Islam adalah agama yang indah dan paripurna yang mengajarkan seluruh aspek kehidupan manusia. Islam mengajarkan adab dan akhlak yang tinggi, menghormati yang tua dan menyayangi yang muda, menjaga keharmonisan hubungan keluarga dan menghilangkan hal-hal yang dapat merusak hubungan persaudaraan.
Islam sangat menganjurkan silaturahmi. Bahkan, silaturahmi merupakan inti dari ajaran Islam, sebagaimana diriwayatkan dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Amr bin ‘Abasah as-Sulami berkata,“Aku berkata,“Dengan apa Allah mengutusmu? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah mengutusku dengan silaturrahim, menghancurkan berhala dan agar Allah ditauhidkan, Dia tidak disekutukan dengan sesuatupun.” (HR. Muslim no. 1927)
Oleh karena itu, pada edisi kali ini Penulis akan sedikit membahas tentang silaturahmi, agar dapat menumbuhkan rasa semangat untuk bersilaturahmi dan agar silaturahmi yang kita lakukan sesuai dengan ajaran Islam.
MAKNA SILATURAHMI
Silaturahim berasal dari Bahasa Arab, yaitu dari kata shilah dan ar-rahim. Kata shilah adalah bentuk mashdar dari kata washola-yashilu yang berarti ‘sampai, menyambung’. ar-Raghib al-Asfahani berkata, “yaitu menyatunya beberapa hal, sebagian dengan yang lain.” (al-Mufradat fi Gharibil Qur-an, hal. 525)
Adapun kata ar-rahim, Ibnu Manzhur rahimahullah berkata, “adalah hubungan kekerabatan, yang asalnya adalah tempat tumbuhnya janin di dalam perut.” (Lisanul ‘Arab)
Jadi, silaturrahim artinya adalah ‘menyambung tali persaudaraan kepada kerabat yang memiliki hubungan nasab’.
Pengertian Syar‘i
Banyak nash syariat yang memuat kata atau yang berkaitan dengan shilah ar-rahim. Maknanya bersesuaian dengan makna bahasanya, yaitu hubungan kekerabatan. Syariat memerintahkan agar kita senantiasa menyambung dan menjaga hubungan kerabat (shilah ar-rahim). Sebaliknya, syariat melarang untuk memutuskan silaturahim. Abu Ayub al-Anshari menuturkan, “Pernah ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi saw., “Ya Rasulullah, beritahukan kepadaku perbuatan yang akan memasukkan aku ke dalam surga.” Lalu Rasulullah saw. menjawab:
«تَعْبُدُ اللهَ لاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ وَتُؤَتِيْ الزَّكَاةَ وَتَصِلُ الرَّحِمَ»
Engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu pun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menyambung silaturahmi. (HR al-Bukhari).
Hadist ini, meskipun menggunakan redaksi berita, maknanya adalah perintah. Pemberitahuan bahwa perbuatan itu akan mengantarkan pelakunya masuk surga, merupakanqarînah jâzim (indikasi yang tegas). Oleh karena itu, menyambung dan menjaga shilaturahmi hukumnya wajib, dan memutuskannya adalah haram. Rasul saw. pernah bersabda:
«لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ»
Tidak akan masuk surga orang yang memutus hubungan kekerabatan (ar-rahim). (HR al-Bukhari dan Muslim).
Sekalipun menggunakan redaksi berita, maknanya adalah larangan; ungkapan 'tidak masuk surga' juga merupakan qarînah jâzim, yang menunjukkan bahwa memutus hubungan kekerabatan (shilah ar-rahim) hukumnya haram.
Oleh karena itu, Qadhi Iyadh menyimpulkan, "Tidak ada perbedaan pendapat bahwashilah ar-rahim dalam keseluruhannya adalah wajib dan memutuskannya merupakan kemaksiatan yang besar.
Untuk memenuhi ketentuan hukum tersebut, kita harus mengetahui batasan mengenai siapa saja kerabat yang hubungan dengannya wajib dijalin, dan aktivitas apa yang harus dilakukan untuk menjalin silaturahmi itu?
Dengan menganalisis makna ar-rahim atau al-arham yang terdapat dalam nash, dan pendapat para ulama tentangnya, bisa ditentukan batasan kerabat tersebut. Kata ar-rahim danal-arhâm yang terdapat di dalam nash-nash yang ada bersifat umum, mencakup setiap orang yang termasuk arhâm (kerabat).
Ketika menjelaskan makna al-arhâm pada ayat pertama surat an-Nisa’, Imam al-Qurthubi berkata, "Ar-rahim adalah isim (sebutan) untuk seluruh kerabat dan tidak ada perbedaan antara mahram dan selain mahram."
Ibn Hajar al-‘Ashqalani dan al-Mubarakfuri mengatakan, "Ar-Rahim mencakup setiap kerabat. Mereka adalah orang yang antara dia dan yang lain memiliki keterkaitan nasab, baik mewarisi ataupun tidak, baik mahram ataupun selain mahram."
Asy-Syaukani mengatakan, "Shilah ar-rahim itu mencakup semua kerabat yang memiliki hubungan kekerabatan yang memenuhi makna ar-rahim (kerabat)."
Allah Swt. memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada kerabat (QS an-Nisa’4: 36); memberi kepada kerabat (QS an-Nahl 16: 90); memberikan hak kepada kerabat (QS ar-Rum 30: 38); meski dalam hal itu sebagian mereka lebih diutamakan dari sebagian yang lain (QS al-Anfal 8: 75 dan al-Ahzab 33: 6).
Rasul saw. pernah bersabda:
«يَدُ الْمُعْطِيْ الْعُلْيَا وَاِبْدَأْ بِمَنْ تَعُوْلُ اُمَّكَ وَأَبَاكَ وَاُخْتَكَ وَاَخَاكَ ثُمَّ اَدْنَاكَ اَدْنَاكَ»
Tangan yang memberi itu di atas (lebih utama) dan mulailah dari orang yang menjadi tanggungan (keluarga)-mu, ibumu, bapakmu, saudara perempuanmu, saudara laki-lakimu, orang yang lebih dekat denganmu, orang yang lebih dekat denganmu (HR al-Hakim, al-Baihaqi, dan Ibn Hibban).
Semua itu adalah bagian dari aktivitas silaturahmi. Dari gambaran seperti itu, para ulama manarik pengertian silaturahmi. Menurut Al-Manawi, silaturahmi adalah menyertakan kerabat dalam kebaikan. Imam an-Nawawi mengartikan silaturahmi sebagai berbuat baik kepada kerabat sesuai dengan kondisi orang yang menyambung dan yang disambung; bisa dengan harta, kadang dengan bantuan, kadang dengan berkunjung, mengucap salam, dan sebagainya.
Abu Thayyib mengartikan silaturahmi sebagai ungkapan tentang berbuat baik kepada kerabat, orang yang memiliki hubungan nasab dan perkawinan; saling berbelas kasihan dan bersikap lembut kepada mereka, mengatur dan memelihara kondisi mereka, meski mereka jauh atau berbuat buruk. Memutus silaturahmi berlawanan dengan semua itu.
Ibn Abi Hamzah berkata, "Silaturahmi bisa dilakukan dengan harta, menolong untuk memenuhi keperluan, menghilangkan kemadaratan, muka berseri-seri, dan doa."
Pengertian yang bersifat menyeluruh adalah menyampaikan kebaikan yang mungkin disampaikan dan menghilangkan keburukan yang mungkin dihilangkan, sesuai dengan kesanggupan.”Tentang siapa yang termasuk orang yang menyambung silaturahmi, Rasul saw. pernah bersabda:
«لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِىءِ وَلَكِنَّ الْوَاصِلَ الَّذِيْ إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا»
“Orang yang menghubungkan silaturahmi bukanlah orang yang membalas hubungan baik. Akan tetapi, orang yang menghubungkan silaturahmi adalah orang yang ketika kekerabatannya diputus, ia menghubungkannya. (HR al-Bukhari).
Menyambung silaturahmi adalah jika hubungan kerabat (shilah ar-rahim) diputus, lalu dihubungkan kembali. Orang yang melakukannya berarti telah menghubungkan silaturahmi. Adapun jika kerabat seseorang menghubunginya, lalu ia menghubungi mereka, hal itu adalah balas membalas; termasuk aktivitas saling menjaga silaturahmi, bukan menyambung silaturahmi
HUKUM DAN TINGKATAN SILATURAHMI
Al-Qadhi ‘Iyad rahimahullah berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat, bahwasanya hukum silaturahmi adalah wajib (secara umum) dan memutus silaturahmi adalah dosa besar. Namun, menyambung silaturahmi mempunyai beberapa tingkatan dan yang paling rendah adalah menyambung kembali hubungan yang telah putus dengan berbicara atau hanya sekedar mengucapkan salam, supaya tidak masuk ke dalam pemutusan hubungan kerabat. Dan itu berbeda-beda sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan, ada yang wajib dan ada yang sunnah. Jika seseorang menyambung sebagian hubungan kerabat tapi tidak sampai seluruhnya, maka dia tidak bisa dikatakan memutus hubungan kerabat. Tetapi, jika kurang dari kewajaran yang semestinya dari silaturahmi, maka belum bisa seseorang disebut menyambung.”
SILATURAHMI DALAM AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH
Allah ta’ala menganjurkan hamba-Nya untuk saling menyambung silaturahmi dalam kitab-Nya, begitu juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak hadits, diantaranya ialah firman Allah, “Dan bertakwalah kepada Allah, yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan peliharalah hubungan silaturrahim” (QS. an-Nisa': 1)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai manusia! Ucapkanlah salam, sambunglah silaturrahim, berikanlah makan dan shalatlah di malam hari tatkala manusia sedang tidur, maka kalian akan masuk Surga dengan selamat.” (HR. at-Tirmidzi No. 2485 dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah III/155)
KEUTAMAAN SILATURAHMI
Islam adalah agama yang indah nan sempurna. Tidaklah Islam memerintahkan sesuatu, kecuali pasti ada kebaikan dan keutamaan yang akan didapatkan pelakunya, sebagaimana silaturahmi ini. Diantara keutamaan silaturahmi ialah:
(1). Merupakan Sebagian dari Konsekuensi Iman dan Tanda-tandanya.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia menyambung hubungan silaturahmi.” (HR. Al-Bukhari no. 5787)
(2). Mendapatkan Keberkahan Umur dan Rizki
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa yang senang diluaskan rizqinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung hubungan silaturahim.” (HR. al-Bukhari no. 5986 dan Muslim no. 2557)
(3). Salah Satu Penyebab Utama Masuk Surga dan Jauh dari Neraka
Dari Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya seorang laki-laki berkata, “Ya Rasulullah, ceritakanlah kepadaku amalan yang memasukkan aku ke dalam Surga dan menjauhkan aku dari Neraka.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
”Engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan menyambung tali silaturahmi.” (HR. al-Bukhari no. 1396 dan Muslim no. 13)
(4). Merupakan Amalan yang Paling Dicintai Allah dan Paling Utama
Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, “Ya Rasulullah, amalan apa yang paling dicintai Allah?” Beliau menjawab, “Beriman kepada Allah.” Dia bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab, “Kemudian menyambung silaturahmi.” (Shahih at-Targib wa at-Tarhib no. 2522)
BENTUK-BENTUK BERSILATURAHMI
Silaturahmi merupakan ibadah yang agung, mudah dan membawa berkah. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mewujudkan silaturahmi, diantaranya dengan berziarah, memberi hadiah, memberi nafkah, berlaku lemah-lembut, bermuka manis (senyum), memuliakannya dan semua yang manusia itu menganggapnya silaturahmi.
SILATURRAHIM BUKAN HANYA DENGAN MEMBALAS BUDI
Banyak orang yang mengakrabi saudaranya setelah saudaranya mengakrabinya, mengunjungi saudaranya setelah saudaranya mengunjunginya, memberikan hadiah setelah ia diberi hadiah dan seterusnya. Dia hanya membalas kebaikan saudaranya. Sedangkan kepada saudara yang tidak mengunjunginya -misalnya-, dia tidak mau berkunjung. Ini belum dikatakan menyambung tali silaturrahim yang sebenarnya. Yang disebut menyambung tali silaturrahim sebenarnya adalah orang yang menyambung kembali terhadap orang yang telah memutuskan hubungan kekerabatannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, “Bukanlah penyambung orang yang hanya membalas. Tetapi penyambung adalah orang yang apabila diputuskan hubungan, dia menyambungnya.” (HR. al-Bukhari no. 5991)
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Peniadaan sambungan tidak pasti menunjukkan adanya pemutusan. Karena, mereka ada tiga tingkatan: Orang yang menyambung, Orang yang membalas, dan Orang yang memutuskan. Orang yang menyambung adalah orang yang melakukan hal yang lebih dan tidak diungguli oleh orang lain. Orang yang membalas adalah orang yang tidak menambahi pemberian lebih dari apa yang dia dapatkan. Sedangkan orang yang memutuskan adalah orang yang diberi dan tidak memberi. Sebagaimana terjadi pembalasan dari kedua pihak, maka siapa yang mengawali berarti dialah yang menyambung. Jikalau ia dibalas, maka orang yang membalas dinamakan mukafi` (pembalas).” (Fathul Bari 10/427)
JIKA KERABAT NON MUSLIM
Allah ta’ala berfirman:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. al-Mumtahanah: 8)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Artinya, Allah tidak melarang kalian dari kebaikan, silaturahmi dan membalas kebaikan, serta berlaku adil terhadap kerabat kalian dari kalangan kaum musyrikin atau yang lain. Hal ini bila mereka tidak mengobarkan peperangan dalam agama terhadap kalian, tidak mengusir kalian dari rumah-rumah kalian.
Maka, tidak mengapa kalian berhubungan baik dengan mereka dalam keadaan seperti ini, tidak ada kekhawatiran dan kerusakan padanya.”
Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat ini dengan membawakan hadits dari Asma` bintu Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhuma, dia mengatakan, “Ibuku datang dalam keadaan masih musyrik, di waktu perjanjian damai yang disepakati orang Quraisy. Maka, aku datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah, ibuku datang dan ia ingin berbuat baik. Bolehkah aku berbuat baik kepadanya?’ Rasulullah berkata, ‘Ya, berbuat baiklah kepada ibumu’.” (HR. Al-Bukhari no. 5978 & Muslim no. 2322)
SILATURAHMI TATKALA HARI RAYA
Silaturahmi adalah ibadah yang tidak ada kaitannya dengan waktu (Ramadhan, Hari Raya, atau yang lainnya), tidak ada dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang menjelaskan tentang anjuran untuk ber-silaturahmi khusus pada Hari Raya. Akan tetapi, perintah untuk bersilaturahmi bersifat umum, yang bisa dilakukan kapan saja sesuai dengan kondisi dan kebutuhan.
Berbeda halnya, jika silaturahmi itu dilakukan pada saat Hari Raya, misalnya, karena memang tidak ada lagi kesempatan lain untuk bisa bertemu, kecuali pada saat Hari Raya, maka yang demikian ini tidak mengapa. Namun, jika hal ini dianggap suatu kemestian dan diyakini sebagai adat-istiadat yang berkaitan dengan ajaran islam, atau merupakan rangkaian ibadah yang harus dilakukan pada Hari Raya, atau menyakini, bahwa hal tersebut lebih utama apabila dilakukan pada Hari Raya, maka ini tidak benar, karena Islam tidak mensyariatkan hal tersebut.
ANCAMAN BAGI PEMUTUS SILATURAHMI
[1]. Tidak Akan Masuk Surga
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah masuk surga orang yang memutus tali silaturrahim.” (HR. al-Bukhari no. 5984)
[2]. Mendapat Siksaan di Dunia dan di Akhirat
Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak ada dosa yang lebih cepat siksaannya di dunia bagi pelakunya, serta diperlambat siksaannya di akhirat kelak dari pada orang yang zhalim dan memutus hubungan silaturahmi.” (ash-Shahihah no. 917)
FAKTOR PENYEBAB PUTUSNYA SILATURAHMI
Di antara penyebabnya adalah: Kebodohan, Minimnya agama, Cinta dunia dan menyibukkan diri dengannya, Zhalim dan jahat terhadap kerabat, dan Adanya problematika rumah tangga. (Dinukil dari kitab Tabshiratul Anam bil huquqi fil Islam hal. 131-132)
Wasiat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam Kepada Abu Dzar Al-Ghifari beda silaturahim dan silaturahmi
عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ قَالَ: أَوْصَانِيْ خَلِيْلِي بِسَبْعٍ : بِحُبِّ الْمَسَاكِيْنِ وَأَنْ أَدْنُوَ مِنْهُمْ، وَأَنْ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلُ مِنِّي وَلاَ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ فَوقِيْ، وَأَنْ أَصِلَ رَحِمِيْ وَإِنْ جَفَانِيْ، وَأَنْ أُكْثِرَ مِنْ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ، وَأَنْ أَتَكَلَّمَ بِمُرِّ الْحَقِّ، وَلاَ تَأْخُذْنِيْ فِي اللهِ لَوْمَةُ لاَئِمٍ، وَأَنْ لاَ أَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًا.
Dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu , ia berkata: “Kekasihku (Rasulullah) Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepadaku dengan tujuh hal:
(1) supaya aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka,
(2) beliau memerintahkan aku agar aku melihat kepada orang yang berada di bawahku dan tidak melihat kepada orang yang berada di atasku,
(3) beliau memerintahkan agar aku menyambung silaturahmiku meskipun mereka berlaku kasar kepadaku,
(4) aku dianjurkan agar memperbanyak ucapan lâ haulâ walâ quwwata illâ billâh (tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah), (5) aku diperintah untuk mengatakan kebenaran meskipun pahit,
(6) beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan orang yang mencela dalam berdakwah kepada Allah, dan
(7) beliau melarang aku agar tidak meminta-minta sesuatu pun kepada manusia”.
FIQIH HADITS (3) : MENYAMBUNG SILATURAHMI MESKIPUN KARIB KERABAT BERLAKU KASAR
Imam Ibnu Manzhur rahimahullah berkata tentang silaturahmi: “Al-Imam Ibnul-Atsir rahimahullaht berkata, ‘Silaturahmi adalah ungkapan mengenai perbuatan baik kepada karib kerabat karena hubungan senasab atau karena perkawinan, berlemah lembut kepada mereka, menyayangi mereka, memperhatikan keadaan mereka, meskipun mereka jauh dan berbuat jahat. Sedangkan memutus silaturahmi, adalah lawan dari hal itu semua’.”
Dari pengertian di atas, maka silaturahmi hanya ditujukan pada orang-orang yang memiliki hubungan kerabat dengan kita, seperti kedua orang tua, kakak, adik, paman, bibi, keponakan, sepupu, dan lainnya yang memiliki hubungan kerabat dengan kita.
Sebagian besar kaum Muslimin salah dalam menggunakan kata silaturahmi. Mereka menggunakannya untuk hubungan mereka dengan rekan-rekan dan kawan-kawan mereka. Padahal silaturahmi hanyalah terbatas pada orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan kita. Adapun kepada orang yang bukan kerabat, maka yang ada hanyalah ukhuwwah Islamiyyah (persaudaraan Islam).
Silaturahmi yang hakiki bukanlah menyambung hubungan baik dengan orang yang telah berbuat baik kepada kita, namun silaturahmi yang hakiki adalah menyambung hubungan kekerabatan yang telah retak dan putus, dan berbuat baik kepada kerabat yang berbuat jahat kepada kita. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنِ الْوَاصِلُ الَّذِيْ إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا.
“Orang yang menyambung kekerabatan bukanlah orang yang membalas kebaikan, tetapi orang yang menyambungnya adalah orang yang menyambung kekerabatannya apabila diputus”.
Imam al-‘Allamah ar-Raghib al-Asfahani rahimahullah menyatakan bahwa rahim berasal dari kata rahmah yang berarti lembut, yang memberi konsekuensi berbuat baik kepada orang yang disayangi.
Ar-Rahim, adalah salah satu nama Allah. Rahim (kekerabatan), Allah letakkan di ‘Arsy. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الرَّحِمُ مَعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ، تَقُوْلُ: مَنْ وَصَلَنِيْ وَصَلَهُ اللهُ، وَمَنْ قَطَعَنِيْ قَطَعَهُ اللهُ.
“Rahim (kekerabatan) itu tergantung di ‘Arsy. Dia berkata,”Siapa yang menyambungku, Allah akan menyambungnya. Dan siapa yang memutuskanku, Allah akan memutuskannya”.
Menyambung silaturahmi dan berbuat baik kepada orang tua adalah wajib berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur`ân dan as-Sunnah. Sebaliknya, memutus silaturahmi dan durhaka kepada orang tua adalah haram dan termasuk dosa besar.
Allah Ta’ala berfirman:
” …Dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk disambungkan…” [al-Baqarah/2:27]
Dalam menafsirkan ayat di atas, al-Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah berkata: “Pada ayat di atas, Allah menganjurkan hamba-Nya agar menyambung hubungan kerabat dan orang yang memiliki hubungan rahim, serta tidak memutuskannya”.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan antara menyambung silaturahmi dengan keimanan terhadap Allah dan hari Akhir. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ.
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia menyambung silaturahmi” .
Dengan bersilaturahmi, Allah akan melapangkan rezeki dan memanjangkan umur kita. Sebaliknya, orang yang memutuskan silaturahmi, Allah akan sempitkan rezekinya atau tidak diberikan keberkahan pada hartanya.
Adapun haramnya memutuskan silaturahmi telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ.
“Tidak masuk surga orang yang memutuskan silaturahmi”.
Hikmah Silaturahim
Salah satu kebaikan yang dapat mempererat tali persudaraan dalam Islam, dan membuka pintu kebaikan pada orang lain adalah silaturahim. Allah SWT berfirman:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain , dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa’: 1)
Memelihara hubungan silaturahim merupakan perintah Allah dan Rasul-Nya, serta wajib bagi kita untuk menjaganya dengan sebaik-baiknya.
Di antara hikmah dari memelihara hubungan silaturahim itu secara garis besar ada 2 (dua) hal penting. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Rasulullah saw yang bersumber dari Abu Hurairah radhiallahu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain , dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa’: 1)
Memelihara hubungan silaturahim merupakan perintah Allah dan Rasul-Nya, serta wajib bagi kita untuk menjaganya dengan sebaik-baiknya.
Di antara hikmah dari memelihara hubungan silaturahim itu secara garis besar ada 2 (dua) hal penting. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Rasulullah saw yang bersumber dari Abu Hurairah radhiallahu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezkinya, dan ingin dipanjangkan usianya, maka hendaklah dia menyambung silaturrahmi.” (HR. Bukhari)
Dalam hadits tersebut di atas dijelaskan tentang hikmah silaturahim, bahwa orang yang menyambung hubungan silaturahim maka Allah SWT akan memberikan kepadanya pahala kebaikan di dunia ini (selain pahala di akhirat), berupa keluasan rezki dan umur yang panjang.
Semoga Allah SWT menjadikan kita umat yang selalu menjaga hubungan tali silaturahim dengan sebaik-baiknya.
Silaturahim Bukan Silaturahmi
Silaturahim bukan silaturahmi sebagaimana disebutkan didalam nash-nash hadits tentangnya, diantaranya :
عَنْ أَبِى أَيُّوبَ الأَنْصَارِىِّ – رضى الله عنه أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَخْبِرْنِى بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِى الْجَنَّةَ . فَقَالَ الْقَوْمُ مَالَهُ مَالَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « أَرَبٌ مَالَهُ » . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « تَعْبُدُ اللَّهَ لاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا ، وَتُقِيمُ الصَّلاَةَ ، وَتُؤْتِى الزَّكَاةَ ، وَتَصِلُ الرَّحِمَ ، ذَرْهَا » . قَالَ كَأَنَّهُ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ .
Dari Abu Ayyub Al Anshari radliallahu ‘anhu bahwa seorang laki-laki berkata; “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkanku ke surga.”
Orang-orang pun berkata; “Ada apa dengan orang ini, ada apa dengan orang ini.”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Biarkanlah urusan orang ini.”
Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melanjutkan sabdanya: “Kamu beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya, menegakkan shalat, dan membayar zakat serta menjalin tali silaturrahim.” Abu Ayyub berkata; “Ketika itu beliau berada di atas kendaraannya.” (HR. Bukhari)
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « تَعَلَّمُوا مِنْ أَنْسَابِكُمْ مَا تَصِلُونَ بِهِ أَرْحَامَكُمْ فَإِنَّ صِلَةَ الرَّحِمِ مَحَبَّةٌ فِى الأَهْلِ مَثْرَاةٌ فِى الْمَالِ مَنْسَأَةٌ فِى الأَثَرِ ». قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ. وَمَعْنَى قَوْلِهِ « مَنْسَأَةٌ فِى الأَثَرِ ». يَعْنِى زِيَادَةً فِى الْعُمُرِ.
Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Belajarlah dari nasab kalian yang dapat membantu untuk silaturrahim karena silaturrahim itu dapat membawa kecintaan dalam keluarga dan memperbanyak harta, serta dapat memperpanjang umur.” Abu Isa berkata: Ini merupakan hadits gharib melalui jalur ini
Berkaitan dengan hal ini, para ulama hadits memberikan judul pada salah satu babnya didalam kitab-kitab haditsnya dengan silaturahim, seperti : Imam Bukhori didalam Shahihnya memberikan judul “Bab Silaturahim”, Muslim didalam Shahihnya dengan judul “Bab Silaturhim wa Tahrimi Qothiatiha”, Abu Daud didalam Sunannya dengan “Bab Silaturahim” dan Tirmidzi didalam Sunannya dengan “Bab Maa Ja’a Fii Silaturahim”
Sedangkan makna Rahim dengan memfathahkan huruf Ro dan mengkasrahkan Ha, sebagaimana dikatakan al Hafizh Ibnu Hajar didalam kitabnya “Fathul Bari” digunakan untuk kaum kerabat dan mereka adalah orang-orang yang diantara sesama mereka memiliki hubungan nasab, baik mewariskannya atau tidak, baik memiliki hubungan mahram atau tidak. Namun ada juga yang mengatakan : mereka adalah para mahram saja. Namun pendapat pertama lah yang tepat karena pendapat kedua mengharuskan dikeluarkannya (tidak termasuk didalamnya) anak-anak lelaki dari paman baik dari jalur bapak atau ibu dari kalangan dzawil arham, padahal bukanlah demikian. (Fathul Bari juz XVII hal 107)
Makna Izzah
Izzah mengandung makna kekuatan, kemenangan, kebanggaan dan harga diri, sebagaimana disebutkan didalam kitab “al Mu’jam al Wasith”.
Orang-orang munafik mengira bahwa pemilik makna itu semua adalah mereka akan tetapi hal demikian dibantah didalam firman-Nya bahwa pemilik makna itu semua adalah Allah, Rasul-Nya serta orang-orang beriman.
وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya : “Padahal izzah itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (QS. Al Munafiqun : 8)
Sementara apa yang kita saksikan hari ini, tampak izzah dengan makna kekuatan, kemenangan, kebanggaan dan harga diri tidaklah tampak didalam tubuh umat ini.
Berbagai kemunduran yang terjadi didalam tubuh umat ini di semua sendi kehidupannya, perlakuan semena-mena umat-umat lain terhadap umat ini bahkan tidak jarang umat ini mendapatkan penghinaan dan ejekan musuh-musuhnya bisa menjadi indicator bahwa umat ini telah kehilangan jati dirinya sebagai umat terbaik. Hal itu dikarenakan umat ini telah meninggalkan Al Qur’an dan Sunnah dalam kehidupan individu, rumah tangga, bermasyarakat maupun bernegara.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Telah aku tinggalkan untuk kalian, dua perkara yang kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya; Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR. Malik)
Kejayaan dan kebesaran yang pernah dicapai para pendahulu umat ini bukanlah dikarenakan mereka mendompleng pada ajaran-ajaran yang berasal dari luar islam dan tidak juga mencampuradukkan antara islam dengan faham-faham lain di luar islam. Akan tetapi mereka membangunnya dengan berpegang teguh kepada Al Quran dan Sunnah Nabi-Nya sehingga mereka menjadi umat yang disegani dan ditakuti umat-umat lainnya.
Imam Muslim dari Umar (bin Khattab) berkata, “Benar, Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: ‘Sesungguhnya Allah akan memuliakan suatu kaum dengan kitab ini (Al Qur`an) dan menghinakan yang lain.’”
sumber :
http://www.ajoull.com/2012/06/silaturahmi-vs-silaturrahim.html
https://www.facebook.com/IslamAgamakuFans/posts/464195660278797
http://mayawinda.blogspot.com/2012/02/silaturahmi-menurut-pandangan-islam.html
http://ustadzkholid.com/keutamaan-silaturahmi/
http://infodakwahislam.wordpress.com/2013/04/28/silaturahim-atau-silaturahmi/
http://buletin-aliman.blogspot.com/2013/02/silaturahmi-dalam-islam.html
http://rahmah-el.blogspot.com/2012/04/pengertian-silaturrahmi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar