Hidup

Saat ini terdapat begitu banyak teori mengenai persoalan pembekuan tubuh binatang dan bahkan, tubuh manusia (untuk memperpanjang usia mereka) yang sebagiannya telah terealisasi. Sesuai dengan teori-teori yang ada, mungkin saja dengan meletakkan tubuh seorang manusia atau seekor hewan dalam suhu udara di bawah nol derajat sesuai dengan metode yang khusus akan bisa menghentikan kehidupannya tanpa menyebabkan kematian yang sesungguhnya, dan setelah beberapa saat lamanya, ia harus diletakkan di dalam suhu udara hangat yang sesuai sehingga ia akan kembali pada kondisinya semula.

Untuk perjalanan luar angkasa ke planet yang jauh, di mana terdapat kemungkinan akan menghabiskan waktu ratusan atau bahkan ribuan tahun lamanya, terdapat beberapa metode dan teori yang disarankan. Salah satunya adalah meletakkan astronot di dalam ruangan khusus untuk mengawetkannya di sana. Lalu, setelah beberapa tahun berlalu dan telah mendekati letak planet yang dimaksud suhu udara di ruangan tersebut -dengan menggunakan sebuah sistem otomatik- akan berubah menjadi suhu udara biasa sehingga mereka kembali pada kondisi semula tanpa kehilangan usia mereka.

Dalam salah satu berita di sebuah majalah ilmiah disebutkan bahwa di tahun-tahun terakhir ini telah diterbitkan sebuah buku tentang pembekuan tubuh manusia untuk memperpanjang usianya. Buku itu ditulis oleh Robert Nelson. Dalam dunia sains dan pengetahuan, hal ini mempunyai refleksi yang luas dan beruntun.

Dalam sebuah artikel di majalah tersebut yang secara teratur membahas tentang masalah ini, ditegaskan bahwa belakangan ini muncul sebuah fakultas ilmiah dengan program khusus yang membahas persoalan seperti ini. Dalam artikel tersebut tertulis “Kehidupan abadi dalam sepanjang perjalanan sejarah senantiasa berbarengan dengan mimpi-mimpi emas yang telah mengakar di dalam diri manusia. Akan tetapi, sekarang mimpi ini telah menjadi sebuah realitas. Hal ini dikarenakan perkembangan tekhnologi yang menakjubkan dari persepsi sains terbaru yang dinamakan sebagai crionik. (Sebuah sains yang membawa manusia ke alam pembekuan dan menjaganya sebagaimana sebuah badan yang telah diawetkan dengan harapan suatu hari akan bisa dihidupkan kembali oleh para ilmuwan).”

Apakah logika semacam ini bisa dipercaya? Begitu banyak para ilmuwan terkenal memikirkan masalah ini dari perspektif yang lain dan majalah-majalah semacam “Life” dan “Skuwair”, demikian juga surat kabar seluruh dunia secara gencar membahas persoalan krusial ini. Dan yang lebih penting dari semua itu, terdapat program (mengenai masalah ini) yang sekarang sedang berada dalam tahap pelaksanaan.

Beberapa waktu yang lalu, sebuah pers telah mengumumkan adanya seekor ikan dari spesis yang hidup beribu-ribu tahun yang ditemukan membeku di antara bebatuan es di daerah kutub. Anehnya, setelah meletakkannya ke dalam air hangat, ikan ini mulai menampakkan tanda-tanda kehidupannya. Kemudian, ikan ini mulai menggerak-gerakkan siripnya di hadapan orang-orang yang menyaksikannya dengan keheranan.

Di sini jelas terlihat, bahkan dalam kondisi membeku sekalipun, sistem-sistem kehidupan tubuh —seperti juga ketika sudah mati— tidak berhenti secara sempurna. Karena jika tidak demikian, kembali kepada kehidupan adalah suatu hal yang tidak mungkin terjadi, bahkan akan terjadi dalam kondisi yang sangat lamban.

Dari pembahasan tersebut, kita bisa mengambil konklusi bahwa memberhentikan dan mengubah kebiasaan kehidupan merupakan suatu hal yang bisa diterima dan memungkinkan, dan pengkajian dalam berbagai sains menegaskan kemungkinan terjadinya hal tersebut dilihat dari berbagai aspek.

Dalam kondisi ini, penggunaan makanan dalam tubuh kira-kira telah mencapai titik nol dan timbunan yang tidak seberapa di dalam tubuh mampu mencukupi kehidupan yang dijalaninya dalam waktu yang cukup panjang.

Jangan sampai salah paham! Kami sama sekali tidak ingin mengingkari adanya keajaiban tidurnya Ashabul Kahfi dengan pembicaraan kami di atas. Akan tetapi, yang sedang kami lakukan adalah mencoba mendekatkan peristiwa ini dari visi ilmiah.

Karena jelas, tidurnya Ashabul Kahfi bukanlah sebuah tidur biasa dan wajar sebagaimana tidur yang kita lakukan setiap hari. Melainkan sebuah tidur yang mempunyai keunikan dan pengecualian. Oleh karena itu, bukan pada tempatnya untuk takjub bahwa mereka (dengan kehendak Allah swt.) telah tidur dalam waktu yang amat panjang dan tidak mengalami kesulitan dalam masalah kekurangan makanan dan tidak juga terdapat organisme yang merusak tubuh mereka.

Menariknya, dalam ayat-ayat yang terdapat dalam surat Al-Kahfi yang menceritakan kondisi tidur mereka difirmankan bahwa cara tidur mereka sangat berbeda jauh dari cara tidur normal.

“Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur ... Dan jika kamu menyaksikan mereka, tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan [diri] dan tentulah [hati]mu akan dipenuhi dengan ketakutan terhadap mereka”. (QS. al-Kahfi [18]: 18)

Ayat ini membuktikan bahwa mereka tidak tidur dalam keadaan sewajarnya. Akan tetapi, meraka tidur —sebagaimana seorang jenazah— dengan mata terbuka.

Selain itu, Al-Qur’an mengatakan bahwa cahaya matahari tidak menyinari bagian dalam gua. Ia berfirman, “Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan ketika terbenam, menjauhi mereka ke sebelah kiri ....” (QS. Al-Kahfi [18]: 17)

Dengan memperhatikan bahwa gua mereka kemungkinan berada di salah satu dari dataran tinggi di Asia Kecil yang mempunyai suhu udara dingin, maka hal ini akan semakin menjelaskan keadaan tidur mereka yang istimewa. Dari sisi lain, Al-Qur’an berfirman, “... Dan Kami membalik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri ....” (QS. Al-Kahfi [18]: 18)

Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak berada dalam kondisi monoton. Terdapat faktor-faktor rahasia yang hingga sekarang belum kita kenali. (Mungkin dalam setahun sekali) Allah membalik-balikkan mereka ke kiri dan ke kanan sehingga tidak akan merusak organisme badan.

Sekarang, ketika pembahasan ilmiah masalah ini sudah jelas dengan porsi yang cukup, kesimpulan dari masalah ini dalam pembahasan Ma’âd (Hari Kebangkitan) tidak akan begitu sulit. Karena bangunnya kembali Ashabul Kahfi setelah sekian lama tidur adalah mirip dengan hidup kembali setelah mati, dan dengan peristiwa ini, kejadian Ma’âd akan menjadi lebih dekat dalam persepsi kita.

Semoga Bermanfaat!!

sumber :
http://majlisdzikrullahpekojan.org/kisah-quran-dan-hadist/kisah-ashabul-kahfi.html
http://kaahil.wordpress.com/2012/04/15/bagus-kisah-cerita-riwayat-ashhabul-kahfi-kisah-7-orang-pemuda-seekor-anjing-yang-tertidur-selama-309-tahun-di-dalam-gua-doa-ashabul-kahfi-ketika-di-dalam-gua-hikmah-kisah-as/#more-4515
http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2013/06/06/melihat-jejak-kisah-ashabul-kahfi-di-jordan-566282.html
http://kidungkawan.blogspot.com/2012/10/kisah-tentang-ashabul-kahfi.html
http://quran.al-shia.org/id/lib/004/03.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar