Seperti biasanya, sebagai dokter keluarga dan “parenting
neuroscience”, pekerjaan keseharian saya selalu berhubungan dengan
manusia, menangani pasien hingga memberi pencerahan tentang keluarga.
Beberapa bulan terakhir ini, bukan hanya pasien (orang sakit) saja yang
harus saya tangani, namun juga konsultasi keluarga. Asik juga, karena
saya dapat “melihat” dinamika keluarga dengan kaca mata yang lebih
lengkap lagi.
Pagi itu, bukan seorang pasien yang datang. Seorang ibu muda yang
ingin berkonsultasi tentang kondisi keluarga yang kurang harmonis. Ia
merasa kehidupan keluarganya semakin lama semakin kacau dan tidak
seperti yang diharapkan di awal pernikahannya. Ia sudah bulat berencana
menggugat cerai pada suaminya.
Dengan suaminya, ibu muda ini telah menjalani penikahan selama 12
tahun. Namun demikian, sepertinya usia pernikahan 12 tahunnya belum
menjadi jaminan bahwa ia dan suaminya dapat saling memahami. Bahkan, 7
tahun tertakhir ini sering beradu mulut, tidak mau mengalah satu dengan
lainnya, bahkan sering kali tuduhan menuduh yang tidak mendasar pun
keluar dari mulut suaminya. Suaminya lebih mempercayai terhadap
prasangkanya. Bila tuduhan- tuduhan yang di lontarkan itu dijawab, maka
yang terjadi adalah perang mulut yang tiada hentinya.Dalam berkomunikasi
selalu defensif (defensiveness), kalau menjawab pertanyaan cenderung tidak mau menjawab atau asal menjawab (stonewalling) dan kadang-kadang istri merasa direndahkannya (contempt).
Dalam sehari, suaminya bisa 12 jam di luar rumah. Kadang pulang rumah
dan kadang tidak. Kalau pulang rumah langsung masuk kamar dan
tidur.Anak-anak mulai jadi korban. Perhatian, kasih sayang, pelukan
telah terabaikan. Canda-ria anak-anak, tertawa dan menangis pun telah
sirna.Yang ada hanya kesunyian dan suara bisikan dalam rumah. Laksana
“rumah hantu”.
Kehidupan sosialnya juga mulai terganggu, dengan tetangga dan sanak
saudara mulai terasa tidak harmonis lagi. Perkerjaan dan karir pun mulai
tersendat-sendat, tidak ada gairah lagi. Dalam 24 jam kehidupan
bersuami-istri, hanya 2-3 jam saja bisa bersamanya, meskipun bertutur
sapa seperlunya saja. Menyikapi anak-anaknya dengan emosi yang tinggi,
meledak-ledak, bahkan sampai memukul anak. Rasa keterhubungan (connected)
dengan anakpun mulai berkurang. Makan bersama sudah tidak ada lagi,
bila nonton televisi di ruang keluarga, semuanya fokus melihat acara
televisinya. Duduknya berjauhan, tidak ada lagi dialog suami istri yang
menyenangkan.
“Alangkah sedihnya keluarga ini,” begitu suara dalam benak saya.
Dalam kisah yang lainnya, tentang 2 teman saya yang sangat akrab.
Keduanya berasal dari kampung yang sama, maka wajar bila di kota Manado
mereka berdua seperti saudara kandung. Siang itu, salah satu dari mereka
menelpon saya. Setelah berbincang-bincang sedikit melalui telpon
genggam, ia mengutarakan maksud utama menelpon saya.
Sudah 3 minggu, teman akrabnya pindah kos-kosan dan tidak mau lagi
berdekatan dengan dia. Pasalnya, ada kesalahpahaman yang selama ini
dipendam. Sampai akhirnya meledak dan timbul saling menuduh satu dengan
lainnya. Saya katakan padanya bahwa harus ada komunikasi tentang apa
yang sesungguhnya terjadi antara dia dan temannya. Jangan memutuskan
segala sesuatu berdasarkan prasangka belaka, nanti terperangkap dalam
prasangka yang kebanyakan menghasilkan dosa. Demikian advise saya.
Munculnya “Rumah Hantu”
Boleh jadi, hampir setiap hari, saya dan Anda bercengkerama dengan si
“rumah hantu”. Kita sering hidup di dalam “rumah hantu”, memberi
penafsiran segala sesuatu yang tidak didasari dengan data dan fakta
sesungguhnya.
Saat terakhir pertemuan Anda dengan teman Anda sempat diwarnai dengan
kericuhan ringan, membuat Anda dongkol. Dua hari kemudian, Anda
menelponnya, namun tidak diangkat. Kemudian, Anda mengirim SMS,
tenyata,… juga tidak dibalas-balas. Apa yang Anda pikirkan dan rasakan
terhadap teman Anda tersebut?
Kisah ini saya sampaikan dalam kelas “Brain Life Coaching” dan mereka
memberikan respon sebagai berikut: Kemungkinan teman tersebut masih
marah (80%), kemungkinan teman tersebut sedang sibuk (12%), HP-nya di
“silent” kan (6%), dan kemungkinan teman tersebut tidak membawa HP (2%).
Sadar atau tidak sadar, kisah di atas hampir dapat saya pastikan
bahwa kita pernah atau bahkan sering mengalaminya. Dalam kondisi seperti
ini, pikiran kita penuh dengan penafsiran, penuh dengan sangkaan.
Pikiran kita tidak asing lagi dengan kata-kata “jangan-jangan” dan
“terdengar” pula beraneka macam bisikan, juga gambaran/bayangan yang
muncul dalam pikiran kita. Pikiran kita cenderung mengikuti apa-apa yang
kita sangka atau yang kita tafsirkan, padahal belum tahu apa yang
sesungguhnya terjadi.
Begitulah cara kerja otak kita, apabila datang suatu informasi yang
kurang atau tidak didukung dengan data dan fakta, dapat dipastikan saya
dan Anda memberi tafsiran atau sangkaan yang aneh-aneh. Otak kita memang
cenderung mengisi kekosongan informasi dengan tafsiran atau sangkaan.
Hebatnya lagi bahwa tafsiran dan sangkaan itu cenderung pada tafsiran
negatif dari pada yang positif (lihat hasil data diatas, 80% menyatakan
marah).
Fokus Pada “Rumah Hantu”
Ketidakjelasan informasi memungkinkan otak bekerja untuk menjadikan
ketidakjelasan itu menjadi jelas. Semakin sedikit informasi yang
didapatkan, maka semakin besar peluang munculnya salah tafsir atau salah
sangkaan. Kisah-kisah diatas kemungkinan besar telah kita alami. Betapa
tersiksanya perasaan kita yang sedang berkecamuk dengan
sangkaan-sangkaan yang kita buat sendiri. Coba renungkan, apa yang
sedang kita pikirkan ketika kita mengeluarkan kata-kata kasar, memukul
dinding, menutup pintu dengan kasar.
Seluruh aktivitas otak fokus pada tafsiran atau sangkaan yang telah
muncul dalam pikiran kita. Otak akan membuka seluruh “file-file” nya yg
mendukung “kebenaran” atas tafsiran atau sangkaan itu. Semakin fokus,
pikiran logika kita akan semakin berpindah digantikan dengan perasaan
yang mulai berkecamuk. Dalam kondisi seperti ini, sesungguhnya kita
sedang mengalami kecemasan yang amat sangat ketika pikiran kita di
kalahkan oleh dominansi perasaan yang mengisi kekosongan informasi
dengan sangkaan-sangkaan yang negatif. Kita dapat membayangkan bila
“rumah hantu” ini berada dalam pikiran para penjabat pimpinan bangsa,
para pimpinan instansi pemerintah ataupun swasta. Pasti banyak kebijakan
yang penuh ketidakbijakan.
Memang, bila kita tidak trampil mengelola pikiran bias jadi bencana.
Pikiran akan sering tidak dapat membedakan antara kenyataan dalam
pikiran dengan (versus) kenyataan di luar pikiran. Seringkali pikiran
tafsiran (sangkaan) sudah dianggap kenyataan yang sesungguhnya. Dan
ingat bahwa dalam satu hari kita berpikir 60.000 – 80.000 kali dan 88%
adalah pikiran (tafsiran) negatif dan 12% nya pikiran (tafsiran)
positif. Nah !
Bila “rumah hantu” ini kita biarkan terus berada dalam otak kita,
jamin bahwa saya dan Anda akan mudah cemas, gelisah dan mudah stres,
yang akhirnya merusak mental dan fisik kita. Bukankah gangguan
Psikosomatik adalah salah satu contoh yang diakibatkan oleh ketidak
mampuan mengelola pikiran kita dan membiarkannya masuk dalam jebakan
“rumah hantu”. Kalau sudah demikian, “rumah hantu” pasti akan menghantui
kehidupan dan kebahagiaan kita.
Cukupkan Informasinya
Cara paling jitu agar tidak terjebak dalam “rumah hantu” adalah
mendapatkan kejelasan informasi dari sumber aslinya, sebanyak-banyaknya,
sebelum memberikan kesimpulan. Bagi yang telah lama saling mengenal,
mengenali bahasa tubuh, kebiasaan sikap dan perilaku akan mempercepat
proses kesimpulan tafsirnya. Keahlian mengenali sesuatu (termasuk “rumah
hantu”) secara cepat, sebenarnya bisa dipelajari. Keahlian itu namanya
BLINK. Dengan kemampuan ini, saya dan Anda akan mampu memutuskan
keputusan yang jitu (snap judgment) dan mampu menangkap informasi walau hanya cuplikan tipis (thin slicing).
Dengan “Thin Slicing”, saya atau Anda memiliki kemampuan menyaring
sedikit mungkin factor-faktor terpenting dari sejumlah kemungkinan yang
banyak ragamnya sehingga dapat memberikan kesimpulan secara cepat.
Menggunakan “Snap Judgment” dan “Thin Slicing” harus
benar-benar terlatih, karena bisa mendatangkan bencana yang lebih besar.
Bila belum terlatih, silahkan menggunakan cara yang pertama yakni
dengan mendapatkan kejelasan informasi sebanyak-banyaknya. Emang sih,
pendekatan yang satu ini terkesan lambat.
Sebelum mendapatkan informasi yang cukup, sebaiknya Anda berdiam
sebentar. Anda bisa tarik nafas, bila berdiri Anda bisa duduk atau bila
Anda seorang Muslim, Anda bisa mengambil air wudhu lalu menunaikan
sholat 2 rakaat, memohon pertolongan Allah untuk memberikan kekuatanNya
dalam menyelesaian masalah. Buru-buru merespon masalah dengan
ketidakcukupan informasi hanya akan menimbulkan masalah baru.
Bila “rumah hantu” terjadi pada hubungan suami istri, pasti,
penyebabnya kurang komunikasi.
Jarang berbicara, jarang bertegus sapa
akan membuka pintu kehadiran si “rumah hantu” dalam pikiran kita. Dalam
hal ini, saya teringat nasehat mentor saya bahwa berbicara empat mata
minimal 3 kali sehari, berkomunikasi langsung minimal 3 kali sehari dan
berinteraksi dengan pikiran kita sebanyak mungkin, akan membuat suasana
keluarga kita menjadi indah. Bila Anda sedang bertugas di luar kota,
berinteraksi dengan pikiran dan perasaan adalah hal yang sangat penting.
Saya dan Anda bisa menelpon dan bahkan dapat sambil melihat
aktivitasnya.
Melakukan komunikasi rutin juga penting karena. Bila Anda telah
mendapatkan informasi, jangan buru-buru mengambil kesimpulannya. Buatlah
jeda sedikit antara informasi yang masuk dengan respon anda. Minimal,
berdiam diri sebentar dan tariklah nafas dalam-dalam.Dan, melakukan
komunikasi rutin sangat baik untuk menjaga agar tidak terjadi informasi
yang bias.
Prinsip dasar kerja otak kita adalah penghasil pikiran dan perasaan.
Semakin jelas stimulus (informasi) yang masuk maka akan semakin jelas
respon yang diberikan yang akhirnya akan semakin mudah untuk memilih dan
memutuskan.
sumber : http://www.fimadani.com/rumah-hantu-dalam-otak-manusia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar