Syaikh Abdul Qadir Jailani, Pemimpin Para Wali
Sayyid Abdul Qadir dilahirkan di Naif, di kawasan daerah Jailan, Persia. Ia dilahirkan pada bulan Ramadhan 470 H, kurang lebih bertepatan dengan tahun 1077. Ayahnya bernama Abi Shalih Abd Allah Janki Dusti, seorang yang taat kepada Allah dan mempunyai garis keturunan dengan Hasan RA. Ibunya adalah Umm al-Khayr Fatimah binti Abi Abd Allah al-Sawma’i yangbergaris keturunan dengan Husain RA.Tidak mengherankan jika bayi calon sufi ini sejak lahir sudah memiliki keunikan tersendiri. Menurut penuturan ibunya, bayi Abdul Qadir selama bulan suci Ramadhan tidak pernah menyusu pada siang hari. Ia baru menyusu bila waktu maghrib telah tiba. Tumbuh dan menetap di kota kelahirannya hingga berusia delapan belas tahun, ia kemudian menimba ilmu di Baghdad dan menetap di kota ini hingga wafat. Selanjutnya Jailan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari nama atau jati diri tokoh sufi ini, yakni Syaikh Abd al-Qadir al-Jailani.
Pendidikan agama yang pertama digoreskan pada diri syaikh sufi ini adalah kecintaan pada Al-Qur’an. Belajar membaca Al-Qur’an dan mendalami kandungannya pada Abu al-Wafa Ali ibn Aqli dan Abu al-Khattab Mahfuz al-Kalwadzani. Kedua ulama ini berasal dari kalangan Mazhab Hambali.
Syaikh Abdul Qadir mempelajari hadits Nabi dari beberapa ulama hadits terkenal pada zamannya. Salah satunya adalah Abu Ghalib Muhammad ibn al-Hasan al-Balaqalani. Adapun pendalaman ilmu fiqihnya dilakukan pada ulama fiqih Mazhab Hambali, seperti Abu Sa’d al-Mukharrami. Sedangkan bidang bahasa dan sastra dipelajari dari Abu Zakarya ibn Ali al-Tibrizi. Sementara itu, di bidang tasawuf diambilnya dari Hammad al-Dabbas.
Syaikh mulai memimpin majelis ilmu di Madrasah Abu Sa’d al-Mukharrami di Baghdad sejak Syawal 521 H. Sejak itu namanya harum sebagai seorang sufi yang zuhud. Majelis yang diselenggarakan di madrasah ini penuh sesak dengan pengunjung yang haus mencari ilmu dan pencerahan ruhani. Madrasah itu pun diperluas, namun tetap tidak dapat menampung hadirin. Akhirnya majelis atau forum ilmiah itu diadakan di beberapa masjid di luar kota Baghdad. Setiap Syaikh datang memberikan nasihat, yang hadir bisa mencapai tujuh puluh ribu orang. Syaikh menjadi sufi yang menyejukkan umat dan menjadi sumber mata air ruhani yang terus memancarkan kehidupan batin.
Murid-murid Syaikh dapat dikelompokkan ke dalam dua
golongan. Pertama, mereka yang hanya datang untuk mengikuti forum
pengajian yang dibimbingnya. Golongan ini tidak terusmenerus hidup
bersama Syaikh. Kedua, mereka yang hidup bersama Syaikh dalam waktu yang
cukup lama. Golongan ini menjalani kehidupan intelektual dan keruhanian
di bawah bimbingan Syaikh.
Syaikh mendapat beberapa gelar kehormatan. Pertama, di belakang namanya sering dilengkapi dengan sebutan Muhyl al-Din wa al-Sunnah. Sebutan ini secara bahasa berarti tokoh yang menghidupkan agama dan Sunnah Nabi. Melekat dengan gelar tersebut beliau juga mendapat gelar kehormatan Mumit al-Bid’ah, yakni tokoh yang gigih menghapuskan bid’ah atau penyimpangan di dalam agama dari berbagai perbuatan yang tidak sejalan dengan Sunnah Nabi.
Syaikh mendapat gelar kehormatan al-Imam al-Zahid, pemimpin yang bersikap zuhud dalam kehidupan dunia. Gelar ini mencerminkan reputasinya sebagai tokoh sufi yang memandang dunia dan kehidupan ini sebagai modal untuk meningkatkan kualitas ruhani, meraih nilai keabadian, dan mendapatkan kehidupan ukhrawi. Dunia bukan tujuan pokok dalam hidup, bukan ujung dalam perjalanan dan bukan pula segalanya. Syaikh berkata, “layanilah Tuhanmu dengan sepenuh hati, dunia akan melayanimu.”
