Halaman

Rabu, 28 Agustus 2013

Melihat dan Memilih Karater dan sifat Pasangan

Allah sudah menggariskan jodoh setiap manusia sejak dia lahir ke bumi. Meski demikian, Allah tetap menyuruh manusia berusaha mendapatkan jodoh yang melengkapi hidupnya.

Dalam agama Islam, ada cara yang biasa dipergunakan kaum dewasa untuk mencari pasangan hidup. Yakni dengan metode taaruf, yang artinya perkenalan.

Metode taaruf sebenarnya tak jauh beda dengan masa-masa pedekate alias pendekatan. Masa taaruf, dua orang lawan jenis muslim melakukan penjajakan dengan orang yang sebelumnya belum dia kenal dekat. Selama masa penjajakan itu, juga dua orang yang melakukan taaruf akan dibantu seorang mediator. Ketika salah satunya merasa tidak sreg, maka masa perkenalan itu boleh dihentikan.

Kriteria Memilih Pasangan Hidup Menurut Islam

Muslim atau Muslimah dalam memilih calon istri atau suami tidaklah mudah tetapi membutuhkan waktu. Karena kriteria memilih harus sesuai dengan syariat Islam. Orang yang hendak menikah, hendaklah memilih pendamping hidupnya dengan cermat, hal ini dikarenakan apabila seorang Muslim atau Muslimah sudah menjatuhkan pilihan kepada pasangannya yang berarti akan menjadi bagian dalam hidupnya. Wanita yang akan menjadi istri atau ratu dalam rumah tangga dan menjadi ibu atau pendidik bagi anak-anaknya demikian pula pria menjadi suami atau pemimpin rumah tangganya dan bertanggung jawab dalam menghidupi (memberi nafkah) bagi anak istrinya. Maka dari itu, janganlah sampai menyesal terhadap pasangan hidup pilihan kita setelah berumah tangga kelak.

Lalu bagaimanakah supaya kita selamat dalam memilih pasangan hidup untuk pendamping kita selama-lamanya? Apakah kriteria-kriteria yang disyariatkan oleh Islam dalam memilih calon istri atau suami?

A. Kriteria Memilih Calon Istri

Dalam memilih calon istri, Islam telah memberikan beberapa petunjuk di antaranya :

1. Hendaknya calon istri memiliki dasar pendidikan agama dan berakhlak baik karena wanita yang mengerti agama akan mengetahui tanggung jawabnya sebagai istri dan ibu. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda : “Perempuan itu dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya, lalu pilihlah perempuan yang beragama niscaya kamu bahagia.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Dalam hadits di atas dapat kita lihat, bagaimana beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menekankan pada sisi agamanya dalam memilih istri dibanding dengan harta, keturunan, bahkan kecantikan sekalipun.

Demikian pula Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang Mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu … .” (QS. Al Baqarah : 221)

Sehubungan dengan kriteria memilih calon istri berdasarkan akhlaknya, Allah berfirman :

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula) … .” (QS. An Nur : 26)

Seorang wanita yang memiliki ilmu agama tentulah akan berusaha dengan ilmu tersebut agar menjadi wanita yang shalihah dan taat pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wanita yang shalihah akan dipelihara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana firman-Nya :

“Maka wanita-wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara dirinya, oleh karena itu Allah memelihara mereka.” (QS. An Nisa’ : 34)

Sedang wanita shalihah bagi seorang laki-laki adalah sebaik-baik perhiasan dunia.

“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim)

2. Hendaklah calon istri itu penyayang dan banyak anak.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah bersabda :

Dari Anas bin Malik, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : ” … kawinilah perempuan penyayang dan banyak anak … .” (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban)

Al Waduud berarti yang penyayang atau dapat juga berarti penuh kecintaan, dengan dia mempunyai banyak sifat kebaikan, sehingga membuat laki-laki berkeinginan untuk menikahinya.

Sedang Al Mar’atul Waluud adalah perempuan yang banyak melahirkan anak. Dalam memilih wanita yang banyak melahirkan anak ada dua hal yang perlu diketahui :

a. Kesehatan fisik dan penyakit-penyakit yang menghalangi dari kehamilan. Untuk mengetahui hal itu dapat meminta bantuan kepada para spesialis. Oleh karena itu seorang wanita yang mempunyai kesehatan yang baik dan fisik yang kuat biasanya mampu melahirkan banyak anak, disamping dapat memikul beban rumah tangga juga dapat menunaikan kewajiban mendidik anak serta menjalankan tugas sebagai istri secara sempurna.

b. Melihat keadaan ibunya dan saudara-saudara perempuan yang telah menikah sekiranya mereka itu termasuk wanita-wanita yang banyak melahirkan anak maka biasanya wanita itu pun akan seperti itu.

3. Hendaknya memilih calon istri yang masih gadis terutama bagi pemuda yang belum pernah nikah.

Hal ini dimaksudkan untuk mencapai hikmah secara sempurna dan manfaat yang agung, di antara manfaat tersebut adalah memelihara keluarga dari hal-hal yang akan menyusahkan kehidupannya, menjerumuskan ke dalam berbagai perselisihan, dan menyebarkan polusi kesulitan dan permusuhan. Pada waktu yang sama akan mengeratkan tali cinta kasih suami istri. Sebab gadis itu akan memberikan sepenuh kehalusan dan kelembutannya kepada lelaki yang pertama kali melindungi, menemui, dan mengenalinya. Lain halnya dengan janda, kadangkala dari suami yang kedua ia tidak mendapatkan kelembutan hati yang sesungguhnya karena adanya perbedaan yang besar antara akhlak suami yang pertama dan suami yang kedua. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjelaskan sebagian hikmah menikahi seorang gadis :

Dari Jabir, dia berkata, saya telah menikah maka kemudian saya mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan bersabda beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Apakah kamu sudah menikah ?” Jabir berkata, ya sudah. Bersabda Rasulullah : “Perawan atau janda?” Maka saya menjawab, janda. Rasulullah bersabda : “Maka mengapa kamu tidak menikahi gadis perawan, kamu bisa bermain dengannya dan dia bisa bermain denganmu.”

4. Mengutamakan orang jauh (dari kekerabatan) dalam perkawinan.

Hal ini dimaksudkan untuk keselamatan fisik anak keturunan dari penyakit-penyakit yang menular atau cacat secara hereditas.

Sehingga anak tidak tumbuh besar dalam keadaan lemah atau mewarisi cacat kedua orang tuanya dan penyakit-penyakit nenek moyangnya.

Di samping itu juga untuk memperluas pertalian kekeluargaan dan mempererat ikatan-ikatan sosial.

B. Kriteria Memilih Calon Suami

1. Islam.

Ini adalah kriteria yang sangat penting bagi seorang Muslimah dalam memilih calon suami sebab dengan Islamlah satu-satunya jalan yang menjadikan kita selamat dunia dan akhirat kelak.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“ … dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang Mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke Surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al Baqarah : 221)

2. Berilmu dan Baik Akhlaknya.

Masa depan kehidupan suami-istri erat kaitannya dengan memilih suami, maka Islam memberi anjuran agar memilih akhlak yang baik, shalih, dan taat beragama.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Apabila kamu sekalian didatangi oleh seseorang yang Dien dan akhlaknya kamu ridhai maka kawinkanlah ia. Jika kamu sekalian tidak melaksanakannya maka akan terjadi fitnah di muka bumi ini dan tersebarlah kerusakan.” (HR. At Tirmidzi)

Islam memiliki pertimbangan dan ukuran tersendiri dengan meletakkannya pada dasar takwa dan akhlak serta tidak menjadikan kemiskinan sebagai celaan dan tidak menjadikan kekayaan sebagai pujian. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (nikah) dan hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nur : 32)

Laki-laki yang memilki keistimewaan adalah laki-laki yang mempunyai ketakwaan dan keshalihan akhlak. Dia mengetahui hukum-hukum Allah tentang bagaimana memperlakukan istri, berbuat baik kepadanya, dan menjaga kehormatan dirinya serta agamanya, sehingga dengan demikian ia akan dapat menjalankan kewajibannya secara sempurna di dalam membina keluarga dan menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagai suami, mendidik anak-anak, menegakkan kemuliaan, dan menjamin kebutuhan-kebutuhan rumah tangga dengan tenaga dan nafkah.

Jika dia merasa ada kekurangan pada diri si istri yang dia tidak sukai, maka dia segera mengingat sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yaitu :

Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata, bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Jangan membenci seorang Mukmin (laki-laki) pada Mukminat (perempuan) jika ia tidak suka suatu kelakuannya pasti ada juga kelakuan lainnya yang ia sukai.” (HR. Muslim)

Sehubungan dengan memilih calon suami untuk anak perempuan berdasarkan ketakwaannya, Al Hasan bin Ali rahimahullah pernah berkata pada seorang laki-laki :

“Kawinkanlah puterimu dengan laki-laki yang bertakwa sebab jika laki-laki itu mencintainya maka dia akan memuliakannya, dan jika tidak menyukainya maka dia tidak akan mendzaliminya.”

Untuk dapat mengetahui agama dan akhlak calon suami, salah satunya mengamati kehidupan si calon suami sehari-hari dengan cara bertanya kepada orang-orang dekatnya, misalnya tetangga, sahabat, atau saudara dekatnya.

Demikianlah ajaran Islam dalam memilih calon pasangan hidup. Betapa sempurnanya Islam dalam menuntun umat disetiap langkah amalannya dengan tuntunan yang baik agar selamat dalam kehidupan dunia dan akhiratnya.


Empat Karakter Manusia dalam Alquran

Allah telah menggambarkan proses penciptaan manusia secara rinci dalam QS Al-Mukminun ayat 12-14, yang dijelaskan pula dalam ilmu sains.

Dalam sains, manusia adalah makhluk yang tubuhnya terdiri dari sel—yakni bagian terkecil dari makhluk hidup. Jaringan sekumpulan sel-sel yang serupa bentuk, besar dan pekerjaannya yang terikat menjadi satu disebut organ.

Tubuh manusia pun terdiri dari sistem, yakni sistem otot (muskularis), sistem syaraf (neruosa), sistem kelenjar (endokrin), sistem pencernaan (digestivus), sistem metabolisme, sistem cairan tubuh dan darah, sistem jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler), sistem pernafasan (respiratorius), sistem perkemihan (urinarius), sistem reproduksi, sistem kulit (integument) dan sistem pengindraan.

Tiap-tiap jenis sel secara khusus beradaptasi untuk melakukan fungsi tertentu. Misalnya, sel darah merah berjumlah 25 triliun mentransfer oksigen dari paru-paru ke jaringan. Terdapat 50 triliun sel yang lain dan jumlah sel dalam tubuh diperkirakan 75 triliun. Umur kehidupan sel berbeda-beda misalnya leukosit granular yang dapat hidup selama manusia hidup. Sedangkan eritrosit hanya mampu hidup sampai 14 hari.

Disamping kedahsyatan penciptaan manusia dan struktur yang ada dalam tubuhnya, manusia juga “dianugerahi” beberapa karakter buruk yang jika tidak diobati, maka akan merugikan manusia itu sendiri.

Beberapa karakter buruk manusia yang disebut dalam Alquran adalah: Pertama, mengeluh dan kikir. "Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir." (QS. Al-Ma’arij: 19). Disadari maupun tidak, mengeluh adalah sifat dasar manusia yang timbul saat ia tertimpa masalah atau dalam kesempitan.

Sedangkan kikir yang dalam bahasa Arab disebut bakhil, secara detail Allah uraikan dalam QS. Al-Israa’: 100. “... Dan adalah manusia itu sangat kikir.”
Oleh sebab itu, Rasulullah SAW menganjurkan agar kita selalu berdoa, “Allahumma inni a’udzubika minal bukhli (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari sifat kikir).”

Kedua, lemah. Dalam Alquran, Allah mendeskripsikan dua kelemahan manusia, yaitu lemah secara fisik dan lemah (dalam melawan) hawa nafsu buruk. “Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah...” (QS. Ar-Rum: 54).

“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.”
(QS. An-Nisaa’: 28). Menurut Syekh Nawawi Al-Bantany, tafsir “lemah” dalam Surah An-Nisaa’ itu adalah lemah dalam melawan hawa nafsu.

Ketiga, zalim dan bodoh. “... sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS. Al-Ahzab: 72). Kezaliman dan kebodohan manusia dalam ayat di atas disebabkan karena rusak dan kotornya bumi, karena pertumpahan darah dan ulah manusia itu sendiri yang tidak merawat bumi dan seisinya sesuai dengan ketentuan Allah.

Keempat, tidak adil. Berlaku adil adalah tindakan yang terkadang kurang mudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kaum Madyan yang tidak berlaku adil, akhirnya diazab oleh Allah, seperti dalam firman-Nya, “Dan Syu'aib berkata, ‘Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.” (QS. Hud: 85).

Betapa pun sulitnya menghindari tabiat yang sudah Allah lekatkan dalam diri manusia, dengan bertobat dan terus berdoa kepada-Nya, niscaya Allah meminimalkan karakter buruk tersebut dari dalam diri kita. Serta memenuhi hati kita dengan cahaya iman dan hidayah untuk semangat dalam beribadah. Amin.


Sebuah Kisah.... layak disimak...

"Sebenarnya pilihan saya Taaruf itu salah satunya karena basic keluarga juga. Tapi lebih dari itu, selama 20 tahun (sebelum menikah) saya hidup sangat sadar bahwa kebanyakan orang yang kita kenal luarnya saja dan akan beda jauh ketika di dalam rumah tangga," kata Ira (bukan nama sebenarnya) yang memilih metode taaruf ketika mencari teman hidup. Hal itu disampaikan Ira saat berbincang dengan merdeka.com, Minggu (25/11).

Ira sadar meski taaruf sangat dibenarkan oleh agaman Islam, tapi tetap saja ada kendala yang dihadapi. Apalagi kita tidak mengenal sama sekali seperti apa wajah atau karakter orang tersebut.

"Sebenarnya kacamata orang awam, metode ini sama dengan beli kucing dalam karung. Sebab banyak yang harus diperhatikan, dipertimbangkan, diinvestigasi seperti apa orang yang akan diperkenalkan. Tapi saya serahkan ke Allah saya minta yang terbaik. Toh mengenal di luar tidak menjamin, malah muncul penilaian dengan kecendrungan yang membutakan mata. Misal tidak bisa melihat pasangan kita secara netral," jelas ibu satu anak ini.

Selain karena ingin melihat karakter pasangan lebih netral, alasan lain Ira memilih taaruf karena saat usianya 20 tahun, dia berniat ingin menikah di umur 22 tahun. Dan secara tidak sengaja pula, proses taaruf itu mulai dilakukan di umur 21 tahun.

"Dalam doa saya waktu ummur 20 itu, umur 22 saya siap nikah, dan doa saat itu Alhamdulillah, terkabul," kenangnya.

Ira pun membagi sedikit kisahnya bersama suami saat memilih metode taaruf untuk mencari pasangan hidup. Saat memulai proses itu, kata Ira, satu yang selalu dia camkan di benaknya bahwa dia hanya berusaha dan menyerahkan jodoh hidupnya pada Allah semata.

"Saat umur 21 tahun, saya punya kenalan yang rupanya satu organisasi di SMA dengan saya. Nah saat itu tiba-tiba dia SMS saya yang isinya lebih kurang begini 'Assalamualaikum wr wb Ira, berdasarkan hasil diskusi antara ustad dan guru ngaji saya ada yang perlu saya tanyakan, apakah sedang dalam masa pinangan atau sudah dikhitbah orang lain', nah saat itu saya tidak langsung jawab," cerita Ira.

Mendapatkan pesan demikian, Ira langsung berkonsultasi dengan guru ngajinya apa maksud pertanyaan dalam pesan singkat itu. Tak lama kemudian, si pria itu kembali mengirim pesan dan mengajak ira ber-taaruf.

"Nah karena sebelumnya saya tidak kenal secara personal dengan dia, saya memilih seorang mediator yang kebetulan teman saya sendiri yang sudah menikah. Mediator inilah yang alat komunikasi kita sampai masa khitbah," tambahnya.

"Akhir Januari 2011 kita via mediator saling bertukar curriculum vitae (CV). Mirip kaya CV ngelamar kerja, ada foto, biodata, data keluarga, karakter sifat masing-masing ingin seperti apa kriteria pasangan, dan bagaimana konsep pernikahan yang diinginkan. Setelah mediator memberikan CV kita, lalu kita diberi waktu berpikir ulang sampai waktu yang tidak ditentukan," jelasnya.

Keduanya berhak menolak dan tidak melanjutkan masa perkenalan ini. Saat itu, Ira benar-benar berkonsultasi pada banyak orang soal pria yang mengajaknya taaruf.

"Dan setelah saya konsultasi ke keluarga, teman-teman dia, lalu saya salat istikharah, akhirnya saya memutuskan lanjut ke tahap berikutnya yaitu nazhar," kata Ira.

Nazhar adalah proses saling melihat antara dua orang yang selama ini melakukan ta'aruf. Dalam tahap ini, Ira, mediator dan yang bersangkutan dipertemukan secara fisik dan mendiskusikan apa yang dimuat di CV. Setelah itu, mediator akan bertanya kembali apakah ingin dilanjutkan proses atau tidak. Kalau lanjut, pihak laki-laki langsung ditanyakan kapan orang tua akan mendatangi rumah wanita untuk silaturhami. Waktunya tidak boleh terlalu lama.

"Karena idealnya, taaruf itu 3-6 bulan. Nah kemudian, setelah ada kesepakatan kapan orang tua laki-laki ke rumah, saat itulah tugas si mediator selesai," ungkap wanita lulusan perguruan tinggi negeri ini.

Setelah silaturahmi ditentukanlah tanggal lamaran, kemudian melakukan proses lamaran dan menikah. Ira sendiri menghabiskan waktu lebih kurang 6 bulan sejak proses taaruf dimulai sampai akhirnya dia menikah.

Proses yang singkat memang. Tapi, Ira mengaku sangat yakin dengan pria yang dikenalnya lewat metode taaruf.

"Dengan dia gaya komunikasi kita mirip, dan dari awal gak ada masalah komunikasi dan karakternya lebih sabar. Selain itu, suami juga saat itu mencari partner rumah tangga yang juga bisa jadi partner kerja dan sejauh ini sesuai ekspektasi," ungkapnya.

Kini pernikahan mereka memasuki usia satu tahun lebih. Saat ini keduanya juga sudah dikaruniai seorang bayi mungil berumur empat bulan.

"Dia melengkapi, tidak banyak menuntut dan fleksibel. Alhamdulillah," katanya mengakhir berbincangan dengan suara bahagia.

 

Sifat Seseorang Berdasarkan Tanggal Lahir dan Surat Al Quran

Untuk mengetahui karakteristik sifat seseorang, kita bisa menganalisa menurut astrologi/zodiac, shio atau dari kalender Jawa. Tapi kali ini saya ingin berbagi info dari sini yaitu Menyibak Rahasia Karakteristik Sifat Seseorang Sesuai Tanggal Lahirnya Menurut Al-Qur’an. Percaya atau tidak terserah bagaimana anda menyikapinya.

Tanggal 1
Surat Al Fatihah (Pembukaan)
Menyukai hal baru, berbakat menjadi pemimpin, seorang pioneer (pelopor), idealis, cenderung ingin sempurna, pandai memanfaatkan kesempatan, egois, harus selalu jadi prioritas utama, sering mengulangi kesalahan yang sama, orang yang belum mengenalnya akan mengira sebagai sosok yang angkuh dan sulit ditaklukkan.

Tanggal 2
Al Baqarah (Sapi Betina)
Pekerja keras, taat akan hukum dan aturan, memiliki jiwa sosial dan kepedulian tinggi, menyukai hal-hal yang bersifat rutinitas, jika dia mampu ada cenderungan menjadi seorang dermawan, kurang inisiatif, sering dimanfaatkan orang lain serta gampang percaya kepada orang lain.

Tanggal 3

Al Imran (Keluarga Imran)
Seorang pemimpin (walaupun dalam kelompok kecil), berhati-hati dalam bertindak, mengayomi, tegas, suka suasana perdebatan dan agak cerewet, jika wanita ia cenderung tomboy, ingin menang sendiri, seorang pemimpi dan sering berfantasi.

Tanggal 4
An Nisa (Wanita)
Sensitif dan perasa, feminim, protektif terhadap keluarga, kreatif, kompak tapi mudah dipengaruhi, agak jahil (iseng), dan penggoda.

Tanggal 5
Al Maidah (Hidangan)
Diperlukan banyak orang, menyukai perubahan, memiliki insting yang lumayan, cepat bosan, ingin dilayani, susah diatur.

Tanggal 6
Al Anaam (Binatang Ternak)
Punya insting tajam, kurang mandiri, terkadang seenaknya sendiri, emosional, pemalu dan kurang percaya diri, dan cepat berubah pikiran.

Tanggal 7
Al A’Raaf (Tempat Tertinggi)
Cermat dan teliti, mudah mengambil hati orang lain, penuh inspirasi, terlihat sombong, suka meremehkan dan cepat puas.

Tanggal 8
Al Anfaal
Optimis, mobilitas tinggi, menyukai perubahan, emosional, gampang berubah pendirian, saat marah suka menyakiti diri sendiri.

Tanggal 9
At Taubah
Pemaaf, perfeksionis, mudah bergaul, tegas, tidak suka basa basi, tidak cepat puas, ingin selalu diperhatikan, keras kepala dan mudah goyah.

Tanggal 10
Yunus
Cepat menyesuaikan, banyak cara keluar dari persoalan, setiap kemauan harus terpenuhi, licin dan cerdik, tidak bisa dikekang dan susah diatur, mudah menyangkal dan banyak alasan.

Tanggal 11
Huud
Dibutuhkan banyak orang, mudah menerima, berhati-hati dalam berbuat, tidak banyak kemauan, pasif, terkadang diremehkan, peka perasaan.

Tanggal 12
Yusuf
Percaya diri, optimisme tinggi, tekun, teliti, disukai banyak orang, emosional, tidak mudah percaya, tidak bisa menahan keinginan, ambisius.

Tanggal 13
Ar Ra’du (Guruh / Petir)
Pemikir, dinamis, menyukai perbedaan, mudah menarik perhatia, logis, suka berdebat, tempramental, lambat memahami sesuatu.

Tanggal 14
Ibrahim
Pembimbing yang baik, patuh pada aturan, keras dan tegas, banyak rencana, rela berkorban.

Tanggal 15
Al Hijr (Batu)
Perfeksionis, keras kepala, telaten, gampang goyah pendiriannya, mudah dipengaruhi.

Tanggal 16
An Nahl (Lebah)
Rajin dan tekun, ramah, peka pada suasana di sekitarnya, berjiwa sosial, pandai memanfaatkan kesempatan, rapi, cerewet, sensitif dan agak cengeng, pendendam.

Tanggal 17
Al Israa
Idealis, banyak ide, suka berkhayal, emosional, lebih produktif jika beraktivitas pada malam hari (kegiatan yang baik dan bermanfaat).

Tanggal 18
Al Kahfi
Suka menolong, pengamat yang baik, pandai menyimpan rahasia, tidak mudah percaya, suka memendam masalah dan mengurung diri, susah ditebak maksudnya.

Tanggal 19
Maryam
Pengasuh, kekanak-kanakan, menyukai anak-anak, suka mengajar, sabar, memiliki banyak cara menyelesaikan masalah, bicara berdasar bukti, sering difitnah.

Tanggal 20
Thaha
Misterius, suka bepergian, memegang teguh aturan, suka lari dari masalah.

Tanggal 21
Al Anbiyaa
Bertanggung jawab, seorang pemimpin dan pemikir, pendengar yang baik, menerima apa adanya (ikhlas), tidak banyak kemauan.

Tanggal 22
Al Hajj
Segala sesuatu harus sempurna, mudah dipengaruhi, gampang terpengaruh, terburu-buru ingin cepat sampai tujuan, menyukai keramaian, sering berfikir muluk.

Tanggal 23
Al mu’minuun
Normatif, sensitif, feminim, fanatik terhadap sesuatu, mudah terpancing emosinya.

Tanggal 24
An Nuur
Mudah memberikan jalan keluar, cermat memilah masalah, pendengar setia, mudah tersinggung, suka mengungkit-ungkit, gampang menyalahkan.

Tanggal 25
Al Furqan
Punya skala prioritas, gemar membandingkan, ceplas ceplos, kurang inisiatif dan tidak banyak kemauan.

Tanggal 26
Asy Syuara
Pandai mengambil hati, suka berbelit-belit, kurang berani untuk menyampaikan keinginan, agak cerewet, tidak banyak keinginan, kurang romantis.

Tanggal 27
An Naml
Insting kuat, memiliki perencanaan yang baik, pandai memanfaatkan peluang, susah bekerja sendiri, mudah panik, tidak bisa disalahkan, mudah tersinggung, tidak bisa ditentang.

Tanggal 28
Al Qashash
Berani menyampaikan keinginan dan pendapat, memegang komitmen, mudah bergaul, tidak pernah kehabisan bahan pembicaraan, pendendam, emosional, romantis, pencemburu.

Tanggal 29
Al Ankabuut
Banyak kenalan, sabar, dinamis, kurang menyukai keramaian, tidak berfikir panjang, kurang pandai memelihara jaringan, bekerja kurang sistematis, mudah tersinggung.

Tanggal 30
Ar Ruum
Optimis, banyak akal, anggun, tempramental, suka bertindak semaunya dan ingin menang sendiri, pencemburu berat, setiap kemauannya harus dipenuhi.

Tanggal 31
Lukman
Bijaksana, seorang pemimpin, melindungi komunitasnya, sabar, tekad kuat, otoriter, setiap perintahnya harus dituruti.

Sesuaikah karakteristik sifat Anda berdasarkan Surat di atas ? Wallahu’alam

Referensi:
  1. Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda : “Perempuan itu dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya, lalu pilihlah perempuan yang beragama niscaya kamu bahagia.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
  2. “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang Mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu … .” (QS. Al Baqarah : 221)
  3. “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula) … .” (QS. An Nur : 26)
  4. “Maka wanita-wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara dirinya, oleh karena itu Allah memelihara mereka.” (QS. An Nisa’ : 34)
  5. “Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim)
  6. Dari Anas bin Malik, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : ” … kawinilah perempuan penyayang dan banyak anak … .” (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban)
  7. Dari Jabir, dia berkata, saya telah menikah maka kemudian saya mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan bersabda beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Apakah kamu sudah menikah ?” Jabir berkata, ya sudah. Bersabda Rasulullah : “Perawan atau janda?” Maka saya menjawab, janda. Rasulullah bersabda : “Maka mengapa kamu tidak menikahi gadis perawan, kamu bisa bermain dengannya dan dia bisa bermain denganmu.”
  8. “ … dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang Mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke Surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al Baqarah : 221)
  9. “Apabila kamu sekalian didatangi oleh seseorang yang Dien dan akhlaknya kamu ridhai maka kawinkanlah ia. Jika kamu sekalian tidak melaksanakannya maka akan terjadi fitnah di muka bumi ini dan tersebarlah kerusakan.” (HR. At Tirmidzi)
  10. “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (nikah) dan hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nur : 32)
  11. Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata, bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi WaSallam : “Jangan membenci seorang Mukmin (laki-laki) pada Mukminat (perempuan) jika ia tidak suka suatu kelakuannya pasti ada juga kelakuan lainnya yang ia sukai.” (HR. Muslim)
  12. Al Hasan bin Ali rahimahullah pernah berkata pada seorang laki-laki : “Kawinkanlah puterimu dengan laki-laki yang bertakwa sebab jika laki-laki itu mencintainya maka dia akan memuliakannya, dan jika tidak menyukainya maka dia tidak akan mendzaliminya.”
  13. http://tipsoke.com/tips-oke-memilih-pasangan-hidup-menurut-islam.html

sumber :
http://www.merdeka.com/peristiwa/taaruf-mencari-pasangan-hidup-secara-islami.html
http://cara-muhammad.com/tips/tips-memilih-pasangan-hidup/
http://gugundesign.wordpress.com/2009/03/18/kriteria-memilih-pasangan-hidup-menurut-islam/
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/07/11/m6zi4d-empat-karakter-manusia-dalam-alquran
http://www.indospiritual.com/artikel_sifat-seseorang-berdasarkan-tanggal-lahir-dan-surat-al-quran.html

Selasa, 27 Agustus 2013

Dunia Tak lebih Hanya Senilai Tetesan Air Kencing

Apakah Takdir Bisa Dirubah Dengan Do’a?

Kita sering menyatakan atas suatu kejadian: “Ah- itu semuanya adalah Takdir, ketentuan Allah yang tidak bisa dirubah”. Betulkah semua bentuk takdir tak dapat dirubah?

Dalam syarah kitab hadist Arbain Nawawi diterangkan bahwa takdir Allah swt itu ada empat macam yang dibagi kedalam dua kelompok besar, yakni TAKDIR MUBROM dan TAKDIR MU’ALLAQ, sebagaimana penjelasan dibawah ini:


I. TAKDIR MUBROM (TETAP)
 
1.Takdir Dalam Ilmu Alloh.
Takdir yang ada di ilmu Allah. Takdir ini tidak mungkin dapat berubah, sebagaimana Nabi Muhammad saw bersabda:
لاَيَهْلِكُ اللهُ إلاَّ هَالِكًا

“Tiada Allah mencelakakan kecuali orang celaka, (yaitu orang yang telah ditetapkan dalam ilmu Allah Taala bahwa dia adalah orang celaka.)”

2.Takdir Dalam Kandungan.
Takdir dalam kandungan, yaitu malaikat diperintahkan untuk mencatat rizki, umur, pekerjaan, kecelakaan, dan kebahagiaan dari bayi yang ada dalam kandungan tersebut.
Maka takdir ini termasuk takdir yang tak dapat dirubah sesuai kelanjutan dari hadist tersebut. Takdir ini sebetulnya termasuk takdir dari Ilmu Alloh seperti no I/1 diatas yang telah digariskan dalam tubuh sang jabang bayi. (Dalam ilmu pengetahuan Genetika modern mungkin dapat digambarkan pada unsur DNA?)


II.TAKDIR MU’ALLAQ (TAKDIR YANG TERGANTUNG)

1. Takdir Dalam Lauh Mahfudh.
Takdir yang ada dalam Lauhul Mahfudh. Takdir ini mungkin dapat berubah, sebagaimana firman Allah dalam surat ar-Ra’du ayat 39 yang berbunyi:
يَمْحُو اللهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الكِتَابِ

“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan apa yang dikehendaki, dan di sisi-Nyalah terdapat Ummul Kitab (Lauhul Mahfudz).”

Dan telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa beliau mengucapkan dalam do’anya yaitu “Ya Allah jika engkau telah menetapkan aku sebagai orang yang celaka maka hapuslah kecelakaanku, dan tulislah aku sebagai orang yang bahagia”.


2.Takdir Yang Diikuti Sebab Akibat
Takdir yang berupa penggiringan hal-hal yang telah ditetapkan kepada waktu-waktu DAN HAL- HAL yang telah ditentukan. Gambarannya: “Seandainya hambaku berdo’a atau bersilaturrahmi dan berbakti kepada kedua orang tua, maka Aku jadikan dia begini, jika dia tak berdo’a dan tidak bersilaturrahmi serta durhaka kepada kedua orang tua, maka ia Aku jadikan seperti ini..”

Takdir ini juga dapat diubah sebagaimana hadits yang menyatakan:

“Sesungguhnya sedekah dan silaturrahim dapat menolak kematian yang jelek dan mengubah menjadi bahagia.”

Dalam salah satu hadits lain Nabi Muhammad saw pernah bersabda;
إنَّ الدُّعَاءَ وَالبَلاَءَ بَيْنَ السَّمَاءِ والاَرْضِ يَقْتَتِلاَنِ وَيَدْفَعُ الدُّعَاءُ البَلاَءَ قَبْلَ أنْ يَنْزِلَ

“Sesungguhnya doa dan bencana itu diantara langit dan bumi, keduanya berperang; dan doa dapat menolak bencana, sebelum bencana tersebut turun.”

Khalifah Umar bin khattab, suatu ketika, pernah mau berkunjung ke Syam ( Yordania, Palestina, Suriah dan sekitarnya). pada saat itu di Syam sedang berjangkit penyakit menular, lalu Umar membatalkan rencananya tersebut. pembatalan tersebut didengar oleh seorang sahabatnya yang kemudian berkata : “Apakah anda mau lari dari takdir Allah ?”. Umar pun menjawab: “Aku lari dari takdir Allah ke takdir Allah yang lain yang lebih baik”.

Hal senada itu juga dialami oleh Ali bin Abi Thalib, ketika beliau sedang duduk menyandar pada sebuah tembok yang ternyata rapuh, lalu beliau pindah ke tempat yang lain, sahabatnya bertanya : “Apakah anda mau lari dari takdir Allah?”. Ali menjawab bahwa rubuhnya tembok, berjangkitnya penyakit dan sebagainya adalah hokum dan Sunnatulloh. Maka apabila seseorang tidak menghindarinya maka ia akan mendapatkan bahayanya itu. ITULAH YANG DINAMAKAN TAKDIR. dan apabila ia berusaha menghindar dan luput dari bahayanya, itu juga disebut dengan TAKDIR. BUKANKAH TUHAN TELAH MENGANUGRAH KAN MANUSIA, kemampuan memilah dan memilih, dan kemampuan berusaha dan berikhtiyar. Kemampuan itu juga takdir yang telah ditetapkan-Nya.

Bahkan Rasululloh sebagai tauladan tertinggi, saat Hijroh dan dikejar musuh, beliau bersembunyi di gua Tsaur sebagai bentuk Ikhtiyar, bukan karena takut atau lari dari Takdir, dan Allah telah mentakdirkan seekor burung dan seekor laba- laba bersarang disana, dan Alloh pun telah mentaqdirkan beliau akan selamat sampai di Madinah dan telah menraqdirkan pula Islam sebagai agama dunia.

Syekh K.H. A.Rifa’i menulis dan menuqil dari Tuhfatul Murid Syarah Jauhar – At Tauhid dalam Kitab Ri’ayatul Himmah, demikian:
ﻮﻋﻨﺪﻨﺎ ﻟﻟﻌﺑﺪ ﻜﺴﺐ ﻜﻟﻔﺎ # ﺑﻪ ﻮﻟﻜﻦ ﻻ ﻴﺆﺛﺭ ﻔﺎﻋﺭﻔﺎ

“Dan bagi kita kaum Ahlussunnah, kita diwajibkan ber- usaha dan ber- ikhtiyar seraya kita harus berkeyakinan bahwa kita TIDAK BOLEH MEMASTIKAN BERHASILNYA USAHA DAN IKJTIYAR yang kita lakukan itu”.

Oleh karena itu marilah kita banyak berdo’a, bersodaqoh,bersilaturrahmi, birrul Walidain serta mengamalkan kebaikan- kebaikan lainnya serta berusaha dan berikhtiyar tanpa henti, mudah- mudahan ada bagian takdir buruk kita yang bisa dihapuskan dan digantikan Allah tersebab amaliyah- maliyah dan segala ikhtiyar kita tersebut serta menggantinya dengan kebaikan- kebaikan dan keberhasilan. Amin.



Inilah Do’a Iblis Yang Dikabulkan

Allah berfirman dalam Al- Qur’an: “ Mintalah kalian pada Ku, niscaya Aku kabulkan”

Ini merupakan janji Allah yang akan diberikan kepada siapa saja dalam urusan dunia , bahkan kepada Iblis sekalipun. Sedang tentang urusan akherat hanya akan diberikan kepada orang- orang yang dikasihi Nya, yakni para mukminin- mukminat.

Mengapa demikian, karena bagi Allah, segala kekayaan materi dan segala kemewahan dunia adalah sesuatu yang tidak ada nilainya disisi Allah, bahkan jika dibanding dengan sayap seekor nyamuk sekalipun. Sebagaimana pernyataan sebuah hadist:
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ كَانَتْ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ

Dari Sahl bin Sa’d as-Saa’idiy rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata : “Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Seandainya dunia itu bernilai di sisi Alloh seberat sayap nyamuk tentu Dia tidak akan sudi memberi minum pada orang kafir walau hanya seteguk air.’” ( HR. Tirmidzi, dia berkata : “Hadits Hasan Shohih” . Adapun Syaikh Al Albani rohimahulloh menilainya Shohieh lighoirihi dalam Shohiehut Targhieb wat Tarhieb no. 3240 )

Demikianlah tatkala Iblis memohon- mohon untuk diberikan kesempatan umur panjang agar dapat selalu menggoda manusia, do’a ini dikabulkan Allah, sehingga Iblis beserta zuriyatnya tak akan mati sampai hari kiamat, sesuai firman Allah ketika menceriterakan permintaan Iblis:
ﻗﺎﻞ ﺮﺐ ﻔﺄﻨﻈﺮﻨﻲ ﺇﻟﻰ ﻴﻭﻡ ﻴﺑﻌﺛﻮﻦ

“Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan”. (Al- Hijr 36/ Shod 79).

Allah pun mengabulkan permintaan Iblis tersebut dengan firman Nya:
ﻗﺎﻞ ﻔﺈﻨﻚ ﻤﻦ ﺍﻟﻤﻨﻈﺮﻴﻦ – ﺇﻟﻰ ﻴﻮﻡ ﺍﻟﻮﻗﺕ ﺍﻟﻤﻌﻟﻮﻡ

“Sesungguhnya kamu termasuk golongan yang ditangguhkan (ajalnya). Sampai waktu yang telah dimaklumi (yakni hari kiamat)”. Al- Hijr 37- 38.

Bahkan segala fasilitas yang dimiliki Iblis dalam hal kemampuan fisik, tidak dicabut oleh Allah, sebagaimana kemampuan terbang diawang- awang, kemampuan menempuh jarak yang jauh bahkan sanggup mengitari bumi dalam sekejap, atapun kemampuan masuk kedalam alam pikiran seseorang, kedalam relung jiwa bahkan masuk dalam peredaran darah, semuanya tetap ada pada Iblis.

Demikian juga permintaan para musuh Allah dan para orang- orang kafir teman- teman Iblis lainnya tentang urusan duniawi, semua ini dikabulkan Allah bukan sebagai tanda kasih sayang Nya, namun sebagai ISTIDROJ (penglulu.jw). Artinya Allah memenuhi keinginan mereka disertai kemarahan dan laknat. Kita bisa melihat banyak orang kafir didunia ini sebagaimana Qorun, Fir’aun, Namruz, dan masih banyak lagi contoh lainnya baik di era pra sejarah maupun di era modern ini, bahkan oleh Allah kepada mereka telah dibukakan pintu- pintu rezki, kemewahan materi sebagai bentuk ISTIDROJ dan LAKNAT kepada mereka, sebagaimana firman Allah:
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّىٰ إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ

“Kemudian apabila mereka melupakan apa yang telah diperingatkan mereka dengannya, Kami bukakan kepada mereka pintu-pintu segala kemewahan dan kesenangan, sehingga apabila mereka bergembira dan bersukaria dengan segala nikmat yang diberikan kepada mereka, Kami timpakan mereka secara mengejutkan (dengan bala bencana yang membinasakan), maka mereka pun berputus asa (dari mendapat suatu pertolongan”). ( Ayat 44 : Surah al-An’aam )
وَمَا أَرْسَلْنَا فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا أَخَذْنَا أَهْلَهَا بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَضَّرَّعُونَ ثُمَّ بَدَّلْنَا مَكَانَ السَّيِّئَةِ الْحَسَنَةَ حَتَّىٰ عَفَوْا وَقَالُوا قَدْ مَسَّ آبَاءَنَا الضَّرَّاءُ وَالسَّرَّاءُ فَأَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ

“Dan Kami tidak mengutus dalam sesebuah negeri seorang nabi (yang didustakan oleh penduduknya), melainkan Kami timpakan mereka dengan kesusahan (kesempitan hidup) dan penderitaan (penyakit), supaya mereka tunduk merendah diri (insaf). Setelah (mereka tidak juga insaf) Kami gantikan kesusahan itu dengan kesenangan hingga mereka berkembang biak (serta bersuka cita) dan berkata (dengan angkuhnya): “Sesungguhnya nenek moyang kita juga pernah merasai kesusahan dan kesenangan (sebagaimana yang kita rasakan)”. Lalu Kami timpakan mereka (dengan azab seksa) secara mengejutkan , dan mereka tidak menyadarinya”. ( Ayat 94 & 95 : Surah al-A’raaf )

Maka, datangnya karunia Allah berupa kekayaan materi jangan sampai menjadikan kita GR, atau menganggap bahwa kita sedang dicintai Allah. Bahkan banyak para kekasih Allah yang justru bergetar takut serta memohon ampun kepada Allah tatkala tiba- tiba karunia nikmat berdatangan kepada dirinya, mereka takut, seandainya nikmat karunia yang datang itu tidak disertai rahmat, tetapi bersamaaN dengan datangnya laknat Allah, Na’uudzu Billaahi Min Dzaalik. Sebagaimana pesan Ibnu Atho’illah As- Sukandari dalam Kitab Al- Hikam:

Takutlah kamu terhadap karunia Allah yang terus menerus kamu peroleh, sedangkan saat itu kamu sedang melanggar perintah- Nya. Jangan sampai karunia itu datang semata- mata ISTIDROJ bagimu, (Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al- A’rof 182):

“KAMI AKAN BINASAKAN MEREKA PERLAHAN-LAHAN DENGAN JALAN YANG MEREKA TIDAK SADARI”..

INGAT: JARANG YANG MATI GARA- GARA SESUATU YANG PAHIT, NAMUN BETAPA BANYAK YANG JUSTRU TEWAS KARENA RASA MANISNYA GULA!!!



Dunia Hanya Senilai Tetesan Air Kencing

Al Kisah pada suatu hari Khalifah Harun Ar Rasyid yang sedang dalam perjalanan umroh bertemu dengan sahabatnya yang bernama Bahlul. setelah berangkulan tanda bahwa keduanya saling merindukan, sang Khalifahpun mengundang Bahlul untuk santap malam di tempatnya.

Melihat betapa penyambutan yang dilakukan oleh Harun Ar Rasyid cukup mewah, maka Bahlulpun mengajukan pertanyaan.

” Wahai Amiral Mukminin, seandaianya anda tertimpa penyakit aneh yang menyebabkan engkau tidak bisa buang air besar dan seluruh tabib istana tidak mampu menyembuhkannya, namun ada seseorang yang diizinkan Alloh dapat menyembuhkan penyakit anda, maka apa yang akan anda lakukan ?”

Khalifahpun menjawab,” Aku akan memberikan separoh dari kerajaanku sebagai tanda terima kasihku kepadanya.”

” Dan seandainya engkau tertimpa penyakit tidak dapat kencing sama sekali, lalu tiba-tiba ada seseorang yang diizinkan Oleh Alloh dapat menyembuhkan anda, apa yang akan anda lakukan ?”

Dengan penuh semangat sang khalifahpun menjawab,” Aku akan memberikan seluruh kerajaanku kepadanya sebagai hadiah atasnya.”

Mendengar jawaban itu, bahlulpun tersenyum dan berkata,” Wahai Amiral Mukminiin, ternyata nilai kerajaan anda yang begitu megah dan mewah itu tak lebih dari sepotong kotoran dan setetes kencing semata, lalu apa yang hendak anda banggakan di hadapan Alloh yang Maha Kaya ?”. Dengan menangis Harunpun menangis dan memeluk sahabatnya yang telah memberikan nashat berharga itu.

sepenggal kisah di atas penulis dapatkan dari sebuah buku yang penulis lupa judulnya, akan tetapi bagi penulis kisah di atas memiliki nilai pelajaran yang sangat tinggi, yaitu agar manusia tidak terlalu tamak terhadap dunia, menganggap dunia adalah segalanya dan menjadikan dunia adalah tujuan hidupnya semata sampai ia lalai akan kewajibannya sebagai manusia yaitu mengabdi kepada Rabbnya. Cara apapun akan dilakukan asalkan ia dapat mendapatkan kemewahan dan kemegahan duniawi, tidak peduli apakah cara tersebut halal atau haram, dholim atau bukan yang penting syahwat dan kerakusannya dapat tersalurkan.

Padahal dunia ini dimata Alloh tidak ada nilainya sama sekali, dalam hadits Riwayat Imam Turmuzi dan beliau nyatakan hasan shahih nabi bersabda,” Lau annad dunya ‘indallohi matsalu janaahi ba’udhotin ma saqol kaafiru walau surbata maain.” Seandainya dunia disisi Alloh senilai sayap nyamuk saja, maka orang kafir tidak akan pernah diberikannya walaupun seteguk air. Dan kenyataannya banyak orang kafir hidup mewah dengan harta yang melimpah, maka jelaslah bahwa dunia itu tidak ada nilainya sedikitpun dihadapan Alloh.

Sadar akan hal itu mestinya kita menjadikan dunia hanyalah sebagai sarana untuk ibadah dan mendekatkan diri kepada Alloh, berusaha mencarinya dengan cara yang halal dan menjauhi segala macam dunia yang haram, tidak tamak dan rakus. Manusia boleh mencari dunia dan bahkan menjadi wajib apabila bisa menjadi sarana untuk dapat tegaknya agama Alloh, namun hendaknya dalam mencarinya tersebut tetap berada pada rel syariah yang telah digariskan oleh Alloh melalui Nabi kita Muhammad Saw.


sumber :
http://tanbihun.com

Senin, 26 Agustus 2013

Wahai Manusia Selalu Bersyukurlah

Setiap manusia seharusnya selalu mengingat nikmat yang telah Allah berikan kepadanya. Nikmat yang ada di bumi dan seisinya telah disediakan Allah sebagai kelengkapan dan pelengkap ciptaan-Nya. Air, tanah, udara dan semesta alam dengan penuh kasih dan sayang-Nya mengapa kehadiran kita di dunia atas perintah-Nya, belum lagi kelengkapan anggota badan, sehingga kita dengan mudah menjalankan tugas sebagai khalifah di bumi. Disadari atau tidak, apa yang ada pada diri manusia, mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki adalah nikmat yang telah diberikan Allah dan merupakan anugerah yang tiada tara nilainya.

Hanya sedikit manusia yang pandai bersyukur

QS. Al-Baqarah [2] : 243
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang ke luar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati; maka Allah berfirman kepada mereka: "Matilah kamu", kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.

QS. Al-'A`raf [7] : 10
Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur.

QS. Al-'A`raf [7] : 17
Kementrian Agamakemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).

QS. Yunus [10] : 60
Apakah dugaan orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah pada hari kiamat? Sesungguhnya Allah benar-benar mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas manusia, tetapi kebanyakan mereka tidak mensyukuri(nya).

QS. Yusuf [12] : 38
Dan aku pengikut agama bapak-bapakku yaitu Ibrahim, Ishak dan Ya'qub. Tiadalah patut bagi kami (para Nabi) mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah. Yang demikian itu adalah dari karunia Allah kepada kami dan kepada manusia (seluruhnya); tetapi kebanyakan manusia tidak mensyukuri (Nya).

QS. Al-Mu'minun [23] : 78
Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan dan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur.

QS. An-Naml [27] : 73 ` Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mempunyai kurnia yang besar (yang diberikan-Nya) kepada manusia, tetapi kebanyakan mereka tidak mensyukuri(nya).

QS. As-Sajdah [32] : 9
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.

QS. Saba' [34] : 13
Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.

QS. Ghafir [40] : 61
Allah-lah yang menjadikan malam untuk kamu supaya kamu beristirahat padanya; dan menjadikan siang terang benderang. Sesungguhnya Allah benar-benar mempunyal karunia yang dilimpahkan atas manusia, akan tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.

QS. Al-Mulk [67] : 23
Katakanlah: "Dialah Yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati". (Tetapi) amat sedikit kamu bersyukur.


QS. Al-Baqarah:152
“Karena itu ingatlah kamu kepada-ku. Niscaya Aku ingat kepadamu. Dan bersyukurlah kepada-ku dan jangan kamu mengingkari-ku”

Bersyukur pada hakekatnya merupakan konsekuensi logis bagi seseorang makhluk seperti manusia kepada Allah, sebagai Tuhan yang telah menciptakan dan melimpahkan berbagai nikmat. Namun, kerap sekali makhluk-Nya terlupa bahkan melupakan-Nya.



 
Tiga hal yang sering membuat kita tidak bersyukur. 

Pertama, kita sering memusatkan diri pada apa yang kita inginkan bukan pada apa yang kita miliki. Hal ini terjadi karena kita salah dalam melakukan penilaian. Kita sering mengukur suatu nikmat dari Allah dengan ukuran diri sendiri, artinya jika keinginan dipenuhi, maka ia kan mudah bersyukur sebaliknya jika belum dikabulkan, maka ia enggan untuk bersyukur.

Katakanlah anda telah memiliki sebuah rumah, kendaraan, pekerjaan tetap, dan pasangan yang terbaik. Tapi anda masih merasa kurang. Pikiran anda dipenuhi target dan keinginan. Anda begitu terobsesi oleh rumah yang besar dan indah, mobil mewah, serta pekerjaan yg mendatangkan lebih banyak uang.
Kita ingin ini dan itu. Bila tak mendapatkannya kita terus memikirkannya. Tapi anehnya, walaupun sudah mendapatkannya, kita hanya menikmati kesenangan.

Kita tetap tak puas, kita ingin yang lebih lagi. Jadi, betapa pun banyak yang kita miliki, kita tak pernah menjadi “KAYA” dalam arti yang sesungguhnya.

Mari kita luruskan pengertian kita mengenai orang ”kaya”.

Orang yang ”kaya” bukanlah orang yang memiliki banyak hal, tetapi orang yang dapat menikmati apapun yang mereka miliki.  Tentunya boleh-boleh saja kita memiliki keinginan, tapi kita perlu menyadari bahwa inilah akar perasaan tak tenteram.

Kita dapat mengubah perasaan ini dengan berfokus pada apa yg sudah kita miliki. Cobalah lihat keadaan di sekeliling Anda, pikirkan yang Anda miliki, dan syukurilah. Anda akan merasakan nikmatnya hidup.
Pusatkanlah perhatian Anda pada sifat-sifat baik atasan, pasangan, dan orang-orang di sekitar Anda. Mereka akan menjadi lebih menyenangkan.

Seorang pengarang pernah mengatakan, ”Menikahlah dengan orang yang Anda cintai, setelah itu cintailah orang yang Anda nikahi.” Ini perwujudan rasa syukur.

Kedua, selalu melihat kepada orang lain yang diberikan lebih banyak nikmat, perilaku ini hanya menyuburkan rasa iri, hasud dan dengki kepada orang lain. Cobalah untuk melihat orang yang kurang beruntung, banyak di sekitar kita yang tak bisa menikmati indahnya pandangan dunia, bahkan ada yang tak bisa hanya untuk sekedar berjalan. Tidak jarang kita merasa orang lain lebih beruntung, kemanapun kita pergi, selalu ada yang lebih pandai, lebih tampan, lebih cantik dan lebih segalanyaaa dari kita. Rasullah mengajarkan “apabila seseorang diantara kamu melihat orang yang dilebihkan Allah dalam hal harta benda dan bentuk rupa, maka hendaklah ia melihat kepada orang-orang yang lebih rendah dari padanya”.

Ketiga, menganggap apa yang dimilki adalah hasil usaha sendiri, perilaku ini menumbuhkan sifat kikir, sombong dan melupakan Allah sebagai pemberi nikmat tersebut, padahal tidak ada satu nikmat pun yang datang dengan sendirinya. Melainkan Allah yang telah mengatur semuanya, kini mumpung Allah masih memberikan waktu, satu-satunya cara yang harus kita lakukan adalah mensyukuri semua nikmatnya dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Bukankah Sang Maha Pencipta telah berfirman:

“Bersyukurlah kepadaku maka Aku akan tambahkan nikmat-ku dan janganlah kufur (congkak/sombong) karena siksaku teramat pedih.”



Pertanyaannya, dengan apa kita harus mewujudkan rasa syukur itu?

Adapun manifestasi dari rasa syukur itu adalah: Pertama, hendaklah tertib menjalankan ibadah sebagai bagian terima kasih kita kepada Sang Pencipta, bukan lagi sebagai suatu yang membebani hidup kita, justru sebaliknya tetapi sangat mudah dan sangat murahnya, hanya dengan ketaatan, ketertiban dan kekhusyu’an ibadah.

Kedua, tekun belajar bukan lagi beban karena disuruh oleh orang tua, guru atau siapa pun, tetapi tekun belajar karena kita bersyukur atas anugerah otak yang telah diberikan kepada kita. Berprestasi dalam pendidikan adalah jawaban dari rasa terima kasih kita atas anugerah otak apabila kita tidak mengoptimalkan pengguna otak dengan tekun belajar, maka sang pencipta akan menghinakan kita baik didunia maupun diakhirat.

Sebelum semua terlambat marilah kita mengubah pola pikir tingkah laku dan amal perbuatan kita dengan bersyukur kepada Sang Pencipta agar kita dimuliakan saat hidup didunia dan dimuliakan ketika menghadap-Nya. Sebagaimana janji Sang Pencipta:

“Allah akan meninggikan orang yang beriman dantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat ” (Q.S. 58:11)


 
ALLAH MENAMBAHKAN NIKMATNYA KEPADA ORANG-ORANG YANG BERSYUKUR

Setiap orang sangat memerlukan Allah dalam setiap gerak kehidupannya. Dari udara untuk bernafas hingga makanan yang ia makan, dari kemampuannya untuk menggunakan tangannya hingga kemampuan berbicara, dari perasaan aman hingga perasaan bahagia, seseorang benar-benar sangat memerlukan apa yang telah diciptakan oleh Allah dan apa yang dikaruniakan kepadanya. Akan tetapi kebanyakan orang tidak menyadari kelemahan mereka dan tidak menyadari bahwa mereka sangat memerlukan Allah.

Mereka menganggap bahwa segala sesuatunya terjadi dengan sendirinya atau mereka menganggap bahwa segala sesuatu yang mereka peroleh adalah karena hasil jerih payah mereka sendiri. Anggapan ini merupakan kesalahan yang sangat fatal dan benar-benar tidak mensyukuri nikmat Allah. Anehnya, orang-orang yang telah menyatakan rasa terima kasihnya kepada seseorang karena telah memberi sesuatu yang remeh kepadanya, mereka menghabiskan hidupnya dengan mengabaikan nikmat Allah yang tidak terhitung banyaknya di sepanjang hidupnya. Bagaimanapun, nikmat yang diberikan Allah kepada seseorang sangatlah besar sehingga tak seorang pun yang dapat menghitungnya. Allah menceritakan kenyataan ini dalam sebuah ayat sebagai berikut:

"Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.s. an-Nahl: 18).

Meskipun kenyataannya demikian, kebanyakan manusia tidak mampu mensyukuri kenikmatan yang telah mereka terima. Adapun penyebabnya diceritakan dalam al-Qur'an: Setan, yang berjanji akan menyesatkan manusia dari jalan Allah, berkata bahwa tujuan utamanya adalah untuk menjadikan manusia tidak bersyukur kepada Allah. Pernyataan setan yang mendurhakai Allah ini menegaskan pentingnya bersyukur kepada Allah:

"Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur. Allah berfirman, 'Keluarlah kamu dari surga itu sebagai orang terhina lagi terusir. Sesungguhnya barangsiapa di antara mereka mengikuti kamu, benar-benar Aku akan mengisi neraka Jahanam dengan kamu semuanya'." (Q.s. al-A'raf: 17-8).

Dalam pada itu, orang-orang yang beriman karena menyadari kelemahan mereka, di hadapan Allah mereka memanjatkan syukur dengan rendah diri atas setiap nikmat yang diterima. Bukan hanya kekayaan dan harta benda yang disyukuri oleh orang-orang yang beriman. Karena orang-orang yang beriman mengetahui bahwa Allah adalah Pemilik segala sesuatu, mereka juga bersyukur atas kesehatan, keindahan, ilmu, hikmah, kepahaman, wawasan, dan kekuatan yang dikaruniakan kepada mereka, dan mereka mencintai keimanan dan membenci kekufuran.

Mereka bersyukur karena telah dibimbing dalam kebenaran dan dimasukkan dalam golongan orang-orang beriman. Pemandangan yang indah, urusan yang mudah, keinginan yang tercapai, berita-berita yang menggembirakan, perbuatan yang terpuji, dan nikmat-nikmat lainnya, semua ini menjadikan orang-orang beriman berpaling kepada Allah, bersyukur kepada-Nya yang telah menunjukkan rahmat dan kasih sayang-Nya.

Sebagai balasan atas kesyukurannya, sebuah pahala menunggu orang-orang yang beriman. Ini merupakan rahasia lain yang dinyatakan dalam al-Qur'an; Allah menambah nikmat-Nya kepada orang-orang yang bersyukur. Misalnya, bahkan Allah memberikan kesehatan dan kekuatan yang lebih banyak lagi kepada orang-orang yang bersyukur kepada Allah atas kesehatan dan kekuatan yang mereka miliki. Bahkan Allah mengaruniakan ilmu dan kekayaan yang lebih banyak kepada orang-orang yang mensyukuri ilmu dan kekayaan tersebut. Hal ini karena mereka adalah orang-orang yang ikhlas yang merasa puas dengan apa yang diberikan Allah dan mereka ridha dengan karunia tersebut, dan mereka menjadikan Allah sebagai pelindung mereka. Allah menceritakan rahasia ini dalam al-Qur'an sebagai berikut:

"Dan ketika Tuhanmu memaklumkan: 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih'." (Q.s. Ibrahim: 7)

Mensyukuri nikmat juga menunjukkan tanda kedekatan dan kecintaan seseorang kepada Allah. Orang-orang yang bersyukur memiliki kesadaran dan kemampuan untuk melihat keindahan dan kenikmatan yang dikaruniakan Allah. Rasulullah saw. juga menyebutkan masalah ini, beliau saw. bersabda:

"Jika Allah memberikan harta kepadamu, maka akan tampak kegembiraan pada dirimu dengan nikmat dan karunia Allah itu.

Dalam pada itu, seorang kafir atau orang yang tidak mensyukuri nikmat hanya akan melihat cacat dan kekurangan, bahkan pada lingkungan yang sangat indah, sehingga ia akan merasa tidak berbahagia dan tidak puas, maka Allah menjadikan orang-orang seperti ini hanya menjumpai berbagai peristiwa dan pemandangan yang tidak menyenangkan. Akan tetapi Allah menampakkan lebih banyak nikmat dan karunia-Nya kepada orang-orang yang ikhlas dan memiliki hati nurani.

Bahwa Allah menambah kenikmatan kepada orang-orang yang bersyukur, ini juga merupakan salah satu rahasia dari al-Qur'an. Bagaimanapun harus kita camkan dalam hati bahwa keikhlasan merupakan prasyarat agar dapat mensyukuri nikmat. Jika seseorang menunjukkan rasa syukurnya tanpa berpaling dengan ikhlas kepada Allah dan tanpa menghayati rahmat dan kasih sayang Allah yang tiada batas, tetapi rasa syukurnya itu hanya untuk menarik perhatian orang, tentu saja ini merupakan ketidakikhlasan yang parah.

Allah mengetahui apa yang tersimpan dalam hati dan mengetahui ketidakikhlasannya tersebut. Orang-orang yang memiliki niat yang tidak ikhlas bisa saja menyembunyikan apa yang tersimpan dalam hati dari orang lain. Tetapi ia tidak dapat menyembunyikannya dari Allah. Orang-orang seperti itu bisa saja mensyukuri nikmat ketika tidak menghadapi penderitaan. Tetapi pada saat-saat berada dalam kesulitan, mungkin mereka akan mengingkari nikmat.

Perlu diperhatikan, bahwa orang-orang mukmin sejati tetap bersyukur kepada Allah sekalipun mereka berada dalam keadaan yang sangat sulit. Seseorang yang melihat dari luar mungkin melihat berkurangnya nikmat pada diri orang-orang yang beriman. Padahal, orang-orang beriman yang mampu melihat sisi-sisi kebaikan dalam setiap peristiwa dan keadaan juga mampu melihat kebaikan dalam penderitaan tersebut. Misalnya, Allah menyatakan bahwa Dia akan menguji manusia dengan rasa takut, lapar, kehilangan harta dan jiwa. Dalam keadaan seperti itu, orang-orang beriman tetap bergembira dan merasa bersyukur, mereka berharap bahwa Allah akan memberi pahala kepada mereka berupa surga sebagai pahala atas sikap mereka yang tetap istiqamah dalam menghadapi ujian tersebut. Mereka mengetahui bahwa Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kekuatannya.

Sikap istiqamah dan tawakal yang mereka jalani dalam menghadapi penderitaan tersebut akan membuahkan sifat sabar dan syukur dalam diri mereka. Dengan demikian, ciri-ciri orang yang beriman adalah tetap menunjukkan ketaatan dan bertawakal kepada-Nya, dan Allah berjanji akan menambah nikmat kepada hamba-hamba-Nya yang mensyukuri nikmat-Nya, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak.

Bersyukurlah!
Bersyukurlah apabila kamu tidak tahu sesuatu …
Karena itu memberimu kesempatan untuk belajar …
Bersyukurlah untuk masa-masa sulit …
Di masa itulah kamu tumbuh …
Bersyukurlah untuk keterbatasanmu …
Karena itu memberimu kesempatan untuk berkembang …
Bersyukurlah untuk setiap tantangan baru …
Karena itu akan membangun kekuatan dan karaktermu …
Bersyukurlah untuk kesalahan yang kamu buat …
Itu akan mengajarkan pelajaran yang berharga …
Bersyukurlah bila kamu lelah dan letih …
Karena itu kamu telah membuat suatu perbedaan …
Mungkin mudah untuk kita bersyukur akan hal-hal yang baik …
Hidup yang berkelimpahan datang pada mereka yang juga bersyukur akan masa surut …
Rasa syukur dapat mengubah hal yang negatif menjadi positif …
Temukan cara bersyukur akan masalah-masalahmu dan semua itu akan menjadi berkah bagimu …


Semoga kita semua termasuk diantaranya Amin…nah, selagi ada waktu yang diberikan oleh-Nya, sudahkah kita mensyukuri semua nikmat-Nya?

Sumber :
http://cyberdakwah.com/2013/04/ada-3-hal-yang-membuat-kita-tidak-bersyukur/
http://jalmicirebon.blogspot.com/2012/03/hal-yang-membuat-manusia-tidak-mau.html
http://alquranalhadi.com/index.php/kajian/tema/3051/hanya-sedikit-manusia-yang-pandai-bersyukur
http://www.eramuslim.com/akhwat/muslimah/10-kesalahan-istri-terhadap-suami.htm#.UhpxJ3_GsSk
http://cyberdakwah.com/2013/04/ada-3-hal-yang-membuat-kita-tidak-bersyukur/#

Minggu, 25 Agustus 2013

Hukum meninggalkan Sholat Wajib

Para pembaca yang semoga selalu dirahmati oleh Allah Ta’ala. Kita semua pasti tahu bahwa shalat adalah perkara yang amat penting. Bahkan shalat termasuk salah satu rukun Islam yang utama yang bisa membuat bangunan Islam tegak. Namun, realita yang ada di tengah umat ini sungguh sangat berbeda. Kalau kita melirik sekeliling kita, ada saja orang yang dalam KTP-nya mengaku Islam, namun biasa meninggalkan rukun Islam yang satu ini. Mungkin di antara mereka, ada yang hanya melaksanakan shalat sekali sehari, itu pun kalau ingat. Mungkin ada pula yang hanya melaksanakan shalat sekali dalam seminggu yaitu shalat Jum’at. Yang lebih parah lagi, tidak sedikit yang hanya ingat dan melaksanakan shalat dalam setahun dua kali yaitu ketika Idul Fithri dan Idul Adha saja.

Memang sungguh prihatin dengan kondisi umat saat ini. Banyak yang mengaku Islam di KTP, namun kelakuannya semacam ini. Oleh karena itu, pada tulisan yang singkat ini kami akan mengangkat pembahasan mengenai hukum meninggalkan shalat. Semoga Allah memudahkannya dan memberi taufik kepada setiap orang yang membaca tulisan ini.

Para ulama sepakat bahwa meninggalkan shalat termasuk dosa besar yang lebih besar dari dosa besar lainnya

HUKUM MENINGGALKAN SHALAT DENGAN SENGAJA TANPA MENGINGKARI KEFARDHUAN-NYA/KEWAJIBANNYA
Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah رحمهم الله berkata: “Kaum muslimin tidak berselisih bahwa meninggalkan shalat fardhu dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar. Dosa meninggalkan sholat dengan sengaja disisi Allah lebih besar dari membunuh, mnecuri, berzina, dan minum-minuman keras. meninggalkan sholat dengan sengaja akan mendatangkan murka dan Adzab Allah  serta kehinaan didunia dan di akhirat.“

Namun para ulama berselisih tentang apakah ia harus dibunuh dan bagaimana cara membunuhnya, juga tentang apakah ia kafir atau tidak. Sufyan bin sa’id ats-Tsauri, Abu ‘Amr al-Auza’i, ‘Abdullah bin al-Mubarak, Hammad bin Zaid, Waki’ bin al-Jarrah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris asy-syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih رحمهم الله dan yang mengikuti mereka mengatakan, bahwa orang itu harus dibunuh.

Sementara Ibnu Syihab az-Zuhri, Sa’id bin al-Musayyab, ‘Umar bin Abdul aziz, Abu Hanifah, Dawud bin ali dan al-Muzani رحمهم الله berpendapat, ia tidak dibunuh tetapi ditahan sampai mati atau bertaubat [1]. Kemudian Ibnul Qayyim menyebutkan dalil dari masing-masing kelompok dalam sebuah pembahasan khusus yang sangat menarik.

Lalu mereka mengatakan, (orang itu) wajib dibunuh, berselisih pendapat tentang menagapa ia dibunuh, apakah pembunuhan itu sebagai hadd (hukuman) seperti dibunuhnya si pembunuh atau si pezina atau si perampok ataukah ia dibunuh karena murtad ?

Jika ia dipandang murtad, berarti meninggalkan sholat termasuk perbuatan dosa yang menjadikan orang yang mengerjakannya keluar dari Islam, dan berarti ia termasuk pengecualian dari macam-macam kaba-ir (dosa-dosa besar) sebagaimana syirik, yaitu dikecualikan dari kabirah (dosa besar) pada hadits ‘Ubadah bin ash-Shamit  dengan dalil-dalil yang lain dari Al Qur’an dan As-Sunnah. Mereka yang mengatakan wajib dibunuh ada dua pendapat :

Pendapat Pertama  
ORANG YANG MENINGGALKAN SHOLAT DENGAN SENGAJA ADALAH KAFIR YANG WAJIB DIBUNUH.
Mereka berkata: “Ia harus dibunuh seperti dibunuhnya orang yang murtad“. Pendapat ini adalah pendapat Imam Ahmad, Sa’id bin Jubair, Amir asy-Sya’bi, Ibrahim an-Nakha’i, Abu ‘Amr al-Auza’i, Ayyub as-Sakhtiyani, ‘Abdullah bin al-Mubara, Ishaq bin Rawaih, ‘Abdul Malik bin Hubaib dari Madzhab Maliki dan salah satu pendapat Imam Asy-Syafi’i, ath-Thahawi meriwayatkan dari imam Asy-Syafi’i sendiri, juga seperti diriwayatkan oleh imam ibnu Hazm [2], pendapat ini adalah pendapat ‘Umar bin Al-Khaththab, Mu’adz bin Jabal, ‘Abdurrahman bin Auf, Abu Hurairah dan para sahabat lainnya [3].

Al-Imam Min Nashr al-Mawarzi رحمهم الله berkata: “Telah kami sebutkan dalam kitab kami apa yang ditunjukkan oleh Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya tentang tingginya kedudukan shalat dan keharusan tentang dijanjikannya pahala kepada orang yang menjalankannya serta ancaman berat bagi yang mengabaikannya, dan kami sebutkan juga tentang perbedaan kedudukan dan keutamaan shalat dengan amal-amal lain.“

Muhammad bin Nashr mengatakan: “Lalu kami sebutkan hadits-hadits yang datang dari Rasululllah  tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat dan keluarnya mereka dari millah (agama) dan diperbolehkannya memerangi mereka yang menolak mengerjakannya. Riwayat-riwayat yang seperti itu juga telah datang dari para sahabat dan tidak kami temui perselisihan pendapat pada seorangpun dari mereka [4]. Pendapat pertama berdalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dan Ijma’ Sahabat -radiallahu anhum-“.

1. Dalil-Dalil Al-Quran

a. Firman Allah  :

Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir) ?. Atau adakah kamu (berbuat demikian): bagaimanakah kamu mengambil keputusan?. Atau adakah kamu mempunyai sebuah kitab (yang diturunkan Allah) yang kamu membacanya?, bahwa di dalamnya kamu benar-benar boleh memilih apa yang kamu sukai untukmu. Atau apakah kamu memperoleh janji yang diperkuat dengan sumpah dari Kami, yang tetap berlaku sampai hari kiamat; sesungguhnya kamu benar-benar dapat mengambil keputusan (sekehendakmu)? Tanyakanlah kepada mereka: “Siapakah di antara mereka yang bertanggung jawab terhadap keputusan yang diambil itu?” Atau apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu? Maka hendaklah mereka mendatangkan sekutu-sekutunya jika mereka adalah orang-orang yang benar. Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa, (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera. (QS Al-Qalam[68]:35-43)

Wajhu ad-Dalalah (letak pengambilan dalilnya) pada ayat ini: Sesungguhnya Allah  telah memberitahukan, bahwa orang Islam itu tidak sama dengan orang yang berbuat dosa (kafir). Penyamaan orang Islam dengan orang yang berbuat dosa tidak sesuai dengan kebijaksanaan dan hukum-Nya. Lantas Allah  menyebutkan keadaan mujrim (pelaku dosa/kafir) yang menjaid lawan orang Islam, dengan firman-Nya: “Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk sujud kepada Rabb Tabaraka wa Ta’ala“, Rabb mereka tetapi mereka dihalangi sehingga tidak dapat sujud beserta orang-orang Islam sebagai hukuman buat mereka karena mereka meninggalkan shalat (sujud) bersama orang-orang yang shalat di dunia. Ini menunjukkan bahwa mereka itu beserta orang-orang kafir dan munafik yang ketika orang Islam bersujud, mereka tidak bisa bersujud karena pungung-punggung mereka tegak. Andaikan mereka itu orang Islam, tentu mereka diizinkan sujud sebagaimana halnya orang-orang Islam.

b. Firman Allah  :

Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk syurga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun. (QS Maryam: 59-60)

Wajhu ad-Dalalah (letak pengambilan dalilnya) pada ayat ini: Bahwa Allah  telah menjadikan tempat dari neraka ini bagi mereka, orang-orang yang meninggalkan shalat dan memperturutkan hawa nafsu. Sekiranya ia orang Islam yang berbuat maksiat, tentu ia berada di tingkat paling tinggi dari neraka, karena tempat ini adalah tempat untuk orang-orang kafir bukan untuk orang-orang Islam yang maksiat.

Ada dalil lain yang ditunjukkan oleh ayat: “kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk syurga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun…”

Sekiranya orang yang meninggalkan shalat itu tetap mukmin, tentu dalam taubatnya tidak disyaratkan beriman (seperti apda ayat) karena yang demikian itu berarti pengulangan, atau mencari sesuatu yang sudah ada (tah-shilan lil hasil).

c. Firman Allah  :

” Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu , maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan . Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang. Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui. Bagaimana bisa ada perjanjian (aman) dari sisi Allah dan RasulNya dengan orang-orang musyrikin, kecuali orang-orang yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidilharaam ? maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa. Bagaimana bisa (ada perjanjian dari sisi Allah dan RasulNya dengan orang-orang musyrikin), padahal jika mereka memperoleh kemenangan terhadap kamu, mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan terhadap kamu dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Mereka menyenangkan hatimu dengan mulutnya, sedang hatinya menolak. Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik (tidak menepati perjanjian). Mereka menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan itu. Mereka tidak memelihara (hubungan) kerabat terhadap orang-orang mu’min dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Dan mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.” (QS At-Taubah:5-11)

Wajhu ad-Dalalah (letak pengambilan dalilnya) pada ayat ini: Sesungguhnya Allah  menyuruh kita untuk membunuh orang-orang musyrik dan mensyaratkan pembebasan mereka untuk berjalan dengan taubat yakni Islam, mendirikan shalat dan membayar zakat. Allah  juga telah menyatakan mereka adalah saudaranya orang-orang mukmin (yakni mereka beriman) apabila mengerjakan shalat dan membayar zakat. Jika tidak, maka mereka bukan orang-orang mukmin.

d. Firman Allah  :

Dan ia tidak mau membenarkan (Rasul dan Al Qur’an) dan tidak mau mengerjakan shalat, tetapi ia mendustakan (Rasul) dam berpaling (dari kebenaran). (QS Al-Qiyaamah:31-32)

Wajhu ad-Dalalah ayat ini: Bahwa Islam adalah membenarkan berita dari (Rasul) dan melaksanakan perintah, lawannya adalah tidak membenarkan (menolak, mendustakan) dan tidak menxjalankan shalat/perintah. Pada kedua ayat ini Allah  menyebutkan tentang dua hal (membenarkan dan mengerjakan shalat) dan dua hal yang menjadi lawannya (mendustakan dan berpaling). Oleh karena mukadzdzib (pendusta) adalah kafir, maka demikian pula orang yang berpaling dari shalat, juga kafir.

e. Firman Allah  :

“Sesungguhnya orang yang benar benar percaya kepada ayat ayat Kami adalah mereka yang apabila diperingatkan dengan ayat ayat itu mereka segera bersujud seraya bertasbih dan memuji Rabbnya, dan lagi pula mereka tidaklah sombong.” (QS As-Sajdah:15)

Wajhu ad-Dalalah ayat ini: Allah  menafikan iman dari mereak yang tidak mau sujud dan bertasbih memuji Rabb mereka ketika diperingatkan dengan ayat-ayat Allah . Dan peringatan ayat-ayat Allah  yang paling utama adalah peringatan dengan ayat shalat. Maka, orang yang diperingatkan agar shala, tetapi ia tidak mau, berarti ia tidak beriman kepadanya, karena Allah mengkhususkan orang-orang beriman dengan shalat, bahw amereka adalah orang-orang yang selalu bersujud. Inilah argumentasi yang paling baik. Jadi ia tidak beriman kepada ayat: “Dan dirikanlah shalat” (QS Al-Baqarah:43). kecuali orang-orang yang komitmen terhadapnya.

f. Firman Allah  :

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ruku’lah, niscaya mereka tidak mau ruku’, Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan.” (QS Al-Mursalat[77]:48-49)

Ayat ini sesudah ayat:

“(Dikatakan kepada orang-orang kafir): “Makanlah dan bersenang-senanglah kamu (di dunia dalam waktu) yang pendek; sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang berdosa”.“(QS Al-Mursalat[77]:46)

Lalu Allah  mengancam mereka karena mereka meninggalkan ruku’, yakni tidak mau shalat saat mereka diseru untuk menjalankannya. Dan tidak dapat dikatakan, sesungguhnya Allah mengancam mereka karena mendustakan, karena Allah telah memberitahukan, bahwa mereka meninggalkan (mereka tidak mau ruku’). sehingga dengannya mereka terkena ancaman.

Ibnul Qayyim رحمهم الله berkata: “Kami katakan, bahwa orang yang membenarkan bahwa Allah  menyuruh dan memerintahkan shalat, tidak akan meninggalkan shalat secara terus menerus. Orang yang membenarkan secara yakin bahwa Alla  telah mewajibkan sehari semalam agar shalat lima kali dan bahwa orang yang meninggalkannya akan mendapat siksa pedih, akan mustahil baginya -menurut logika dan adat- untuk terus menerus meninggalkan shalat. Orang yang benar-benar meyakini kewajibannya, tidak mungkin melestarikan perbuatan meninggalkan shalat, karena iman menyuruh sipemiliknya untuk melaksanakan kewajiban. Bila tidak ada dihatinya sesuatu yang mendorongnya untuk mengerjakan shalat, berarti dihatinya tidak terdapat iman. Janganlah engkau pedulikan ucapan orang-orang yang tidak memiliki ilmu dan pengalaman tentang hukum-hukum dan amal-amal hati. Renungkanlah, bahwa seorang hamba yang tersimpan iman/keyakinan didalam kalbunya akan adanya pahala dan siksa, surga dan neraka serta keyakinan bahwa Allah telah mewajibkan baginya shalat dan Allah  akan menyiksanya jika meninggalkannya, ia tidak mungkin meninggalkan shalat terus menerus tanpa adanya suatu penghalang.” (Lihat Ash-Shalah 37-44)

2. Dalil-Dalil dari as-Sunnah

a. Dari Jabir , aku telah mendengar Rasulullah  bersabda

“Sesungguhnya yang membedakan seseorang dari Syirik dan kekufuran adalah meninggalkan shalat“. (HR Muslim, Tirmidzi, Ibn Abi Syaibah)

b. Dari Buraidah al-Hashib al-Aslami , ia berkata, aku telah mendengar Rasulullah  bersabda,

“Perjanjian antara kita dengan mereka adalah shalat. Barangsiapa yang meninggalkannya berarti ia kafir“. (HR Trimidzi ia berkata Hasan Gharib)

c. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash , dari Nabi , bahwa pada suatu hari beliau menyebut tentang shalat, beliau bersabda,

“Barangsiapa yang memeliharanya, maka ia akan menjadi cahaya baginya dan akan menjadi bukti dan penyelamat pada hari kiamat. Barangsiapa yang menyia-nyiakannya, maka ia tidak menjadi cahaya baginya, juga tidak menjadi pembela dan penyelamat. Pada Hari kiamat ia akan bersama Qarun, Fir’aun, Haman dan Ubay bin khalaf“. (HR Ahmad, Ibnu Hibban)

Ibnul Qayyim رحمهم الله berkata: “Empat orang itu disebut secara khusus karena mereka adalah pemimpin kekufuran. Disana ada catatan khusus yang menarik, bahwa meninggalkan shalat bisa karena sibuk dengan hartanya, atau sibuk dengan jabatannya atau sibuk dengan tugasnya atau dengan perniagaannya. Orang yang sibuk meninggalkan shalat karena hartanya ia akan bersam Qarun, Orang yang sibuk meninggalkan shalat karena jabatan/kekuasaannya, ia akan bersam Fir’aun. Sedang orang yang sibuk dengan tugasnya ia akan bersama Haman. Dan orang yang sibuk dengan perniagaannya sehingga ia tidak shalat, ia akan bersama dengan Ubay bin Khalaf.” (Lihat Ash-Shalah oleh Ibnul Qayyim 46-47)

d. Hadits yang diriwayat oleh Muadz bin Jabal  dari Nabi , bahwa beliau bersabda,

“Pokok segala perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat sedang puncaknya adalah jihad fi sabilillah.” (HR Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)

Allah memberitahukan bahw akedudukan shalat dalam Islam bagaikan tiang bagi rumah. Rumah itu runtuh jika itangnya rubuh. Begitu juga Islam, ia akan lenyap dengan lenyapnya shalat. Ibnul Qayyim berkata: “Imam Ahmad رحمهم الله telah berhujjah dengan hadits ini.”

e. Hadits Anas bin Malik  berkata, Rasulullah  bersabda,

“Barangsiapa yang shalat seperti shalat kita, dan menghadap qiblat kita dan memakan sembelihan kita, maka ia adalah muslim yang mendapat jaminan dan perlindungan Allah dan Rasul-Nya. Maka janganlah kamu menghianati Allah dalam jaminan-Nya.” (HR Bukhari dalam Kitab Ash-Shalah 496 fat-hul baari)

Segi argumentasi hadits ini, bahwa dengan ketiga hal tersebut, Rasulullah  menyatakan seseorang adalah Muslim, dan tanpanya (shalat, menghadap qiblat, memakan sembelihan) ia bukan muslim. Juga bahwa seseorang yang shalat tidak menghadap qiblatnya dalah bukan muslim, lalu bagaimana dengan orang yang tidak shalat ?

f. Hadits yang diriwayatkan oleh Mihjan bin al-Adra’ al-Aslami, bahwa ketika ia duduk bersama Rasulullah , dikumandangkanlah adzan untuk shalat. Maka Rasulullah  bangun. Ketika Rasulullah  kembali, Mihjan masih duduk. “Apa yang menghalangi mu shalat ? bukankah engkau seorang muslim ?” tegur Rasul. Mihjan menjawab: “Ya, aku muslim. Akan tetapi aku sudah shalat dirumah.” Mendengar jawaban itu, maka Rasulullah  berkata kepadanya: “Bila engkau datang ke Masjid, shalatlah berjama’ah sekalipun engkau sudah shalat.” (HR Ahmad dan Hakim)

Disini Rasulullah menjadikan shalat sebagai pembeda antara muslim dan kafir. Jika memang sebutan muslim boleh diberika kepada orang yang meninggalkan shalat, maka Rasulullah  tidak akanberkata kepada pria yang tidak shalat “Bukankah engkau muslim ?“

Dan masih banyak dalil lainnya.

3. Ijma’ Sahabat

Ibnu Zanjawaih berkata: “Umar bin Rabi’ telah bercerita kepada kami, Yahya bin Ayyub telah bercerta kepada kami dari yunus, dari Ibnu Syihab, ia berkata: ‘Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah terlah bercerita kepadaku, bahwa:’Abdullah bin Abbas  telah menceritakannya, bahwa ia mendatangi Umar bin al-Khaththab  ketika ia ditikam di masjid, Ibnu Abbas berkata: ‘Aku menggotongnya bersama bersama orang-orang yang berada di masjid. Setelah kami membaringkannyadirumahnya, Umar menyuruh ‘Abdurrahman bin Auf  untuk mengimami shalat. Ketika kami menjenguknya ia tengah tidak sadarkan diri. Setelah sadar, ia berkata: “Tak ada Islam bagi orang yang tidak shalat”. Dalam riwayat lain “Tak ada bagian dalam Islam, bagi orang yang meninggalkan shalat.[5]” Kemudia ia minta air wudhu, lalu ia wudhu dan shalat.” Ibnu ‘Abbas menceritakan kisah itu.

Ibnu ‘Abbas  berkata: “Perkataan ‘Umar ini diucapkan dihadapan para Sahabat, dan tidak ada seorangpun dari mereka meng-ingkarinya. Riwayat ini datang dari Muadz bin Jabal, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, dan Abu Hurairah . Tidak seorang Sahabatpun menentangnya.” (Lihat kitab ash-Shalah oleh Ibnul Qayyim 50-51)

‘Abdullah bin Syaqiq berata: “Para sahabat Rasulullah  tidak melihat satu amal yang jika ditinggalkan adalah kafir, kecuali shalat.” (HR Tirmidzi dalam kitab al-Iman, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Targhib wa at-Tarhib 564)

Pendapat Kedua
ORANG YANG MENINGGALKAN SHOLAT KARENA MALAS WAJIB DIBUNUH SEBAGAI HADD (HUKUMAN) BUKAN KARENA KAFIR.

Diantara yang berpendapat seperti ini adalah Imam Malik dan Ibnu baththah. Ibnu Qudamah dalam al-Mughni mentarjih pendapat ini. Ia berkata: “Ini adalah pendapat fuqaha. Ini adalah riwayat yang masyhur dari Imam Asy-Syafi’i رحمهم الله yang dijadikan pegangan dalam madzhabnya.“

Imam Asy-Syafi’i رحمهم الله berkata: “Barangsiapa yang meningglakan shalat wajib sementara ia muslim, maka ia harus ditanya, ‘mengapa tidak shalat ?’ kalau ia menjawab: ‘karena saya sakit’, maka katakanlah kepadanya:’shalatlah semampumu, dengan berdiri, denganduduk, dengan berbaring, dengan isyarat’, apabila ia menjawab: ‘Saya bisa shalat, tetapi saya tidak shalat, dan saya akui shalat itu adalah wajib hukumnya’, maka katakanlah kepadanya: ‘shalat itu adalah kewajibanmu yang tidak bisa diwakilkan kepada yang lain. Ia harus dikerjakan olehmu langsung. Bertaubatlah! kalau tidak kami akan membunuhmu.’“

Imam Asy-Syafi’i رحمهم الله berkata: “Ketika kondisi shalat seperti itu, dimana orang yang meninggalkannya berada ditangan kita, tidak terhalang dari kita, namun kita tidak mampu mengambil shalat darinya karena shalat adalah perbuatan, bukan benda yang diambil seperti barang temuan, upeti dan harta benda. Maka, kami mengatakan: ‘Shalatlah kamu, jika tidak kami akan membunuhmu, sebagaimana terhadap orang kafir’, kami katakan: ‘Berimanlah atau kami akan membunuhmu’, karena iman itu tidak terwujud kecuali dengan ucapanmu. Shalat dan iman adalah dua hal yang berbeda dengan apa yang ada ditanganmu, karena kami mampu mengambil haq (Allah) darimu sekalipun kamu menolaknya.“

Imam Asy-Syafi’i رحمهم الله berkata: “Dan telah dikatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat diperintah agar bertaubat sampai tiga kali. Pendapat itu Insya Allah baik. Bila ia sadar, lalu shalat maka biarkan. Dan jika tidak mau juga, ia harus dibunuh.”

Imam Asy-Syafi’i رحمهم الله berkata sebagai sanggahan terhadap orang yang meninggalkan shalat. Bagaimana menurutmu jika ada yang bertanya kepada engkau: ‘Orang yang murtad dari Islam ketika engkau memberitahukannya’, lalu ia menjawab ‘Aku telah mengetahuinya tetapi aku tidak dapat mengatakannya ia harus saya tahan atausaya pukul kecuali jika ia mengucapkannya.’ Maka Imam Asy-Syafi’i berkata: “Ia tidak berhak melakukannya karena orang tadi telah mengganti agamanya, jadi tiada yang bisa diterima darinya kecuali ia mengatakannya lagi (Masuk ISlam lagi).”

Maka aku katakan kepadanya: “Bagaimana denganshalat ?” Shalat adalah bagiandari agamanya. Sebagaimana iman itu tidak terwujud kecualidengan mengucapkannya. Apakah yang meninggalkannya harus dibunuh ? karena ada rekanmu yang berkata, iatidak menahan dan tidak memukul/menderanya! Jika ia berkata, tentu saja, ia tidak boleh dibiarkan jika jelas-jelas ia tidak shalat. Aku (Yakni Imam Asy-Syafi’i رحمهم الله) katakan: “Apakah engkau akan membunuhnya dengan pendapatmu karena menolak peraturan buatanmu, sementara engkau tidak membunuhnya padahal ia meninggalkan sementara engkau tidak membunuhnya padahal ia meninggalkan shalat yang merupakan kewajiban yang paling pokok dari Allah  setelah tauhid dan bersaksi, maka Muhammad  adalah Rasulullah serta iman kepada apa yang dibawanya dari Allah .”

Dengan ini jelaslah bagi kita sikap dari madzhab Imam Asy-Syafi’i tentang orang yang meninggalkan shalat karena malas. Bahwa ia disuruh taubat, bila ia tidak mau maka ia dibunuh sebagai hadd (hukuman) baginya, bukan karena ia kafir. Adapun di akhirat ia berada didalam masyi-ah (kehendak Allah), apakan Allah akan menyiksanya atau mengampuninya.

Adapun yang mengatakan orang yang meninggalkan shalat tidak kafir adalah dengan dalil berikut:

1. Dalil dari Al-Qur’an

Firman Allah  :

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa menyekutukan Dia dan akan mengampuni dosa selain itu kepada siapa saja yang dikehendaki.” (QS An-Nisaa:48)

2. Dalil dari As-Sunnah

a. Hadits Ubadah bin ash-shamit  dari Nabi , bahwa beliau bersabda,

“Barangsiapa yang bersaksi bahwa tiada Ilah (yang berhak diibadahi) kecuali Allah, Mahatunggal Dia dan tidak ada sekutu bagi-Nya dan bahwa Muhammad adalah hamba allah dan Rasul-Nya, bahwa Isa adalah hamba Allah dan Rasul-Nya serta kalimat yang disampaikan-Nya kepada Marya dan ruh dari-Nya dan surgadan neraka adalah haq, maka Allah akan memasukkannya ke surga sesuai dengan alam yang dikerjakannya.” (HR Bukhari dan Muslim)

b. Hadits Ubadah bin ash-shamit  yang merupakan dalil pokok bagi mereka, ‘Ubadah bercerita, aku telah mendengar bahwa Rasulullah  bersabda:

“Lima shalat yang telah ditetapkan oleh Allah atas para hamba. Barangsiapa yang melaksanakannya, mak baginya ada perjanjian disisi Allah, bahwa Allah akan memasukkannya kedalam surga. Dan barangsiapa yang tidak menjalankannyamaka tidak ada untuknya perjanjian disisi Allah. Bila Allah menghendaki untuk menyiksanya, maka Ia tidak akan menyiksanya dan jika Allah menghendaki mengampuninya, maka Ia akan mengampuninya.” (HR Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)

c. dari abu Hurairah , ia berkata, Rasulullah  bersabda,

“Yang pertama kali dihisab bagi seorang hamba pad ahari kiamat adalah shalat fardhu. Bila ia menjalankannya dengan sempurna maka ia beruntung, jika tidak sempurna maka dikatakan kepadanya; ‘Periksalah amal sunnahnya! bila ia suka melakukan sunnah mak amalan yang fardhu disempurnakan dengannya.’ Kemudian cara seperti itu dilakuakan untuk menghitung seluruh ibadah fardhu yang lainnya.” (HR Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)
Pendapat yang rajih (kuat) dalam masalah ini

Pendapat yang rajih adalh pendapat yang mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja adalah kafir yang harus dibunuh karena telah murtad. Mereka yang berpendapat dengan pendapat pertama (yang mengatakan orang yang meninggalkan secara sengaja adalah murtad) telah membantah pendapat yang kedua.

Imam Asy-Syaukani رحمهم الله misalnya ia berkata: “Para imam salaf dan khalaf, begitu juga Asy-Ari’ah dan Mu’tazilah serta yang lainnya bersepakat bahwa hadits-hadits yang menyebutkan bahwa orang yang mengucap Laa Ilaaha Illallaah masuk surga, adalah terikat kepada syarat, yaitu apabila (ia) tidak mengerjakan kewajiban yang Allah fardhukan kepadanya dan jika tidak mengerjakan dosa besar yang sipelakunya tidak bertaubat, dan bahwa semata-mata hanya mengucap syahadat, sipengucapnya tidak dipastikan masuk surga.” (Lihat kitan Nailul al-Authar 1/376)

Imam Muhammad bin Nashr رحمهم الله berkata: Adapun argumentasi mereka yang menggunakan hadits ‘Ubadah, pada hadits tersebut ada kata-kata sebagai berikut: “Barangsiapa yang shalat lima waktu dengan sempurna, tidak dikurangi sedikitpun dari hak-haknya. Maka ia mendapat perjanjian dari Allah. Bahwa Allah tidak akan menyiksanya. Dan barang siapa yang menjalankannya tetapi tidak sempurna (mengurangi sebagian hak-haknya) maka ia tidak mendapat perjanjian dari Allah . Jika Allah menghendaki Dia menyiksanya, dan jika Allah menghendaki Dia memaafkannya”. ‘Abu Abdillah bertutur: Rasulullah  bersabda, “Barangsiapa yang mengurangi hak shalat, beritahukanlah kepadanya bahwa ia telah mengurangi haknya.” (Lihat kitab Ta’zhim qadri ash-Shalah 2/967-969)

Imam Muhammad bin Nashr رحمهم الله berkata: “Yang termasuk hak-hak shalat yang harus dipenuhi adalah suci dari hadats, sucinya pakaian shalat, sucinya tempat shalat, memelihara waktu-waktu shalat, khusyu, sempurna ruku’ dan sujudnya. Orang yang mengerjakan semua itu dengan sempurna sesuai yang diperintahkan, maka dialah yang berhak mendapat janji dari Allah, bahwa Allah akan memasukkannya kesurga. Dan barangsiapa yang tidak pernah meninggalkan shalat, tetapi ia mengurangi hak-haknya, maka dialah orang yang tidak mendapat janji Allah . Allah akan menyiksanya, jika Dia menghendaki, dan Allah akan mengampuni jika Dia menghendaki. Ini sangatlah beda jauh dengan orang yang meninggalkan shalat sama sekali.“

Ibnul Qayyim al-Jauziyah رحمهم الله berkata: “Dalil-dalil yang telah kami sebutkan menunjukkan bahwa amal seorang hamba tidak akan diterima kecuali jika ia mengerjakan shalat, karena shalat adalah kunci gudangnya dan modal dari keuntungannya. Tidak mungkin keuntungan diraih tanpa modal. Bila ia mengabaikan shalat, mak apercumalah semua amal-amalnya yang lain sekalipun shalatnya hanya rupanya (saja) (artinya seakan-akan shalat).“

Satu hal yang aneh, jika orang yang tidak shalat tidak dinyatakan kafir, sementara ia diperintah dihadapan orang banyak untuk mengerjakannya sambil diancam untuk dibunuh, namun tetap ia membangkang bahkan menantang: “Bunuhlah aku, aku tidak akan shalat selamanya.” Jika ia tidak dikafirkan, ini adalah aneh. Dan juga pendapat yang menyatakan bahwa ia tidak kafir,engatakan: “Orang tersebut adalah orang mukmin, muslim, jika mati dimadikan dan dishalatkan serta dikuburkan di pemakaman kaum muslimin.” Sebagian lagi menyatakan: “Orang yang meninggalkan shalat tersebut adalah mukmin yang sempurna imannya seperti imannya Jibril dan Mikail. Ia tidak malu menolak pendapat yang mengkafirkan orang yang telah dinyatakan kafir oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah dan Ijma Sahabat.” (Lihat ash-Shalah oleh Ibnul Qayyim 62-63)

Jadi, intinya ada perbedaan pendapat dalam masalah ini di antara para ulama termasuk pula ulama madzhab. Bagaimana hukum meninggalkan shalat menurut Al Qur’an dan As Sunnah? Silakan simak pembahasan selanjutnya.

Pembicaraan orang yang meninggalkan shalat dalam Al Qur’an

Banyak ayat yang membicarakan hal ini dalam Al Qur’an, namun yang kami bawakan adalah dua ayat saja.

Allah Ta’ala berfirman,

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui al ghoyya, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.” (QS. Maryam: 59-60)

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma mengatakan bahwa ‘ghoyya’ dalam ayat tersebut adalah sungai di Jahannam yang makanannya sangat menjijikkan, yang tempatnya sangat dalam. (Ash Sholah, hal. 31)

Dalam ayat ini, Allah menjadikan tempat ini –yaitu sungai di Jahannam- sebagai tempat bagi orang yang menyiakan shalat dan mengikuti syahwat (hawa nafsu). Seandainya orang yang meninggalkan shalat adalah orang yang hanya bermaksiat biasa, tentu dia akan berada di neraka paling atas, sebagaimana tempat orang muslim yang berdosa. Tempat ini (ghoyya) yang merupakan bagian neraka paling bawah, bukanlah tempat orang muslim, namun tempat orang-orang kafir.

Pada ayat selanjutnya juga, Allah telah mengatakan,

إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا

“kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.” Maka seandainya orang yang menyiakan shalat adalah mukmin, tentu dia tidak dimintai taubat untuk beriman.

Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ

“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.” (QS. At Taubah [9]: 11). Dalam ayat ini, Allah Ta’ala mengaitkan persaudaraan seiman dengan mengerjakan shalat. Berarti jika shalat tidak dikerjakan, bukanlah saudara seiman. Konsekuensinya orang yang meninggalkan shalat bukanlah mukmin karena orang mukmin itu bersaudara sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.” (QS. Al Hujurat [49]: 10)

Pembicaraan orang yang meninggalkan shalat dalam Hadits

Terdapat beberapa hadits yang membicarakan masalah ini.

Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ

“(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 257)

Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu -bekas budak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلَاةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ

“Pemisah Antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat. Apabila dia meninggalkannya, maka dia melakukan kesyirikan.” (HR. Ath Thobariy dengan sanad shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib no. 566).

Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ

“Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat.” (HR. Tirmidzi no. 2825. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi). Dalam hadits ini, dikatakan bahwa shalat dalam agama Islam ini adalah seperti penopang (tiang) yang menegakkan kemah. Kemah tersebut bisa roboh (ambruk) dengan patahnya tiangnya. Begitu juga dengan islam, bisa ambruk dengan hilangnya shalat.

Para sahabat ber-ijma’ (bersepakat) bahwa meninggalkan shalat adalah kafir

Umar mengatakan,

لاَ إِسْلاَمَ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ

“Tidaklah disebut muslim bagi orang yang meninggalkan shalat.”

Dari jalan yang lain, Umar berkata,

ولاَحَظَّ فِي الاِسْلاَمِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ

“Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.” (Dikeluarkan oleh Malik. Begitu juga diriwayatkan oleh Sa’ad di Ath Thobaqot, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Iman. Diriwayatkan pula oleh Ad Daruquthniy dalam kitab Sunan-nya, juga Ibnu ‘Asakir. Hadits ini shohih, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 209). Saat Umar mengatakan perkataan di atas tatkala menjelang sakratul maut, tidak ada satu orang sahabat pun yang mengingkarinya. Oleh karena itu, hukum bahwa meninggalkan shalat adalah kafir termasuk ijma’ (kesepakatan) sahabat sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim dalam kitab Ash Sholah.

Mayoritas sahabat Nabi menganggap bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja adalah kafir sebagaimana dikatakan oleh seorang tabi’in, Abdullah bin Syaqiq. Beliau mengatakan,

كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ الأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاَةِ

“Dulu para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amal yang apabila ditinggalkan menyebabkan kafir kecuali shalat.” Perkataan ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Aqliy seorang tabi’in dan Hakim mengatakan bahwa hadits ini bersambung dengan menyebut Abu Hurairah di dalamnya. Dan sanad (periwayat) hadits ini adalah shohih. (Lihat Ats Tsamar Al Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, hal. 52)

Dari pembahasan terakhir ini terlihat bahwasanya Al Qur’an, hadits dan perkataan sahabat bahkan ini adalah ijma’ (kesepakatan) mereka menyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja adalah kafir (keluar dari Islam). Itulah pendapat yang terkuat dari pendapat para ulama yang ada.

Ibnul Qayyim mengatakan, “Tidakkah seseorang itu malu dengan mengingkari pendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, padahal hal ini telah dipersaksikan oleh Al Kitab (Al Qur’an), As Sunnah dan kesepakatan sahabat. Wallahul Muwaffiq (Hanya Allah-lah yang dapat memberi taufik).” (Ash Sholah, hal. 56)

Berbagai kasus orang yang meninggalkan shalat

[Kasus Pertama] Kasus ini adalah meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya sebagaimana mungkin perkataan sebagian orang, “Sholat oleh, ora sholat oleh.” [Kalau mau shalat boleh-boleh saja, tidak shalat juga tidak apa-apa]. Jika hal ini dilakukan dalam rangka mengingkari hukum wajibnya shalat, orang semacam ini dihukumi kafir tanpa ada perselisihan di antara para ulama.

[Kasus Kedua] Kasus kali ini adalah meninggalkan shalat dengan menganggap gampang dan tidak pernah melaksanakannya. Bahkan ketika diajak untuk melaksanakannya, malah enggan. Maka orang semacam ini berlaku hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Inilah pendapat Imam Ahmad, Ishaq, mayoritas ulama salaf dari shahabat dan tabi’in.

[Kasus Ketiga] Kasus ini yang sering dilakukan kaum muslimin yaitu tidak rutin dalam melaksanakan shalat yaitu kadang shalat dan kadang tidak. Maka dia masih dihukumi muslim secara zhohir (yang nampak pada dirinya) dan tidak kafir. Inilah pendapat Ishaq bin Rohuwyah yaitu hendaklah bersikap lemah lembut terhadap orang semacam ini hingga dia kembali ke jalan yang benar. Wal ‘ibroh bilkhotimah [Hukuman baginya dilihat dari keadaan akhir hidupnya].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Jika seorang hamba melakukan sebagian perintah dan meninggalkan sebagian, maka baginya keimanan sesuai dengan perintah yang dilakukannya. Iman itu bertambah dan berkurang. Dan bisa jadi pada seorang hamba ada iman dan nifak sekaligus. …Sesungguhnya sebagian besar manusia bahkan mayoritasnya di banyak negeri, tidaklah selalu menjaga shalat lima waktu. Dan mereka tidak meninggalkan secara total. Mereka terkadang shalat dan terkadang meninggalkannya. Orang-orang semacam ini ada pada diri mereka iman dan nifak sekaligus. Berlaku bagi mereka hukum Islam secara zhohir seperti pada masalah warisan dan semacamnya. Hukum ini (warisan) bisa berlaku bagi orang munafik tulen. Maka lebih pantas lagi berlaku bagi orang yang kadang shalat dan kadang tidak.” (Majmu’ Al Fatawa, 7/617)

[Kasus Keempat] Kasus ini adalah bagi orang yang meninggalkan shalat dan tidak mengetahui bahwa meninggalkan shalat membuat orang kafir. Maka hukum bagi orang semacam ini adalah sebagaimana orang jahil (bodoh). Orang ini tidaklah dikafirkan disebabkan adanya kejahilan pada dirinya yang dinilai sebagai faktor penghalang untuk mendapatkan hukuman.

[Kasus Kelima] Kasus ini adalah untuk orang yang mengerjakan shalat hingga keluar waktunya. Dia selalu rutin dalam melaksanakannya, namun sering mengerjakan di luar waktunya. Maka orang semacam ini tidaklah kafir, namun dia berdosa dan perbuatan ini sangat tercela sebagaimana Allah berfirman,

وَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5)

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al Maa’un [107]: 4-5) (Lihat Al Manhajus Salafi ‘inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, 189-190)

Sudah sepatutnya kita menjaga shalat lima waktu. Barangsiapa yang selalu menjaganya, berarti telah menjaga agamanya. Barangsiapa yang sering menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan lagi.

Amirul Mukminin, Umar bin Al Khoththob –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan, “Sesungguhnya di antara perkara terpenting bagi kalian adalah shalat. Barangsiapa menjaga shalat, berarti dia telah menjaga agama. Barangsiapa yang menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan lagi. Tidak ada bagian dalam Islam, bagi orang yang meninggalkan shalat.”

Imam Ahmad –rahimahullah- juga mengatakan perkataan yang serupa, “Setiap orang yang meremehkan perkara shalat, berarti telah meremehkan agama. Seseorang memiliki bagian dalam Islam sebanding dengan penjagaannya terhadap shalat lima waktu. Seseorang yang dikatakan semangat dalam Islam adalah orang yang betul-betul memperhatikan shalat lima waktu. Kenalilah dirimu, wahai hamba Allah. Waspadalah! Janganlah engkau menemui Allah, sedangkan engkau tidak memiliki bagian dalam Islam. Kadar Islam dalam hatimu, sesuai dengan kadar shalat dalam hatimu.” (Lihat Ash Sholah, hal. 12)

Oleh karena itu, seseorang bukanlah hanya meyakini (membenarkan) bahwa shalat lima waktu itu wajib. Namun haruslah disertai dengan melaksanakannya (inqiyad). Karena iman bukanlah hanya dengan tashdiq (membenarkan), namun harus pula disertai dengan inqiyad (melaksanakannya dengan anggota badan).

Ibnul Qoyyim mengatakan, “Iman adalah dengan membenarkan (tashdiq). Namun bukan hanya sekedar membenarkan (meyakini) saja, tanpa melaksanakannya (inqiyad). Kalau iman hanyalah membenarkan (tashdiq) saja, tentu iblis, Fir’aun dan kaumnya, kaum sholeh, dan orang Yahudi yang membenarkan bahwa Muhammad adalah utusan Allah (mereka meyakini hal ini sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka), tentu mereka semua akan disebut orang yang beriman (mu’min-mushoddiq).”

Al Hasan mengatakan, “Iman bukanlah hanya dengan angan-angan (tanpa ada amalan). Namun iman adalah sesuatu yang menancap dalam hati dan dibenarkan dengan amal perbuatan.” (Lihat Ash Sholah, 35-36)

Dalam sebuah hadist menerangkan bahwa Rasulullah S.A.W telah bersabda : “Barangsiapa yang mengabaikan shalat secara berjama’ah maka Allah S.W.T akan mengenakan 12 tindakan yang membahayakan atas dirinya.

Tiga darinya akan dirasakan semasa di dunia ini antaranya ialah :
Allah S.W.T akan menghilangkan berkat dari usahanya dan begitu juga terhadap rezekinya.
Allah S.W.T mencabut nur orang-orang mukmin daripadanya.
Dia akan dibenci oleh orang-orang yang beriman.

Tiga macam bahaya adalah ketika dia hendak mati, antaranya :
Ruh dicabut ketika dia di dalam keadaan yang sangat haus walaupun ia telah meminum seluruh air laut.
Dia akan merasa yang amat pedih ketika ruh dicabut keluar.
Dia akan dirisaukan akan hilang imannya.

Tiga macam bahaya yang akan dihadapinya ketika berada di dalam kubur, antaranya :
Dia akan merasa susah terhadap pertanyaan malaikat munkar dan nakir yang sangat menakutkan.
Kuburnya akan menjadi gelap gulita.
Kuburnya akan menghimpit sehingga semua tulang rusuknya berkumpul (seperti jari bertemu jari).

Tiga lagi azab nanti di hari kiamat, antaranya :
Hisab ke atasnya menjadi sangat berat.
Allah S.W.T sangat murka kepadanya.
Allah S.W.T akan menyiksanya dengan api neraka.

Semoga kita semua mampu dan terus berusaha menjaga sholat fardhu lima waktu dengan baik dan benar sehingga kita terhindar dari dosa dan siksa api neraka yang menakutkan, dan semoga kematian kita kelak diberikan kematian yang khusnl khatimah, amin.

Semoga tulisan yang singkat ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga kita dapat mengingatkan kerabat, saudara dan sahabat kita mengenai bahaya meninggalkan shalat lima waktu. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

***



FootNote

[1]. Lihat kitab ash-Shalah 16-22 oleh Ibnul Qayyim al-Jauziyah. Lihat juga al-Mughni 3/351, al-Majmu oleh imam Nawawi 3/13, al-Muhalla karaya Ibnu Hazm 2/242 Nail authar 1/369 dan syarh as-Sunnah 2/180.

[2]. Lihat Musyjil al-Atsar oleh ath-Thahawi 4/228 dan as-Shalah oleh imam ibnul Qayyim 33.

[3]. Ash_shalah oleh Ibnul qayyim 33, at-tarhib oleh al-Mundziri 1/393, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 3/351-359 dan al-Muhallah 2/242.

[4]. Ta’zhim Qadri ash-Shalah 2/925.

[5]. Diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwaththa dengan mauquf pada Umar dari hadits al-Miswar bin Makhramah, bahwa ia menjenguk ‘Umar bin al-Kaththab pada malam ia ditikam. Lalu ia menawarkan kepada ‘Umar untuk shalat subuh. Maka ‘Umar menjawab: “Ya, tak ada bagian dari Islam, orang yang meninggalkan shalat.” Maka ‘Umar pun shalat dengan darah yang menetes. Lihat al-Muwaththa 1/40-41, dengan isnad yang shahih. Dan diriwayatkan secara marfu’ dari Abu Hurairah  yang lafazhnya adalah: “Tidak ada jatah dalam Islam orang yang meninggalkan shalat.” Al-Haitsami menisbatkannya kepadanya dalam kitab Majma’ az-Zawa’id 1/229. Ia berkomentar: “Didalamnya terdapat ‘Abdullah bin Sa’id yang disepakati oleh ulama atas ke dha’ifannya.”

Selesai disusun di Panggang, Gunung Kidul, 22 Jumadil Ula 1430 H
Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal
Dimuroja’ah oleh: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id


Dari artikel 'Dosa Meninggalkan Shalat Lima Waktu Lebih Besar Dibandingkan Dosa Berzina — Muslim.Or.Id'
http://abiyazid.wordpress.com/2007/07/30/hukum-meninggalkan-shalat-dengan-sengaja-tanpa-mengingkari-kefardhuan-nyakewajibannya/
http://www.adelia.web.id/dosa-dan-siksa-meninggalkan-shalat/