Halaman

Minggu, 11 Agustus 2013

Demi Waktu Saling Menasehati dalam Kebenaran


“Demi masa (Waktu), sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam keadaan merugi (celaka), kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih, saling menasehati dalam kebenaran, dan saling menasehati dalam kesabaran.” (QS Al ‘Ashr: 1-3)
Surah ini termasuk golongan Makkiyah yang diturunkan sesudah surah Asy-Syarh dan terdiri dari tiga ayat. Sayyid Quthb memahami aspek i’jazul Qur’an yang ketara pada surah pendek ini yang memang merupakan keistimewaan Al-Qur’an. Sebagai contoh misalnya, irama surah ini menunjukkan satu keserasian dimana pada akhir setiap ayatnya ditutup dengan huruf “ra”.

Susunan redaksinya juga indah; berawal dari yang terpendek hingga yang terpanjang. Hanya dalam tiga ayat, tergambar dengan gamblang manhaj dan rambu-rambu kehidupan manusia yang dikehendaki oleh Islam yang berlaku sepanjang zaman dan pada setiap generasi. Memang hanya ada satu manhaj dan jalan keselamatan dari kerugian seperti yang dirumuskan dalam surah ini, yaitu iman, amal shalih, saling menasehati dalam mentaati kebenaran dan saling menasehati dalam menetapi kesabaran.

Surah ini diawali dengan sumpah. Sumpah Allah dengan salah satu makhluknya yang terpenting yang menentukan kehidupan manusia, yaitu waktu, baik seluruhnya maupun sebagiannya. Dalam satu “masa” terdapat beberapa keadaan; sakit dan sehat, suka dan duka, demikian seterusnya saling berpasangan. Bahkan dalam sebuah ‘waktu’ tersimpan segala jenis peristiwa dan kejadian. Karena keagungan waktu inilah maka Allah bersumpah dengannya. Dan memang Allah berhak bersumpah dengan apapun yang dikehendakinya dari seluruh makhlukNya, sedangkan manusia hanya boleh bersumpah dengan Allah dan nama-nama atau sifatNya yang mulia.

Terdapat banyak pemahaman para ulama tentang maksud ‘Al-Ashr’ yang menjadi sumpah Allah dalam surah ini. Hasan Al-Bashri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ‘Al-Ashr’ adalah waktu petang, karena pada waktu inilah berakhirnya segala aktifitas manusia, sehingga tinggal menghitung untung dan rugi dari apa yang telah dilakukannya semenjak pagi hingga waktu petang. Dalam konteks waktu, sebagian ulama menyimpulkan bahwa biasanya Allah bersumpah dengan waktu dhuha dalam konteks keberuntungan dan dengan waktu petang dalam konteks kerugian.

Makna lain dari kata ‘Al-Ashr’ yang masyhur adalah sholat Ashar. Shalat Ashar merupakan sholat yang utama dan diperintahkan khusus oleh Allah untuk dipelihara dan dijaga melalui firmanNya: “peliharalah oleh kalian shalat-shalat kalian dan shalat wushtho, yaitu sholat Ashar”. (2: 238). Bahkan Rasulullah bersabda mengagungkan shalat yang satu ini dalam salah satu haditsnya: “Barangsiapa yang tertinggal shalat Ashar, maka ia seolah-olah kehilangan keluarga dan hartanya”. Dalam riwayat lain dinyatakan: “maka sia-sialah semua amalnya”. (Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Imam Ahmad). Disini Al-Biqa’i menemukan korelasi yang indah antara lafadz ‘insan’ yang merupakan sebaik-baik jenis makhluk Allah yang diciptakan dalam sebaik-baik kejadian (bentuk) dengan lafadz “Ashr” yang merupakan waktu pilihan, ibarat minuman jus yang dipilah dan diperas dari buah yang segar yang diistilahkan dalam bahasa Arab ‘Ashir.

Secara redaksional, bentuk nakirah (indifinitive) pada lafaz “khusr” menunjukkan besarnya kerugian yang akan diderita oleh setiap manusia dan juga untuk menghinakan manusia yang menderita kerugian tesebut, karena kerugian itu meliputi kebinasaan diri dan usianya. Atau bentuk nakirah juga menunjukkan umumnya kerugian tersebut. Seperti yang dinyatakan oleh Al-Alusi bahwa kerugian yang disebut oleh ayat bersifat umum mencakup segala jenis kerugian; duniawi maupun ukhrawi. Seperti kerugian dalam perniagaan, kerja-kerja manusia maupun pemanfaatan usia yang akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah swt. Apalagi bahwa pernyataan Allah tentang kerugian setiap manusia dalam ayat ini diperkuat dengan dua huruf ta’kid (penegasan), yaitu Inna yg berarti sesungguhnya dan La yg berarti benar-benar.

Keumuman ayat kedua dapat difahami dari lafadz ‘insan’ yang didampingi oleh alif dan lam yang menunjukkan makna yang umum. Meskipun ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ‘manusia’ pada ayat ini adalah segolongan orang kafir seperti Al-‘Ash bin Wa’il, Al-Walid bin Al-Mughirah dan Al-Aswad bin Abdul Muthalib bin Al-Asad, namun tetap umumnya lafadz lebih kuat daripada khususnya ayat yang terbatas pada mereka yang telah menerima kerugian. Sehingga siapapun tanpa terkecuali tidak akan bisa terlepas dari kerugian melainkan jika ia berpegang teguh dengan ajaran yang terkandung pada ayat terakhir surah ini, yaitu iman, amal shalih dan saling menasehati untuk menepati kebenaran serta saling menasehati dalam kesabaran.

Iman dan amal shalih yang menjadi syarat pertama keluar dari kerugian merupakan dua hal yang saling terkait, ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Artinya tidak berguna dan akan mati iman seseorang tanpa amal shalih, begitu sebaliknya sia-sialah amal shalih yang tidak berlandaskan iman. Dari iman berasal setiap cabang kebaikan dan dengannya terkait setiap buah kebaikan. Oleh karena itu, Al-Qur’an dengan tegas menghancurkan nilai seluruh amal perbuatan, selagi amal perbuatan itu tidak didasarkan pada iman yang menjadi pendorong dan penghubung dengan Sang Maha Wujud. “Dan orang-orang yg kafir, amal perbuatan mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yg datar, yg disangka air oleh orang yg dahaga, tetapi bila didatanginya air itu, dia tdk mendapatinya suatu apapun”.(AN-Nur: 39). Secara impelementatif, Iman adalah gerak dan amal, pembangunan dan pemakmuran menuju Allah. Ia bukan sesuatu yang pasif, layu dan bersembunyi di hati nurani. Juga bukan sekedar kumpulan niat yang baik yang tidak tercermin dalam bentuk perbuatan & gerak.

Ayat yang terakhir dan terpanjang dalam surah ini merupakan gambaran kepedulian seorang mukmin dengan saudaranya tentang kebaikan. Saling berpesan dalam kebenaran tentu sangat diperlukan, karena melaksanakan kebenaran itu butuh bantuan orang lain. Saling berpesan berarti mengingatkan, memberi dukungan, memotivasi dan menyadarkan. Dan seseorang tidak akan mungkin mampu melaksanakan kebenaran dan kebaikan yang sempurna secara personal, tanpa keterlibatan orang lain. Demikian juga saling berpesan dengan kesabaran sangat diperlukan karena akan bisa meningkatkan kemampuan, semangat dan perasaan kebersamaan. Apalagi dalam meyakini, menjalankan dan menyeru kebenaran tadi bisa jadi akan menghadapi hambatan, rintangan dan tantangan dalam beragam bentuknya. Dalam riwayat Al-Hakim disebutkan, “Kesabaran adalah setengah dari (realisasi) iman seseorang”. Disinilah urgensi kepedulian seorang mukmin dengan suadaranya dalam dua hal yang saling berkaitan; kebenaran dan kesabaran.

Yang menarik untuk dicermati mengenai tafsir surah ini adalah pendapat Al-Wahidi dalam kitab tafsirnya Al-Wajiz fi Tafsir Al-Kitab Al-Aziz. Beliau mengemukakan secara spesifik contoh mereka yang telah mendapat kerugian dan keberuntungan berdasarkan urutan dalam mushaf. Abu jahal merupakan representasi dari orang yang merugi. Abu Bakar merupakan sosok yang sesuai dengan implementasi iman. Umar bin Khattab mewakili orang-orang yang beramal shalih. Utsman bin Affan merupakan contoh nyata dari mereka yang saling menasehati dalam kebenaran dan Ali bin Abi Thalib identik dengan golongan yang saling menasehati dalam kesabaran. Lebih lanjut As-Syanqithi dalam tafsir ‘Adhwa’ul Bayan mengemukakan Mafhum mukhalafah dari setiap ajaran dalam surah ini; mafhum mukhalafah dari keberuntungan adalah kerugian, yaitu tdk beriman (kafir), tidak beramal atau beramal buruk, tidak berpesan dengan kebenaran atau berpesan tetapi dengan kebatilan serta tidak berpesan dengan kesabaran atau senantiasa berkeluh kesah.

Sungguh setiap kita mendambakan kesuksesan, keberuntungan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak. Tidak ada jalan dan manhaj lain melainkan mengamalkan kandungan surah ini secara totalitas seperti yang pernah dicontohkan oleh para sahabat Rasulullah saw. Disebutkan bahwa tidaklah dua orang sahabat Rasulullah bertemu, melainkan salah seorang dari keduanya akan membacakan surah ini sebelum berpisah, kemudian saling mengucapkan salam dan saling berjanji serta berkomitmen untuk tetap berpegang teguh dengan iman dan beramal shalih, saling berjanji untuk senantiasa berpesan dengan kebenaran dan dengan kesabaran dalam menjalani kehidupan mereka.



Demi Waktu

Demi waktu. Demikian Allah menegaskan pentingnya waktu. Isyarat tertulis seperti tercantum pada surah al-Ashr ini mengingatkan manusia untuk selalu menghitung dan mempertimbangkan waktu. Bahkan, setelah bersumpah demi waktu, Allah kemudian menyatakan bahwa manusia akan rugi, kecuali orang yang beriman dan beramal saleh. Lebih dari itu, surah ini juga menggarisbawahi posisi orang-orang yang senantiasa saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran. Mereka adalah orang-orang yang suka memperhatikan waktu. Tanpa membuat prioritas atas pilihan amal yang ditempuh, manusia akan merugi. Amal-amal produktif merupakan representasi kecerdasan manusia dalam memanfaatkan waktu. Setiap jengkal langkah manusia adalah wujud pemanfaatan waktu secara produktif dan bermakna. Jika tidak, kerugian yang akan melilit kehidupan manusia.

Semua manusia merugi, kecuali :
1. Orang yg ber-Iman (SQ-memiliki kecerdasan spiritual)
2. Orang yang ber-Amal Soleh (PQ-kecerdasan fisikal)
3.Saling Menasehati tentang Kebenaran (IQ-kecerdasan Intelektual)
4. Saling Menasehati tentang Kesabaran (EQ-kecerdasan Emosional)

>>> 1 dan 4 adalah memaksimalkan fungsi Otak Kanan, sedangkan 2 dan 3 memaksimalkan fungsi Otak Kiri. 4 (empat) Syarat Manusia beruntung/berhasil ada dalam ayat itu !.

1 adalah punya Kesalehan Individual, sedangkan 2 s/d 4 adalah punya Kesalehan Sosial. Artinya ?, orang yang Sukses/Beruntung adalah mereka yang mendedikasikan 75% hidupnya untuk kemaslahatan Ummat, hanya 25 % untuk dirinya !

.“Khairunnas anfa’uhum linnas”-sebaik-baik kalian adalah yang paling banyak manfaatnya buat orang lain (Hadits Rasulullah SAW)

—Afalaa Ta’qiluun, Afalaa Tatafakkarun-apakah kamu tidak berfikir ?, apakah kamu tak gunakan akalmu?. Fabiayyiaa La Irobbikumaa Tukaddziban

-Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yg kamu dustakan ?…..
Apa lagi yang kamu mau bantah ?,
Kebenaran Ayat-Ayat Allah sudah terang-benderang, So, be a good moslem and die as syuhada !…

Mutiara Hadits

“Tidaklah bergeser telapak kaki bani Adam pada hari kiamat dari sisi Rabb-nya hingga ditanya tentang lima perkara; umurnya untuk apa ia gunakan, masa mudanya untuk apa ia habiskan, hartanya dari mana ia dapatkan dan untuk apa ia belanjakan, dan apa yang ia perbuat dengan ilmu-ilmu yang telah ia ketahui. (HR. At Tirmidzi no. 2416 dan dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani di dalam Ash Shahihah no. 947)

“Dua kenikmatan yang kebanyakan orang lalai di dalamnya; kesehatan, dan waktu senggang” (HR. At Tirmidzi no. 2304, dari shahabat Abdullah bin Abbas )



Budayakan Saling Menasehati

Sendi stabilitas dunia ada empat: Keberdayaan ulama (dengan ilmunya), keadilan para penguasa, kedermawanan orang-orang kaya dan doa para fuqara. Bila salah satu sendi tak berfungsi sebagaimana mestinya, maka akan terjadi instabilitas dalam berbagai aspek kehidupan manusia.

Ulama secara etimologis adalah jama’ dari kata ‘alim’ yang artinya orang yang memiliki ilmu, yang membawanya takut hanya kepada Allah :

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” Al Fathir: 28

Dari sini berarti pengertian ulama tidak hanya terbatas pada orang-orang yang memiliki kafa’ah syar’ iyah -latarbelakang bidang agama- saja, tapi juga mencakup semua ahli dalam bidang keilmuan apapun yang bermanfaat, dengan syarat ilmu yang dikuasainya membawa dirinya menjadi orang yang memiliki rasa khasyyah (rasa takut) kepada Allah swt. Rasa khasyyah inilah yang mendorong para ulama untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar. Karenanya dalam pengertian ini para kader dakwah adalah para ulama yang berperan sebagai ‘waratsatul anbiya’ (pewaris para nabi) yang selalu melakukan tawashau bil haqqi dan tawashau bis shabri (saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran).

Ada beberapa hal yang menuntut para kader dakwah untuk melakukan tawashau bil haqqi dan tawashau bis shabri:

Khairiyyatul haadzihil ummah (kebaikan umat ini) terletak pada konsistensi pelaksanaan amar ma’ruf dan nahi munkar. Bila amar-ma’ruf dan nahi munkar tidak dilaksanakan maka akan hilanglah salah satu ciri kebaikan umat Islam ini.

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آَمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُون

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” Ali Imran: 110

Kader dakwah adalah stabilisator umat yang menjadi tumpuan utama masyarakat. Ciri utama kader dakwah yang menjadi stabilisator umat adalah senantiasa melakukan ‘ishlah’ (perbaikan). Seorang kader dakwah tidak cukup hanya menjadi seorang yang shalih saja tapi harus menjadi seorang ‘mushlih’ (men’shalih’kan orang lain). Orang-orang yang shalih saja tidak cukup untuk menjadi penyelamat umat dari kehancuran.

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah ditanya: “Apakah kita akan dihancurkan walaupun di antara kita terdapat orang-orang sholihin.”? Rasulullah saw. menjawab, “Ya”, bila terdapat banyak kebobrokan atau keburukan. Allah swt. menegaskan dalam surat Huud ayat 117 yang artinya: Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zhalim sedang penduduknya orang-orang yang melakukan ishlah (perbaikan).

Di antara ciri manusia yang tidak akan merugi adalah sebagaimana yang diungkap dalam surat Al-Ashr, yaitu senantiasa saling menasihati dengan kebenaran (saling menasihati untuk melakukan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah) dan saling menasihati dengan kesabaran (maksudnya saling menasihati untuk bersabar menanggung musibah atau ujian). Surat ini amat penting sehingga ada riwayat dari Imam At-Thabrani dari Ubaidillah bin Hafsh yang menyatakan bahwa dua orang sahabat nabi bila bertemu, maka tidak berpisah kecuali membaca surat Al-Ashr, kemudian mengucapkan salam untuk perpisahan.

Imam As-Syafi’i pernah mengatakan: “Seandainya manusia mau merenungi kandungan surat Al-Ashr, pasti cukuplah itu bagi kehidupan mereka.” (lihat Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir, Juz III hal 674)

Di antara hak seorang muslim dengan muslim lainnya adalah bila dimintai nasihat oleh saudaranya tentang sesuatu maka ia harus memberinya, dalam artian ia harus menjelaskan kepada saudaranya itu apa yang baik dan benar. Dalam sebuah hadits disebutkan:

إِذَا اسْتَنْصَحَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيَنْصَحْ لَه

“Bila salah seorang dari kamu meminta nasihat kepada saudaranya maka hendaknya (yang diminta) memberi nasihat.” (HR Bukhari)

Dalam hadits lain disebutkan:

الدِّينُ النَّصِيحَةُ لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ

“Agama adalah nasihat bagi Allah, bagi Rasul-Nya, untuk para pemimpin umat Islam dan untuk para orang awamnya.” ( H.R Bukhari)

Maksud hadits di atas adalah:

Agama adalah nasihat, maksudnya bahwa sendi dan tiang tegaknya agama adalah nasihat. Tanpa saling menasihati antara umat Islam maka agama tidak akan tegak.

Agama adalah nasihat bagi Allah swt. artinya: Sendi agama adalah beriman kepada-Nya, tunduk dan berserah diri kepada-Nya lahir dan batin, mencintai-Nya dengan beramal shalih dan mentaati-Nya, menjauhi semua larangan-Nya serta berusaha untuk mengembalikan orang-orang yang durhaka agar bertaubat dan kembali kepada-Nya.

Agama adalah nasihat bagi Rasulullah saw. maksudnya: sendi tegaknya agama adalah dengan meyakini kebenaran risalahnya, mengimani semua ajarannya, mengagungkannya, mendukung agamanya menghidupkan sunnah-sunnahnya dengan mempelajarinya dan mengajarkannya, berakhlaq dengan akhlaqnya, mencintai keluarganya, sahabatnya dan para pengikutnya.

Agama adalah nasihat bagi para pemimpin umat Islam, maksudnya adalah bahwa tegaknya agama dengan mendukung dan mentaati mereka dalam kebenaran, mengingatkan mereka dengan kelembutan bila lalai atau lengah, meluruskan mereka bila salah.

Agama adalah nasihat bagi orang awam dari umat Islam (rakyat biasa bukan pemimpin), maksudnya bahwa tegaknya agama hanyalah dengan memberikan kasih sayang kepada orang-orang kecil, memperhatikan kepentingan mereka, mengajari apa-apa yang bermanfaat bagi mereka dan menjauhkan semua hal yang membahayakan mereka dsb.

Saling menasihati di antara kader dakwah adalah kewajiban. Karena di satu sisi bangkit dengan kebenaran adalah sangat sulit sementara di sisi lain hambatan-hambatan untuk menegakkannya sangat banyak, misalnya: hawa nafsu, logika kepentingan, tirani thaghut, dan tekanan kezhaliman.

Pemberian nasihat merupakan pengingatan, dorongan dan pemberitahuan bahwa kita satu sasaran dan satu tujuan akhir. Semua kader senantiasa bersama-sama dalam menanggung beban dan mengusung amanat. Bila saling menasihati ini kita lakukan bersama-sama, di mana berbagai kecenderungan individu bertemu dan saling berinteraksi, maka akan menjadi berlipat gandalah kekuatan kita untuk menegakkan kebenaran. Masyarakat Islam tidak akan tegak kecuali dijaga oleh sekelompok kader yang saling tolong menolong, saling menasihati dan memiliki solidaritas yang tinggi.

Para salafus shalih telah memberikan contoh luar biasa dalam hal saling menasihati. Sebagai contoh adalah Umar bin Al Khatab ra, pada suatu kesempatan ketika banyak pembesar sahabat yang mengelilinginya tiba-tiba salah seorang sahabat berkata: “Ittaqillaha ya Umar.” (Bertaqwalah kepada Allah wahai Umar!) Para sahabat yang mengetahui kedudukan keislaman Umar marah kepadanya, namun Umar r.a mencegah kemarahan sahabat-sahabatnya seraya berkata: Biarkanlah dia berkata demikian, sesungguhnya tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak mau mengatakannya, dan tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak mau mendengarnya.”

Itulah Umar yang termasuk dalam golongan sepuluh orang yang mendapat kabar gembira dijamin masuk surga, beliau sangat perhatian terhadap setiap nasihat yang benar yang ditujukan kepadanya.

Kita sebagai kader dakwah yang menjadi stabilisator umat, harus saling menasihati dan saling menerima berbagai nasihat yang baik dengan lapang dada, bahkan harus berterima kasih kepada yang mau memberi nasihat.

Terutama dalam kaitannya dengan aktivitas dakwah yang menginginkan kebaikan dalam segala kehidupan umat, berbangsa dan bernegara, kehidupan individu, social dan politik, sehingga adanya saling nasihat menasihati, dan menerima nasihat antar sesama kader dakwah, antara kader dakwah dan pemimpinnya, sebaliknya, yang pada akhirnya dapat saling memberikan ishlah -perdamaian-, tawaddud -cinta-, tarahum -kasih-sayang- antar sesama.

Ya Allah baguskan agamaku karena ia menjadi peganganku. Baguskan duniaku karena disitulah kehidupanku, & baguskan akhiratku karena ia itu tempat aku kembali. Jadikan kehidupanku ini sebagai kesempatan untuk memperbanyak amal soleh dan jadikanlah kematianku sebagai tempat istirahat dari semua keburukan. (HR. Muslim) Ya Allah, aku mengharap rahmatMu, maka janganlah kau palingkan aku sekejap mata, dan baguskan keadaanku. Tidak ada Tuhan selain Engkau.(HR. Abu Daud)



Sumber :
http://filsafat.kompasiana.com/2012/04/28/ketika-allah-bersumpah-demi-waktu-458226.html
http://www.dakwatuna.com/2009/05/14/2551/budayakan-saling-menasehati/
http://www.dakwatuna.com/2010/02/10/5548/agar-kita-tidak-merugi-tadabbur-surat-al-ashr/






Tidak ada komentar:

Posting Komentar