Syaikh sering dipanggil dengan gelar kehormatan al-Arif al-Qudwah. Secara bahasa gelar ini berarti seorang yang patut menjadi teladan. Gelar ini mencerminkan tingkat kesufian Syaikh yang sudah mencapai maqam Arif bi Allah, yakni posisi sangat mengenal Tuhannya. Syaikh juga mendapatkan gelar kehormatan Sultan al-Awliya’, pemimpin para wali.
Sebelum tahun 521 H, atau sebelum beliau berusia 51 tahun, beliau belum menampakkan dirinya kepada khalayak ramai dan tidak perpikir untuk menikah, karena menurutnya berkeluarga akan menghambat seseorang dalam perjalanan menuju Allah. Setelah berusia 51 tahun beliau mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW menikah dengan empat orang wanita yang baik dan taat kepadanya. Dari perkawinan tersebut beliau dikaruniai anak sebanyak empat puluh sembilan orang; laki-laki sebanyak dua puluh tujuh dan lainnya wanita.
Empat orang putranya menjadi orang-orang yang terkenal karena pelajaran dan ilmunya. Mereka itu adalah: Syaikh Abdul Wahhab, putra sulung. Ia mempunyai ilmu yang luas dan dalam. Ia diberi kewenangan menjaga madrasah ayahnya pada tahun 543 H. Setelah ayahnya wafat, dialah yang memberikan ajaran dan fatwa tentang syariat Islam. Ia memegang suatu jabatan di dalam negara dan menjadi seorang yang sangat terkenal. Putra berikutnya adalah Syaikh Isa, seorang guru hadits dan ahli fiqih yang agung. Ia adalah seorang pengarang puisi dan juru penerang yang baik, di samping seorang penulis buku-buku sufisme. Ia tinggal dan wafat di Mesir. Berikutnya, Syaikh Abdul Razzaq, seorang alim dan hafizh hadist. Seperti halnya ayahnya, ia juga terkenal dengan kejujuran dan kebenaran serta di dalam kesufian dan popularitasnya di Baghdad.
Keempat adalah Syaikh Musa, seorang alim ulama yang ulung. Ia pindah ke Damaskus dan meninggal dunia di sana. Melalui Syaikh Isa, tujuh puluh ajaran ayahnya dalam buku Futuhul Ghaib sampai kepada kita. Sedangkan Abdul Wahab adalah sumber dua ajaran terakhir dalam buku itu. Ia hadir ketika ayahnya terbaring sakit, sebelum kembali ke Rahmatullah.
Adapun Syaikh Musa, ada dinyatakan di akhir buku itu, di dalam ajaran ketujuhpuluh sembilan dan kedelapan puluh. Dalam dua ajaran terakhir, ada disebutkan dua putranya yang hadir ketika ayahnya akan berpulang, yaitu Abdul Razzaq (nomor tiga) dan Abdul Aziz.
Setelah Wali Allah ini tutup usia pada 10 Rabiul Akhir 561 H dalam usia 91 tahun, anak-anak dan murid-muridnya mendirikan suatu organisasi yang bertujuan menanamkan ruh ke-Islaman yang sejati dan membetulkan ajaran-ajaran Islam di tengahtengah umat manusia. Organisasi ini disebut ‘Thariqah Qadiriyyah’, yang hingga hari ini terkenal dengan keteguhannya di dalam memegang syariat Islam. Thariqah inipun telah memberikan andil yang besar kepada Islam. Ada tiga ajaran dan nasehatnya yang terkenal di seluruh dunia, yang paling agung adalah Futuhul Ghaib, yang kedua Fathul Rabbani, yaitu kumpulan enam puluh delapan ajaran yang disusun pada 545-546 H. Sedangkan, yang ketiga adalah qashidah atau puisi yang menceritakan peranan dan keberadaan Aulia Allah, yang menurut istilah sufisme dinamakan Qasidatul Ghautsiyyah.
Berikut ini kisah karomah Sulthonul Auliya Asy-Syekh Abdul Qodir al-Jilany RA. Coba kita cari sesuatu yang bisa kita ambil sebagai bahan diskusi kita. Anda bisa bertanya dan juga menjawab, sang moderator bila perlu duduk manis aja…
Khusus bagi teman-teman yang terkadang masih kurang memahami prihal karomah para Waliyulloh sehingga sempat salah sangka kepada amaliyah sesama orang beriman, bahkan mensyirikkan orang yang berziarah ke maqom para Waliyulloh, marilah kita mencoba mencari pemahaman dari sesama kita yang ada disini. Dengan niat yang baik kita bisa sharing dalam forum diskusi yang baik, barangkali dengan itu kita mendapatkan petunjuk dari Alloh untuk menerima keutamaan yang dianugerahkan Alloh kepada hamba-hamba pilihan-Nya.
Raja JIN
Pada suatu hari, di tahun 537 Hijrah, seorang lelaki dari kota Baghdad (dikatakan oleh sesetengah perawi bahawa lelaki itu bernama Abu Sa‘id ‘Abdullah ibn Ahmad ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Baghdadi) datang bertemu asy-Syaikh Jilani, dan berkata, bahwa dia mempunyai seorang anak dara cantik berumur enam belas tahun bernama Fatimah. Anak daranya itu telah diculik (diterbangkan) dari atas anjung rumahnya oleh seorang jin.
Maka asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun menyuruh lelaki itu pergi pada malam hari itu, ke suatu tempat bekas rumah roboh, di satu kawasan lama di kota Baghdad bernama al-Karkh.
“Carilah bonggol yang kelima, dan duduklah di situ. Kemudian, gariskan satu bulatan sekelilingmu di atas tanah. Kala engkau membuat garisan, ucapkanlah “Bismillah, dan di atas niat asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani ” Apabila malam telah gelap, engkau akan didatangi oleh beberapa kumpulan jin, dengan berbagai-bagai rupa dan bentuk. Janganlah engkau takut. Apabila waktu hampir terbit fajar, akan datang pula raja jin dengan segala angkatannya yang besar. Dia akan bertanya hajatmu. Katakan kepadanya yang aku telah menyuruh engkau datang bertemu dengannya. Kemudian ceritakanlah kepadanya tentang kejadian yang telah menimpa anak perempuanmu itu.”
Lelaki itu pun pergi ke tempat tersebut dan melaksanakan arahan asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani itu. Beberapa saat kemudian datanglah jin-jin yang mencoba menakut-nakuti, tetapi jin-jin itu tidak kuasa melintasi garis bulatan itu. Jin-jin itu datang bergantian, kelompok demi kelompok. Dan akhirnya, datanglah raja jin yang sedang menunggang seekor kuda beserta satu angkatan yang besar dan hebat.
Raja jin itu memberhentikan kudanya di luar garis bulatan itu dan bertanya: “Wahai manusia, apakah hajatmu?” Lelaki itu menjawab, “Aku telah disuruh oleh asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani untuk bertemu denganmu.”
Begitu mendengar nama asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani diucapkan, serta merta raja jin itu turun dari kudanya dan terus mencium bumi. Raja jin itu kemudian duduk di atas bumi, disertai dengan seluruh anggota rombongannya. Sesudah itu, raja jin itu telah bertanyakan masalah lelaki itu. Lelaki itu pun menceritakan kisah anak daranya yang diculik oleh seorang jin. Setelah mendengar cerita lelaki itu, raja jin itu pun memerintahkan agar dicari si jin yang bersalah itu. Beberapa waktu kemudian, dibawa ke hadapan raja jin itu, seorang jin lelaki dari negara Cina bersama-sama dengan anak dara manusia yang telah diculiknya.
Raja jin itu telah bertanya, “Kenapakah engkau sambar anak dara manusia ini? Tidakkah engkau tahu, dia ini berada di bawah naungan al-Quthb ?”
Jin lelaki dari negara Cina itu telah mengatakan yang dia telah jatuh berahi dengan anak dara manusia itu. Raja jin itu memerintahkan agar dipulangkan perawan itu kepada bapanya, dan jin dari negara Cina itu dikenakan hukuman pancung kepala.
Lelaki itu pun mengatakan rasa takjubnya dengan segala perbuatan raja jin itu, yang sangat patuh kepada asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani.
Raja jin itu berkata pula, “Sudah tentu, karena asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani bisa melihat dari rumahnya semua kelakuan jin-jin yang jahat. Dan mereka semua sedang berada di sejauh-jauh tempat di atas bumi, karena telah lari dari sebab kehebatannya. Allah Ta’ala telah menjadikan asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani bukan saja al-Qutb bagi umat manusia, bahkan juga ke atas seluruh bangsa jin.”
Kehilangan seseorang yang disayang
Pada suatu hari, istri-istri asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani bertemu dengannya dan berkata, “Wahai suami kami yang terhormat, anak lelaki kecil kita telah meninggal dunia. Namun kami tidak melihat setitik air mata pun yang mengalir dari mata kekanda dan tidak pula kekanda menunjukkan tanda kesedihan. Tidakkah kekanda menyimpan rasa belas kasihan terhadap anak lelaki kita, yang merupakan sebagian darah daging kekanda sendiri? Kami semua sedang dirundung kesedihan, namun kekanda masih juga meneruskan pekerjaan biasa kekanda, seolah-olah tiada sesuatu pun yang telah berlaku. Kekanda adalah pemimpin dan pelindung kami di dunia dan di akhirat. Tetapi jika hati kekanda telah menjadi keras sehingga tiada lagi menyimpan rasa belas kasihan, bagaimana kami dapat bergantung kepada kekanda di Hari Pembalasan kelak?”
Maka berkatalah asy-Sayikh Abdul Qodir al-Jilani “Wahai isteri-isteriku yang tercinta! Janganlah kamu semua menyangka hatiku ini keras. Aku menyimpan rasa belas kasihan di hatiku terhadap seluruh makhluk, sampai terhadap orang-orang kafir dan juga terhadap anjing-anjing yang menggigitku. Aku berdoa kepada Allah agar anjing-anjing itu berhenti menggigit, bukan karena aku takut digigit, tetapi aku takut nanti manusia lain akan melontar anjing-anjing itu dengan batu. Tidakkah kamu mengetahui bahwa aku mewarisi sifat belas kasihan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yang telah diutus Allah sebagai rahmat untuk sekelian alam?”
Maka wanita-wanita itu telah berkata pula, “Kalau benar kekanda mempunyai rasa belas kasihan terhadap seluruh makhluk Allah, sampai kepada anjing-anjing yang menggigit kekanda, kenapa kekanda tidak menunjukkan rasa sedih atas kehilangan anak lelaki kita yang telah meninggal ini?”
Asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun menjawab, “Wahai isteri-isteriku yang sedang berdukacita, kamu semua menangis karena kamu semua merasa telah berpisah daripada anak lelaki kita yang kamu semua sayangi. Tetapi aku sentiasa bersama dengan orang-orang yang aku sayangi. Kamu semua telah melihat anak lelaki kita di dalam satu ilusi yang disebut dunia. Kini, dia telah meninggalkannya lalu berpindah ke satu tempat yang lain. Allah telah berfirman (Surat al-adid, ayat 20) “dan tiadaklah kehidupan dunia ini melainkan hanyalah satu ilusi saja.” Memang dunia ini adalah satu ilusi, untuk mereka yang sedang terlena. Tetapi aku tidak terlena – aku melihat dan waspada. Aku telah melihat anak lelaki kita sedang berada di dalam bulatan masa, dan kini dia telah keluar darinya. Namun aku masih dapat melihatnya. Dia kini berada di sisiku. Dia sedang bermain-main di sekelilingku, sebagaimana yang pernah dia lakukan pada masa dahulu. Sesungguhnya, jika seseorang itu dapat melihat Kebenaran melalui mata hatinya, sama dengan yang dilihatnya masih hidup ataupun sudah mati, maka Kebenaran itu tetap tidak akan hilang.”
Syaikh Abduh Hamad ibn Hammam
Telah bercerita asy-Syaikh Abduh Hamad ibn Hammam:
Pada mulanya aku memang tidak suka kepada asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani. Walaupun aku merupakan seorang saudagar yang paling kaya di kota Baghdad waktu itu, aku tidak pernah merasa tenteram ataupun berpuas hati.
Pada suatu hari, aku telah pergi menunaikan solat Jum’at. Ketika itu, aku tidak mempercayai tentang cerita-cerita karomah yang dikaitkan pada asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani. Sesampainya aku di masjid itu, aku dapati beliau telah ramai dengan jamaah. Aku mencari tempat yang tidak terlalu ramai, dan kudapati betul-betul di hadapan mimbar.
Di kala itu, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani baru saja mulai untuk khutbah Jumaat. Ada beberapa perkara yang disentuh oleh asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani yang telah menyinggung perasaanku. Tiba-tiba, aku terasa hendak buang air besar. Untuk keluar dari masjid itu memang sukar dan agak mustahil. Dan aku dihantui perasaan gelisah dan malu, takut-takut aku buang air besar di sana di depan orang banyak. Dan kemarahanku terhadap asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun bertambah dan memuncak.
Pada saat itu, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani telah turun dari atas mimbar itu dan telah berdiri di hadapanku. Sambil beliau terus memberikan khutbah, beliau telah menutup tubuhku dengan jubahnya. Tiba-tiba aku sedang berada di satu tempat yang lain, yakni di satu lembah hijau yang sangat indah. Aku lihat sebuah anak sungai sedang mengalir perlahan di situ dan keadaan sekelilingnya sunyi sepi, tanpa kehadiran seorang manusia.
Aku pergi membuang air besar. Setelah selesai, aku mengambil wudlu. Apabila aku sedang berniat untuk pergi bersolat, dan tiba-tiba diriku telah berada ditempat semula di bawah jubah asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani. Dia telah mengangkat jubahnya dan menaiki kembali tangga mimbar itu. Aku sungguh-sungguh merasa terkejut. Bukan karena perutku sudah merasa lega, tetapi juga keadaan hatiku. Segala perasaan marah, ketidakpuasan hati, dan perasaan-perasaan jahat yang lain, semuanya telah hilang.
Selepas sembahyang Jum’at berakhir, aku pun pulang ke rumah. Di dalam perjalanan, aku menyadari bahwa kunci rumahku telah hilang. Dan aku kembali ke masjid untuk mencarinya. Begitu lama aku mencari, tetapi tidak aku temukan, terpaksa aku menyuruh tukang kunci untuk membuat kunci yang baru.
Pada keesokan harinya, aku telah meninggalkan Baghdad dengan rombonganku karena urusan perniagaan. Tiga hari kemudian, kami telah melewati satu lembah yang sangat indah. Seolah-olah ada satu kuasa ajaib yang telah menarikku untuk pergi ke sebuah anak sungai. Barulah aku teringat bahwa aku pernah pergi ke sana untuk buang air besar, beberapa hari sebelum itu. Aku mandi di anak sungai itu. Ketika aku sedang mengambil jubahku, aku telah temukan kembali kunciku, yang rupa-rupanya telah tertinggal dan telah tersangkut pada sebatang dahan di situ.
Setelah aku sampai di Baghdad, aku menemui asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani dan menjadi anak muridnya.
SYEKH ABDUL QODIR AL JAELANI MENGHIDUPKAN ORANG MATI
Akhirnya Al Jaelani meminta bukti dari orang nasrani tersebut. Al Isuwi menjawab bahwa nabinya mampu menghidupkan orang yang sudah mati. Al Jaelani menjawab, "Aku bukanlah seorang Nabi, namun aku adalah pengikut Nabi Muhammad SAW, jika nanti dengan izin Allah aku bisa menghidupkan orang mati sebagaimana Isa Nabimu,,, Apakah kamu mau beriman kepada Allah dan mau mengakui Bahwa Nabi penutup adalah Muhammad SAW?"
Kemudian Al Jaelani meminta kepada orang nasrani supaya menujukan kuburan yang mana yang ingin dihidupkan lagi hingga sampailah mereka pada kuburan yang dituju. Sebelum dihidupkan, Al Jaelani menjelaskan dulu perihal orang yang telah mati tersebut dulunya semasih hidup didunia.
Al Jaelani berkata" dahulu orang ini adalah seorang penyanyi,,, Bagaimana kalau ahli kubur ini saya bangunkan dan saya suruh dia bernyanyi..?"
"Silahkan saja,,," dengan nada tak percaya dan bingung bahwa Al Jaelani mampu menghidupkan orang tersebut.
Sesaat kemudian Al Jaelani melangkah kedepan kuburan lalu dia berkata seperti apa yang diucapkan Nabi Isa ketika menghidupkan orang yang sudah mati. ''Bangunlah Dengan Izin Allah"
Serta merta kuburan itupun bergerak dan membelah seketika, dan munculah orang yang sudah mati tersebut dan Al Jaelani menyuruhnya bernyanyi.
Dengan rasa tak percaya dan takjub dengan kejadian tersebut kedua orang tersebut saling bertatapan keheranan. Namun kejadian itu adalah kejadian yang nyata yang dilihat dengan kedua mata mereka sendiri. Dan akhirnya AL Isuwi mau mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai Nabinya dan diapun masuk Islam dihadapan AL Jaelani.
Kisah Syech Abdul Qodir Al Jaelani dan Iblis
Suatu hari Shaikh Abdul Qadir al Jaelani
dan beberapa murid-muridnya sedang dalam perjalanan di padang pasir
dengan telanjang kaki. Saat itu bulan Ramadhan dan padang pasirnya
panas. Beliau mengatakan, "Aku sangat haus dan luar biasa lelahnya.
Murid-muridku berjalan di depanku. Tiba-tiba awan muncul di atas kami,
seperti sebuah payung yang melindungi kami dari panasnya matahari. Di
depan kami muncul mata air yang memancar dan sebuah pohon kurma yang
sarat dengan buah yang masak. Akhirnya datanglah sinar berbentuk bulat,
lebih terang dari matahari dan berdiri berlawanan dengan arah matahari.
Dia
berkata, "Wahai para murid Abdul Qadir, aku adalah Tuhan kalian. Makan
dan minumlah karena telah aku halalkan bagi kalian apa yang aku haramkan
bagi orang lain!" Murid-muridku yang berada di depanku berlari ke arah
mata air itu untuk meminumnya, dan ke arah pohon kurma untuk dimakannya.
Aku berteriak kepada mereka untuk berhenti, dan aku putar kepalaku ke
arah suara itu dan berteriak, "Aku berlindung kepada Allah dari godaan
syaitan yang terkutuk!"
"Awan, sinar,
mata air dan pohon kurma semuanya hilang. Iblis berdiri dihadapan kami
dalam rupanya yang paling buruk. Dia bertanya, "Bagaimana kamu tahu
bahwa itu aku?" Aku katakan pada Iblis yang terkutuk yang telah
dikeluarkan Allah dari rahmatNya bahwa firman Allah bukan dalam bentuk
suara yang dapat didengar oleh telinga ataupun datang dari luar. Lebih
lagi aku tahu bahwa hukum Allah tetap dan ditujukan kepada semua. Allah
tidak akan mengubahnya ataupun membuat yang haram menjadi halal bagi
siapa yang dikasihiNya.
Mendengar
ini, Iblis berusaha menggodanya lagi dengan memujinya, "Wahai Abdul
Qadir," katanya, "Aku telah membodohi tujuh puluh nabi dengan tipuan
ini. Pengetahuanmu begitu luar dan kebijakanmu lebih besar daripada
nabi-nabi itu!" Kemudian menunjuk kepada murid-muridku dia melanjutkan,
"Hanya sekian banyak orang-orang bodoh saja yang menjadi pengikutmu?
Seluruh dunia harusnya mengikutimu, karena kamu sebaik seorang nabi."
Aku
mengatakan, "Aku berlindung darimu kepada Tuhanku yang Maha Mendengar
dan Maha Mengetahui. Karena bukanlah pengetahuanku ataupun kebijakanku
yang menyelematkan aku darimu, tetapi hanya dengan rahmat dari
Tuhanku."
|
Kisah Ruh Syeikh Abdul Qodir Jaelani dan Buroq
BERIKUT adalah manaqib dari rajanya Aulia (Qotbul Aqtob) Syeikh
AbdulQodir Jaelani diterjemahkan dari kitab “Al-Lujaini ad-Daani” yg
disusun oleh Syeikh Al-Karim Ja’far bin Hasan Abdul Karim al~Barzanji
R.A. Mudah mudahan aQu dan kalian mendapat barokah serta karomah nya
aamiin yaa mujiib..
Diriwayatkan oleh syeikh Rasyid bin Muhammad
al-junaidi dlm kitab Roudhoh an-nadzir,, pada malam Rosulullah
(shollallahu’alayhi wasallam) Mi’roj,,
malaikat Jibril datang menghadap
Rosulullah sambil membawa Buroq,,
telapak kaki Buroq trsbut mengeluarkan
cahaya seperti cahaya rembulan.
Buroq trsbut diberikan kepada nabi Muhammad oleh malaikat Jibril As.
Seketika itu juga Buroq trsebut tidak mau diam karena sangat senang yg
luar biasa sehingga nabi bersabda: “wahai Buroq kenapa engkau tidak mau
diam!? Apa karena engkau tdk mau aku tunggangi?”
Buroq mnjawab: “wahai Rosulullah, bukan aku tidak mau baginda tunggangi, tetapi aku mempunyai permintaan kepada baginda wahai kekasih Allaah, permintaanku adalah nanti di hari qiyamat ketika baginda masuk kedalam surga agar tidak menunggangi yang lain kecuali aku”.
Rosulullah bersabda:”wahai buroq permintaanmu aku kabulkan”..
Buroq itu pun brkata lagi: “wahai baginda sudikah kiranya baginda memegang pundakku agar menjadi ciri dihari qiyamah?”
kemudian Rosulullah memegangkan kedua tangannya pada pundak buroq trsbt,, karena buroq saking gembiranya yg sangat luarbiasa, sehingga badan nya tdk muat lagi untuk ditempati ruh nya, terpaksa buraq tsbt membesar dan tinggi sampai 40 hasta.
Stelah itu Rosulullah berdiri sebentar sambil melihat betapa tingginya buroq dan berfikir bagaimana caranya untuk naik ke punggungnya sedangkan pada saat itu tidak ada satupun tangga untuk naik.
Pada saat itu juga datang ruh nya Syeikh Abdul Qodir Aljaelani seraya berkata: “silahkan baginda naik ke pundak saya”.. Kemudian Rosulullah naik ke pundaknya ruh Ghautsul ‘Adzom ‘Syeikh AbdulQodir Jaelani, kemudian syeikh AbdulQodir jaelani berdiri, sehingga Rosulullah dapat naik ke pundaknya buroq kemudian nabi bersabda: “dua telapak kaki ku menaiki pundakmu wahai Abdul Qodir, maka telapak kakimu nanti yang akan menaiki pundak semua wali-wali Allah”
Buroq mnjawab: “wahai Rosulullah, bukan aku tidak mau baginda tunggangi, tetapi aku mempunyai permintaan kepada baginda wahai kekasih Allaah, permintaanku adalah nanti di hari qiyamat ketika baginda masuk kedalam surga agar tidak menunggangi yang lain kecuali aku”.
Rosulullah bersabda:”wahai buroq permintaanmu aku kabulkan”..
Buroq itu pun brkata lagi: “wahai baginda sudikah kiranya baginda memegang pundakku agar menjadi ciri dihari qiyamah?”
kemudian Rosulullah memegangkan kedua tangannya pada pundak buroq trsbt,, karena buroq saking gembiranya yg sangat luarbiasa, sehingga badan nya tdk muat lagi untuk ditempati ruh nya, terpaksa buraq tsbt membesar dan tinggi sampai 40 hasta.
Stelah itu Rosulullah berdiri sebentar sambil melihat betapa tingginya buroq dan berfikir bagaimana caranya untuk naik ke punggungnya sedangkan pada saat itu tidak ada satupun tangga untuk naik.
Pada saat itu juga datang ruh nya Syeikh Abdul Qodir Aljaelani seraya berkata: “silahkan baginda naik ke pundak saya”.. Kemudian Rosulullah naik ke pundaknya ruh Ghautsul ‘Adzom ‘Syeikh AbdulQodir Jaelani, kemudian syeikh AbdulQodir jaelani berdiri, sehingga Rosulullah dapat naik ke pundaknya buroq kemudian nabi bersabda: “dua telapak kaki ku menaiki pundakmu wahai Abdul Qodir, maka telapak kakimu nanti yang akan menaiki pundak semua wali-wali Allah”
Detik-detik Wafatnya Syekh Abdul Qadir al-Jailani
Jasadnya memang sudah terkubur lebih dari delapan abad. Namun nama dan
tauladan hidupnya tetap membekas kuat di kalangan umat Islam. Dialah
Syekh Abdul Qadir al-Jailani, ulama sufi kelahiran Persia yang
kemasyhurannya setingkat dunia.
Syekh Abdul Qadir terkenal sebagai pribadi yang teguh dalam berprinsip, sang pencari sejati, dan penyuara kebenaran kepada siapapun, dan dengan risiko apapun. Usianya dihabiskan untuk menekuni jalan tasawuf, hingga ia mengalami pengalaman spiritual dahsyat yang mempengaruhi keseluruhan hidupnya. Jejak Syekh Abdul Qadir juga dijumpai dalam belasan karya orisinalnya.
Selain mewarisi banyak karya tulisan, Syekh Abdul Qadir meninggalkan beberapa buah nasehat menjelang kewafatannya. Akhir hayat Syekh didahului dengan kondisi kesehatannya yang terus menurun. Kala itu putra-putranya menghampiri dan mengajukan sejumlah pertanyaan.
”Berilah aku wasiat, wahai ayahku. Apa yang harus aku kerjakan sepergian ayah nanti?” tanya putra sulungnya, Abdul Wahab.
”Engkau harus senantiasa bertaqwa kepada Allah. Jangan takut kepada siapapun, kecuali Allah. Setiap kebutuhan mintalah kepada-Nya. Jangan berpegang selain kepada tali-Nya. Carilah segalanya dari Allah,” jawab sang ayah.
”Aku diumpamakan seperti batang yang tanpa kulit,” sambung Syekh Abdul Qadir. ”Menjauhlah kalian dari sisiku sebab yang bersamamu itu hanyalah tubuh lahiriah saja, sementara selain kalian, aku bersama dengan batinku.”
Putra lainnya, Abdul Azis, bertanya tentang keadaannya. ”Jangan bertanya tentang apapun dan siapapun kepadaku. Aku sedang kembali dalam ilmu Allah,” sahut Syekh Abdul Qadir.
Ketika ditanya Abdul Jabar, putranya yang lain, ”Apakah yang dapat ayahanda rasakan dari tubuh ayahanda?” Syekh Abdul Qadir menjawab, ”Seluruh anggota tubuhku terasa sakit kecuali hatiku. Bagaimana ia dapat sakit, sedang ia benar-benar bersama dengan Allah.”
”Mintalah tolong kepada Tuhan yang tiada tuhan yang wajib disembah kecuali Dia. Dialah Dzat yang hidup, tidak akan mati, tidak pernah takut karena kehilangannya.” Kematian pun segera menghampiri Syekh Abdul Qadir.
Syekh Abdul Qadir al-Jainlani menghembuskan nafas terakhir di Baghdad, Sabtu bakda maghrib, 9 Rabiul Akhir 561 H atau 15 Januari 1166 M, pada usia 89 tahun. Dunia berduka atas kepulangannya, tapi generasi penerus hingga sekarang tetap setia melanjutkan ajaran dan perjuangannya.
Syekh Abdul Qadir terkenal sebagai pribadi yang teguh dalam berprinsip, sang pencari sejati, dan penyuara kebenaran kepada siapapun, dan dengan risiko apapun. Usianya dihabiskan untuk menekuni jalan tasawuf, hingga ia mengalami pengalaman spiritual dahsyat yang mempengaruhi keseluruhan hidupnya. Jejak Syekh Abdul Qadir juga dijumpai dalam belasan karya orisinalnya.
Selain mewarisi banyak karya tulisan, Syekh Abdul Qadir meninggalkan beberapa buah nasehat menjelang kewafatannya. Akhir hayat Syekh didahului dengan kondisi kesehatannya yang terus menurun. Kala itu putra-putranya menghampiri dan mengajukan sejumlah pertanyaan.
”Berilah aku wasiat, wahai ayahku. Apa yang harus aku kerjakan sepergian ayah nanti?” tanya putra sulungnya, Abdul Wahab.
”Engkau harus senantiasa bertaqwa kepada Allah. Jangan takut kepada siapapun, kecuali Allah. Setiap kebutuhan mintalah kepada-Nya. Jangan berpegang selain kepada tali-Nya. Carilah segalanya dari Allah,” jawab sang ayah.
”Aku diumpamakan seperti batang yang tanpa kulit,” sambung Syekh Abdul Qadir. ”Menjauhlah kalian dari sisiku sebab yang bersamamu itu hanyalah tubuh lahiriah saja, sementara selain kalian, aku bersama dengan batinku.”
Putra lainnya, Abdul Azis, bertanya tentang keadaannya. ”Jangan bertanya tentang apapun dan siapapun kepadaku. Aku sedang kembali dalam ilmu Allah,” sahut Syekh Abdul Qadir.
Ketika ditanya Abdul Jabar, putranya yang lain, ”Apakah yang dapat ayahanda rasakan dari tubuh ayahanda?” Syekh Abdul Qadir menjawab, ”Seluruh anggota tubuhku terasa sakit kecuali hatiku. Bagaimana ia dapat sakit, sedang ia benar-benar bersama dengan Allah.”
”Mintalah tolong kepada Tuhan yang tiada tuhan yang wajib disembah kecuali Dia. Dialah Dzat yang hidup, tidak akan mati, tidak pernah takut karena kehilangannya.” Kematian pun segera menghampiri Syekh Abdul Qadir.
Syekh Abdul Qadir al-Jainlani menghembuskan nafas terakhir di Baghdad, Sabtu bakda maghrib, 9 Rabiul Akhir 561 H atau 15 Januari 1166 M, pada usia 89 tahun. Dunia berduka atas kepulangannya, tapi generasi penerus hingga sekarang tetap setia melanjutkan ajaran dan perjuangannya.
Sumber: •
- Syaikh Abdul Qadir Jailani, Kunci Tasawuf Menyingkap Rahasia Kegaiban Hati (Terjemahan dari buku asli Futuhul Ghaib), Penerbit Husaini, Bandung (1985) ; • Tim UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawuf, Penerbit Angkasa, Bandung (2008)
- http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,51-id,45247-lang,id-c,hikmah-t,Detik+detik+Wafatnya+Syekh+Abdul+Qadir+al+Jailani-.phpx
- http://baitulamin.org/tasawuf/risalah/397-syaikh-abdul-qadir-jaelani.html
- http://annangws.blogspot.com/2013/03/syekh-abdul-qodir-al-jaelani-menghidupkan-orang-mati.html
- https://sites.google.com/site/anggaw4hyu/islam/kisah-kisah-teladan/kisah-syech-abdul-qodir-al-jaelani-dan-iblis
- http://alfithrahgp.blogspot.com/2012/12/cerita-sufi-syekh-abdul-qodir-al-jilany.html
- http://pecintahabibana.wordpress.com/2013/01/04/kisah-ruh-syeikh-abdul-qodir-jaelani-dan-buroq/
ijin cops ...biar bermanfaat
BalasHapus