Misteri Madakaripura, Misteri Paguron Desa Negarejo
Embek, embek, embek…! Setiap hari Jum’at apalagi pada Sukra Manis begitu orang Jawa menyebut hari Jum’at Legi. Pasti terdengar suara kambing mengembik dari arah hutan kecil. Itulah yang berlangsung sejak dulu hingga kini di satu dukuh bernama Krajan di desa Negarareja, kecamatan Lumbang, Probolinggo. Darah mengucur selalu di sana, menetes ke tanah makam kuna di hutan itu. Daging kambing itu pun dibagi-bagikan ke setiap orang yang ikut hadir, ikut mengharap “berkah” dari “Mbah Sujud” yang dimakamkan. Kuburan tua inilah yang sejak lama disebut “Pegu ron”. Tempat berguru!
SIAPA yang disebut sebagai Embah atau Eyang Sujud, masyarakat setempat sendiri hanya mampu samar-samar menceritakan. Eyang Sujud itulah orangnya yang pertama membuka, babad alas mendirikan desa yang berpusat di dukuh Krajan ini. “Mulai kakek-nenek kami sudah disebut Mbah Sujud dan Lemah (tanah) Peguron,” begitu warga dukuh bersaksi. Yang jelas ternyata tidak hanya warga setempat sendiri yang pada hari Jum’at sengaja melak-sanakan upacara di tanah Peguron, tapi juga ada saja yang sengaja datang dari luar daerah Probolinggo. Khususnya mereka yang tergolong “pinter”, tergolong orang Jawa yang suka “ilmu”, tahu bahwa ada “yoni” di petilasan Mbah Sujud.
“Pokokipun tiyang pundi-pundi katah ingkang namu” (Pokoknya orang dari mana-mana ada saja yang ke sana), tutur bangga mbah Sahat, nenek tua yang tetap sehat walau usia hampir 100 tahun dan masih meladeni siapa saja yang ingin dipijat. Cerita mbah Sahat, dulu terlalu sering orang datang “nyepi” ke Peguron untuk memperoleh kesaktian. Masih ingat si nenek ketika masa mudanya sering melihat langsung orang yang sedang mencoba kadigdayan, kesaktian mereka yang diperoleh dari Peguron. Bacok-membacok, tapi nyatanya tak ada luka sedikit pun di badan mereka. Yang hancur hanyalah pakaian, baju dan sarung robek tak karuan. Dulu, beberapa pendekar ikut menjaganya. Supaya perampok, pencuri dan orang-orang jahat lainnya tidak ikut nyepi di kuburan Peguron. Ketika zaman revolusi itulah Peguron amat penuh dengan para pejuang kita yang nyepi cari kekebalan. Ternyata menurut cerita, mereka jadi tak mempan peluru oleh tembakan para tentara Belanda. “Saya jadi awet sehat, tetap diberi umur panjang ini juga karena tak melupakan ke sana,” mengaku mbah Sahat.
Si Kuru lan Si Lemu
Ini kisah yang terjadi berabad-abad silam. Ada 2 lelaki bersaudara sedang bersaing mencari kesempurnaan hidup, untuk mendapatkan tempat tertinggi di sorga nanti. Yang sulung bernama Si Kuru sebab kurus-kering kurang makan, sedang adiknya Si Lemu yang berbadan gemuk. Si Kuru setiap harinya berpuasa terus, kalau makan hanya dedaunan yang masuk ke perut. Itu pun dilakukan hanya demi kelangsungan hidupnya. Sedang Si Lemu memakan apa saja yang dapat dimakan, asal tidak merugikan orang lain. Keduanya selama bertahun-tahun memang dikenal paling suka memberikan pertolongan apa saja terhadap masyarakat. Juga, selalu membangun keperluan keagamaan.
Di usia menjelang kematiannya, Dewa datang mencoba. Seekor harimau putih disuruh mendatangi kedua bersaudara itu. “Saya lapar, sudah lama tidak mendapatkan daging segar,” ucap si harimau yang bertubuh besar, sambil mengaum menakutkan, nampak gigi dan taringnya. “Apa tidak salah memilih saya yang kering,” jawab Si Kuru gerqetar, keringat dingin mengalir dari seluruh tubuhnya. “Tapi kalau Dewa memang menentukan saya yang jadi korban, saya pun menurut,” lanjutnya. Harimau itu mengaum, lantas mengangguk-angguk mengatakan bahwa Si Kuru merupakan salah satu contoh manusia yang mulia. Ketika harimau itu ganti bertanya ke Si Lemu, langsung pula manggut- manggut memuji kemuliaan jiwanya. Sebab Si Lemu langsung bersedia menjadi korban.
Kedua bersaudara itu mendengar janji bakal masuk sorga. Tapi tetap penasaran belum mendapat kepastian siapa di antara keduanya yang lebih tinggi derajatnya di sorga, nanti. Si Kuru lantas menggugat Dewa, selekasnya diberi jawaban. Begitulah, lalu ada petunjuk Lengkapnya supaya keduanya bertapa, menyongsong kematian, mengakhiri kehidupan dengan sempurna. Si Kuru memilih di puncak satu bukit. Si Lemu di dalam hutan. Sebab konsentrasinya maka keduanya tetap duduk bersila selama berminggu-minggu, tanpa makan, minum dan tidur. Percuma saja berbagai binatang dan mahluk halus menggoda, membangunkannya. Tiba-tiba saja puncak bukit jadi hangus, terbakar. Dari panas badan Si Kuru yang menuntut Dewa agar selekasnya roh dirinya melayang menuju sorga. Memang dikabulkan. Si Kuru terbang lebih dulu masuk ke Nirwana.
Beberapa lama kemudian barulah Si Lemu menyusul, memang tiba waktu sebenarnya meninggal dunia sebab usia, sebab raga tak loiasa lagi bertahan. Di Nirwana, Si Kuru masih belum puas. Tetap bertanya ke Dew ; siapa sebenarnya yang lebih tinggi derajat di dalam kehidupan sorganya. Dewa pun lalu menyuruh menyaksikan sendiri pada tempat bekas yang mereka gunakan bertapa. Siapa lebih tinggi derajat, maka bekas tempat bertapa, petilasannya didatangi peziarah. Sebab
ketika hidupnya Si Kuru lebih sering meminta pada Dewa dibanding Si Lemu. Maka sebagai gantinya peziarah yang datang meminta di petilasan Si Lemu oleh Dewa dikabulkan. Nah, sejak itulah makam alias petilasan Si Lemu didatangi orang. Sedang petilasan Si Kuru semakin jarang didatangi, akhirnya dilupakan, dan dimana bekasnya, orang zaman kini tidak bisa lagi menunjukkan. Petilasan Si Lemu sebaliknya semaian dikenal sebagai makam Mbah Sujud alias Mbah Ujud. Sebab disitulah orang berziarah bersujud, lantas permintaannya berwujud, terlaksana.
Gending Punggung Gunung
Ketika kedua bersaudara itu “muksa” menuju Nirwana, konon, dari kerajaan para Dewa terdengar alunan gending-gending dengan tetabuhan gamelan Lokananta. Ceritanya, seperangkat gamelan maupun sejumlah wayang kulit kadang menampakkan diri di punggung gunung kecil yang berada di atas pedukuhan Krajan. Untuk melihatnya di zaman kini memang terbilang langka, sebab haruslah orang yang mencapai “ilmu” tinggi.
Namun bagi masyarakat awam, sejumlah wayang kulit itu bisa dilihat sewaktu-waktu di sana. Sebagai sejumlah batu biasa, tapi kalau dibayang-bayangkan, kok, menyerupai wayang. Makanya disebut Watu Wayang.
Watu Wayang sepertinya sengaja berhadapan dengan puncak Bukit Pesantren yang berada di wilayah kabupaten Pasuruan. Ya, dari kedua puncak itu bila maifmelihat ke bawah yang terletak di antara keduanya, sebuah sungai penuh batu mengalir ke arah utara. Itulah Kali Laweyan yang mengalir menuju Laut Jawa sepanjang perbatasan kabupaten Probolinggo dan Pasuruan. Melewati Pamotan, Klampok, Tongas lalu bermuara di Tambakrejo. Bening pada musim kemarau, berwarna coklat dan gemuruh di musim hujan seperti saat ini. Kalau ada warga desa memberikan “sesaji” di tepi sungai, pada pohon-pohon besar, pada batu yang punya “yoni”. Maka ayam-ayam dari seberang sana pun tergiur pada ceceran nasi. Terbang, melompat dari batu ke batu, lalu ikut membersihkan sisa “selamatan”. Gabruk, gabruk, ga- bruk…! Antar jago yang belum saling kenal beradu jago. Kukuruyuk…! Yang menang, memang jagonya jago, sombong, menengadahkan kepala ke langit.
Gajahmada?
Menyusur sungai kecil Laweyan ke arah hulu, menentang arus sejauh lebih sejam melangkahkan kaki, ternyata sampailah kita ke obyek wisata yang kini mulai didatangi turis asing. “Madakaripura”, itulah air terjun yang legendaris. Konon, di situlah dulu mahapatih Gajahmada tapa kungkum, bertapa dengan berendam air untuk memperoleh kesaktian. Beberapa warga desa setempat mempercayai bahwa tokoh yang dikatakan sebagai Mbah Ujud, Mbah Sujud atau Si Lemu inilah pula yang pernah menjadi patih terkenal Majapahit yaitu Gajahmada. Lho…V. “Duka ‘nggih, menawi lare sekolah mboten percados” (Entah ya, bila anak sekolah tidak mempercayainya), ungkap beberapa petani yang sedang sibuk menggaru sawan di lereng bukit ke Liberty. Katanya pula, dulu hanya masyarakat setempat yang mengenal nama Madakaripura. Tapi kemudian semua pun mulai datang dari jauh, mengunjungi. Mada adalah singkatan dari Gajahmada. Kari, akhir, maksudnya Gajahmada di usia tua. Pura, tempat bersemedi. Ya, dikisahkan akhirnya Sidang Sapta Prabu yang dulu sungkan dan takut pada Gajahmada, berani terang-terangan menyalahkan Gajahmada yang menimbulkan perang Bubat itu. Sidang Sapta Prabu merupakan penasehat prabu Hayamwuruk yang terdiri dari 7 orang raja-ratu mulai dari orangtua Hayamwuruk, mertua, suami adiknya dan seterusnya. Semuanya merupakan raja-ratu yang masih berkaitan darah dengan Hayamwuruk sendiri. Namun selama bertahun-tahun kalah wibawa dengan Gajahmada. Dalam Perang Bubat itu Dyah Pitaloka putri Sunda yang amat cantik dan dicintai Hayamwuruk terpaksa melakukan bunuh diri demi membela ayahnya yang tersinggung merasa dihina Gajahmada.
Gajahmada tersinggung hatinya menghadapi Sapta Prabu dalam sidang yang menyalahkan kebijaksanaannya hingga terjadi Perang Bubat. Saat itu sang mehapatih memang telah mulai berusia lanjut. Lantas sering minta cuti untuk pulang ke tempat asalnya di Probolinggo, alasannya sakit-sakitan. Di tempat kelahirannya ia memang melakukan tapa kungkum. Dalam Kidung Sundayana diceritakan Sapta Prabu memerintahkan prajurit- prajurit Majapahit pergi ke Madakaripura untuk menangkap tokoh yang pernah mengukir zaman keemasan Majapahit itu. Rumah Gajahmada dikepung. Ketika mereka masuk ke dalam, ternyata Gajahmada “muksa”. Lenyap, pergi ke sorga. Itulah salah satu versi akhir hayat sang mahapatih. “Dadosipun, ni- ki kenging percados kenging mboten, swargi sinuwun Gajahmada tapanipun inggih ‘teng Madakaripura, inggih ‘teng Peguron” (Jadi, boleh percaya boleh pula tidak, mendiang Gajahmada itu bertapa di Madakaripura maupun di Peguron), tutur petani tua itu, yakin.
Pilihlah Air Panguripan !
Memasuki celah bukit mendekat Madakaripura kalau tak mau berbasah kuyup, bisa menyewa payung dan membeli tas kresek untuk menyimpan bawaan pengunjung yang tak ingin ikut basah. Ya, walau tak ikut mandi di air Madakaripura, sebab air terjun itu dipercaya punya khasiat, siapa pun yang masuk ke ce lah menuju lokasi Madakaripura pastilah berbasah kuyup bila tanpa payung. Ya, di celah itulah berlangsung hujan abadi. Tetap hujan walau musim kemarau, apalagi di musim hujan seperti sekarang. Hujan ini merupakan cipratan-cipratan air dari atas, dari sekian asal Madakaripura sebagai air terjun. Ya, kalau mau tahu ternyata terdapat 7 air terjun. Mana paling “ampuh”, paling punya “daya” yang menyembuhkan berbagai penyakit. membuat awet muda, lekas dapat jodoh, keinginan terkabul dst. Dari yang terbesar itulah jadi nama Laweyan. sungai berbatu yang “misterius” pula di desa Negarareja khususnya dukuh Krajan. Mengapa masyarakat Kraja punya “punden” . punya beberapa batu dan pohon yang “diuri-uri”. Banyak kisahnya. Di antaranya, pohon Kepuh besar itu memang bukan sembarang pohon yang tumbuh di tepi Kali Laweyan. Dulu sebelum tumbuh besar yaitu pada tempat tumbuhnya telah ada Kepuh besar. Suatu ketika angin meniup begitu kencang. Roboh, menimpa puluhan bocah kecil yang tengah mandi, bermain. Tetapi, anehnya tak seorang bocah pun cedera. Anehnya kepala-kepala para bocah muncul di antara dahan dan rantingnya. Mereka semuanya jadi bisu untuk sekian hari. Bisa buka mulut, bicara, setelah beberapa “orangtua” melaksanakan “selamatan”. Ternyata begitu alasan “orangtua”, pohon roboh ke sungai merupakan peringatan dari sang danyang. Mengapa memberi “sesaji” dilupakan.
Hingga kini yang tak dilupakan oleh setiap “KK” Krajan yang terdiri dari 118 KK. tutur carik Roya’i, maka di setiap hari Jum’at di setiap rumah membuat “krupuk” dari ubi. Mengasyikkan untuk disuguhkan tamu. Krupuk itu digoreng, tak kenyang-kenyang juga walau semeja dihadapi oleh 4 orang. Kriyak- kriyuk, mengawani kopi panas dan kepulan rokok. Embek, embek, embek…. Pasti ada kambing dijadikan “korban” di tengah hutan dukuh Krajan. Dan, ruang-ruang tamu rumah warga dukuh itu punya hiasan dinding khas: kambing, ukiran dari kayu. (Ayiek Narifuddin)
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: LIBERTY, 1720,16-28 FEBRUAR11990 TH. XXXVII, hlm. 26 sambung 94
http://jawatimuran.wordpress.com/2012/10/23/madakaripura-kabupaten-probolinggo/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar