Halaman

Minggu, 11 Agustus 2013

Hari Raya Kemenangan dan Idul Fitri




Ketika mendengar kata Idul Fitri, tentu dalam benak setiap orang yang ada adalah kebahagiaan dan kemenangan. Dimana pada hari itu, semua manusia merasa gembira dan senang karena telah melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh.

Dalam Idul Fitri juga ditandai dengan adanya ”mudik (pulang kampung)” yang notabene hanya ada di Indonesia. Selain itu, hari raya Idul Fitri juga kerap ditandai dengan hampir 90% mereka memakai sesuatu yang baru, mulai dari pakaian baru, sepatu baru, sepeda baru, mobil baru, atau bahkan istri baru (bagi yang baru menikah tentunya...). Maklum saja karena perputaran uang terbesar ada pada saat Lebaran. Kalau sudah demikian, bagaimana sebenarnya makna dari Idul Fitri itu sendiri. Apakah Idul Fitri cukup ditandai dengan sesuatu yang baru, atau dengan mudik untuk bersilaturrahim kepada sanak saudara dan kerabat?. 


 "Beberapa hari yang ditentukan itu ialah bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil)."

BULAN yang paling bernasib baik adalah Ramadhan. Ia mendapatkan kehormatan sebagai tuan rumah kehadiran tamu mulia yang bernama al-Qur'an. Seakan al-Qur'an tak berkenan turun di sembarang bulan.

Untuk turun secara keseluruhan dalam satu kitab atau turun pertama kalinya dalam lima ayat Surat al-'Alaq --yang pertama disebut lailatul qadri, dan kedua nuzulul Qur'an-- bulan Ramadhanlah yang terpilih sehingga di dalamnya menjadi mulia, barakah, dan benih rahmat.

Soal pilih memilih itu tidak ada hubungannya dengan prestasi atau amal shalih yang pernah dilakukan oleh bulan Ramadhan. Semua itu semata-mata atas kehendak Allah Subhanahu Wata’ala. Ramadhan memang bernasib baik.

Kita ingin bernasib seperti itu, yakni dipilih Allah Subhanahu Wata’ala sebagai tempat turun wahyu al-Qur'an. Kita ingin al-Qur'an turun kepada kita dalam bentuk hidayah dan taufiq. Bukan sebatas dalam bentuk bacaan, hafalan, dan pemahaman, sekalipun ketiganya sebenarnya penting dalam rangka meraih hidayatullah (petunjuk-Nya). Hanya saja jika ketiga hal itu mandeg di tengah jalan tanpa melangkah pada jalan Allah, tingkat kemunafikan kita semakin berbobot dan sulit beralih menjadi muslim kaffah.

Oleh karena itu sesungguhnya kita mesti banyak berguru kepada bulan Ramadhan. Berada di bulan itu anggap saja kita berada di sebuah perguruan tinggi, Universitas Ramadhan. Selama sebulan penuh kaum muslimim menjalankan masa pendidikan di 'fakultasnya' masing-masing sesuai bakat, kemampuan, dan peran yang diemban. Kita memang sama beriman, tetapi tugas dan kualitas tentu berbeda. Yang sama adalah semangat dan ambisi kita untuk diwisuda oleh Allah dengan gelar muttaqin.

Lantas kita rayakan kemenangan itu di hari Lebaran, ber-'Idul Fitri. Sembilan kali Rasulullah dan segenap ummat Islam zaman itu merayakan hari raya 'Idul Fitri. Dari hari raya ke sembilan, Rasulullah dan kaum muslimin merasakan puncak kemenangan lahir dan batin.

Menang bukan hanya dalam pengertian individual berupa tunduknya hawa nafsu dalam kekuasaan dirinya yang fitrah, tetapi juga kemenangan komunal di kota Makkah berupa tunduknya orang-orang kafir di pusat kekuasaan mereka sendiri. Kemenangan itu amat mulus dan indah tanpa sepercik darah pun menetes.

Sudah sejak lama kita merindukan kemenangan 'Idul Fitri sebagaimana yang pernah dialami ummat Islam di zaman Rasul itu. Selama ini kedukaan senantiasa mengiringi saat-saat kita ber-'Idul Fitri. Ummat Islam telah menjadi bulan-bulanan dan maf'ul bih (obyek) bagi kaum kafirin.

Dalam pengertian individual, bisa saja seseorang merayakan 'Idul Fitri dengan perasaan bahagia tanpa terselip duka. Hal itu agaknya layak, karena sebulan suntuk sebelumnya ia telah mati-matian bertarung melawan nafsu iblisiyah, dan bersyukurlah bisa menang.

Yang menjadikannya merasa belum puas adalah, karena ia sebenarnya masih terus berfikir tentang nasib ummat Islam secara keseluruhan yang belum menggembirakan.

Orang-orang kafir masih leluasa mempermainkan kaum muslimin sesuka hati. Mentang-mentang mereka sedang unggul di banyak hal, aspek ekonomi, sosial politik, budaya, dan iptek. Dari Somalia hingga Bosnia, dari India hingga Afghanistan, ummat Islam sedang berada dalam cobaan.

Menyaksikan kebiadaban anak buah Qabil dan kehinaan orang Islam menghadapinya, kita bisa menjadi marah luar biasa. Kemarahan dan kebencian bagitu memuncak, sampai-sampai kita jadi lupa tentang masalah mendasar yang sebenarnya.

Benarkah derita ummat Islam selama ini diakibatkan oleh polah tingkah ummat kafirin? Jangan-jangan kejahatan dan kebejatan orang kafir terhadap orang Islam itu hanya akibat saja dari ulah perilaku ummat kita sendiri.

Kita sendirilah yang menyebabkan keadaan layak-hina itu. Justru bila pujian dan keseganan yang kita peroleh dari kaum kafirin, kita akan merasa mendapatkan ejekan yang lebih menyakitkan. Sementara harapan Allah sebenarnya begitu besar kepada ummat Islam yang hidup dengan membawa nama-Nya.

Tentu seharusnya ummat Islam tampil baik, karena melangkah di jalan Allah dan dalam petunjuk-Nya. Ya, semestinyalah penampilan ummat Islam mencerminkan pribadi sebagai orang yang bertaqwa, sebagai muttaqin.

Harapan itulah yang hendak dicapai dengan puasa di bulan Ramadhan sebagaimana sering dititipkan khatib pada setiap khutbah Jum'at. Jika gelar taqwa teraih, niscaya Allah akan memuliakan jama'ah muslimin:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِي

"Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu." (Al- Hujurat: 13)


Cara Menghapus Dosa Kepada Allah Adalah dengan Taubat

Dosa merupakan catatan keburukan di sisi Allah yang telah dilakukan oleh setiap manusia karena mereka tidak menjalankan perintah atau karena mereka melanggar larangan Allah dan RasulNya.

Bulan Ramadhan merupakan bulan khusus yang dikhususkan Allah untuk Umat Islam. Di bulan ini terdapat maghfirah, rahmah dan itqun minan nar. Selain itu, bulan Ramadhan juga menjadi sarana umat manusia untuk memohon dan meminta pengampunan dari Allah dengan jalan melaksanakan ibadah puasa dan shalat tarawih. Sebagaimana hadis Rasul:

أخرج البخاري: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلاَمٍ قَالَ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
(Dari Muhammad bin Salam dari Muhammad bin Faudhail dari Yahya bin Sa’id dari Abi Salamah dari Abi Hurairah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda : Barangsiapa yang berpuasa pada bulan ramadhan dengan kepercayaan bahwa perintah puasa itu dari Allah dan hanya mengharap pahala dari Allah akan diampuni dosanya).

Begitu juga Allah menyediakan Qiyam Ramadhan (Tarawih) sebagai sarana penghapusan dosa apabila dilakukan karena Allah dan hanya mengharap pahala dari Allah. Sebagaimana ditegaskan dalam hadis shahih pada kitab Sunan Abi Dawud

أخرج ابي داود : حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُتَوَكِّلِ قَالاَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ قَالَ الْحَسَنُ فِي حَدِيثِهِ وَمَالِكُ بْنُ أَنَسٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرَغِّبُ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَأْمُرَهُمْ بِعَزِيمَةٍ ثُمَّ يَقُولُ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ ثُمَّ كَانَ اْلأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ فِي خِلاَفَةِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَصَدْرًا مِنْ خِلاَفَةِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
(Dari al-Hasan bin Ali dan Muhammad bin al-Mutawakkil keduanya dari Abd al-Razaq dari al-Ma’mar dari al-Hasan dan Malik bin Anas dari al-Zuhri dari Abi Salamah dari Abi Hurairah berkata bahwa Rasulullah SAW senang melaksanakan Qiyam Ramadhan (Tarawih) meskipun tidak mewajibkannya. Kemudian bersabda :”Barangsiapa melaksanakan Qiyam ramadhan (tarawih) karena Allah dan mencari pahala dari Allah akan diampuni dosanya yang telah lalu. Kemudian Rasulullah wafat, sedang masalah Qiyam Ramadhan tetap seperti sediakala pada pemerintahan Abu Bakar dan pada awal pemerintahan Umar bin Khattab).

Dengan rajin dan tekun melaksanakan puasa dan shalat tarawih dengan tulus mencari ridho dan pahala dari Allah, niscaya dosa dan kesalahan kita kepada Allah telah terampuni kecuali dosa syirik sehingga kita menjadi hamba yang bersih dari dosa. Setelah dosa kita diampuni Allah, maka tahapan selanjutnya adalah membersihkan dosa kita kepada sesama manusia.

Idul Fitri atau kembali ke fitrah akan sempurna tatkala terhapusnya dosa kita kepada Allah diikuti dengan terhapusnya dosa kita kepada sesama manusia. Terhapusnya dosa kepada sesama manusia dengan jalan kita memohon maaf dan memaafkan orang lain.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEggnLfEfBZg67vxAawGqUnRqKCFX9EbHqw2192b-dMo9VcS06jVdy2Pa_wYkpCKs6dDQ9z8zpeZK_NizEK7Qboyz8SANkQpfJZrEMqxU53UV4J8xkl5BMFu74ntQ-mEVrAgb9Ta54ifraM/s320/selamat-idul-fitri.jpg

Nah, dengan momentum Idul Fitri ini kita mari jadikan sebagai sarana meminta maaf dan memaafkan orang lain dengan bersilaturrahim (menyambung kasih sayang) baik kepada suami atau istri, kedua orang tua, anak, keluarga, sanak kerabat, tetangga serta teman dan relasi kita ketika ada kebencian terhadap mereka. Sebab kasih sayang merupakan lawan dari kebencian. Sehingga orang yang dalam dirinya ada kebencian pada suami atau istri, orang tua, anak, keluarga, sanak kerabat, tetangga, teman dan relasi disebut dengan pemutus kasih sayang (Qathiul Rahim). Orang yang memutuskan kasih sayang (Qathiul Rahim) dalam hadis shahih dijelaskan bahwa mereka ini tidak akan masuk surga. Sebagaimana sabda Rasul:

أخرج البخاري: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ قَالَ إِنَّ جُبَيْرَ بْنَ مُطْعِمٍ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ
(Dari Yahya bin Bukair dari al-Lais dari Uqail dari Ibn Syihab bahwa Muhammad bin Jubair bin Muth’im berkata bahwa ia mendengar Nabi SAW bersabda : pemutus kasih sayang tidak akan masuk surga).

Di hadis lain juga dijelaskan:

أخرج أحمد: حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنِي الْخَزْرَجُ يَعْنِي ابْنَ عُثْمَانَ السَّعْدِيَّ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ يَعْنِي مَوْلَى عُثْمَانَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ أَعْمَالَ بَنِي آدَمَ تُعْرَضُ كُلَّ خَمِيسٍ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ فَلاَ يُقْبَلُ عَمَلُ قَاطِعِ رَحِمٍ
(Dari Yunus bin Muhammad dari al-Khazraj (Ibn Usman al-Sa’diy dari Abi Ayub (Maula Usman) dari Abi Hurairah berkata : aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : Sungguh perbuatan Bani Adam (manusia) dilaporkan setiap kamis malam jum’at, maka tidak akan diterima perbuatan (baik) orang yang memutuskan kasih sayang).

Di samping kita meminta maaf dan memberi maaf, kita juga harus dan wajib sebisa mungkin menjadi pribadi pemaaf. Memberi maaf berbeda dengan pemaaf. Kalau memberi maaf itu terjadi ketika ada orang yang meminta maaf, sedang pemaaf adalah orang yang memberi maaf atas kesalahan orang lain sebelum orang tersebut meminta maaf kepadanya. Hal ini dengan tegas ada dalam surah Ali-Imran (3) ayat 134 :

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
(Penghuni surga adalah) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

Dengan demikian, mari kita jadikan Idul Fitri tahun ini berbeda dengan Idul Fitri di tahun-tahun sebelumnya karena kita telah memahami akan makna Idul Fitri. Dengan kita maksimalkan bersilaturahim untuk meminta maaf, memberi maaf dan menjadi seorang pemaaf. Jangan biarkan kedengkian dan kebencian merasuk kembali ke jiwa kita yang telah fitri (suci).

Jika Allah memuliakan hamba-Nya tak akan mungkin orang-orang kafir melecehkan. Itulah yang terjadi pada jaman Nabi dan para sahabat. Bukan saja Allah memuliakan mereka, orang kafir pun dibuat segan. Padahal ummat Islam saat itu masih ketinggalan di bidang ekonomi dan teknologi. Tetapi karena memiliki kekayaan di bidang aqidah, istiqamah, dan jihad, keunggulan pun mereka dapatkan.

Sekarang kekayaan apakah yang bisa membuat kita berwibawa dan tidak hina di hadapan Allah dan orang-orang kafir? Jawabannya, al Qur'an.

Tapi apakah arti al-Qur'an di depan orang-orang yang tidak yakin akan kemukjizatannya? Ibarat Musa yang menggenggam tongkat mukjizat, tapi ia sendiri masih ragu-ragu akan khasiatnya. Maka tongkat itu tak bermanfaat apa-apa dalam menghadapi ular-ular tukang sihir.

Orang yang yakin kebenaran al-Qur'an akan menampilkan bukti berupa membaca, mempelajari, memahami, menghayati dan mengamalkannya sesuai contoh perjalanan Nabi Muhammad saw.

Berguru kepada “madrasah” Ramadhan berarti berguru kepada al- Qur'an. Akrab dan bercumbu dengan Ramadhan berarti cinta kepada al-Qur'an. Karena al-Qur'an turun di bulan suci itu sebagaimana dikisahkan dalam surah al-Baqarah 185 yang telah dikutip di atas.*

Bagi muslim yang diterima puasanya karena mampu menundukan hawa nafsu duniawi selama bulan Ramadhan dan mengoptimalkan ibadah dengan penuh keikhlasan, maka Idul Fitri adalah hari kemenangan sejati, dimana hari ini Allah Swt akan memberikan penghargaan teramat istimewa yang selalu dinanti-nanti oleh siapapun, termasuk para nabi dan orang-orang shaleh, yaitu ridha dan magfirahNya, sebagai ganjaran atas amal baik yang telah dilakukannya. Allah Swt juga pernah berjanji, tak satupun kaum muslimin yang berdoa pada hari raya Idul Fitri, kecuali akan dikabulkan.

Pertanyaannya, kira-kira puasa kita diterima apa tidak? Atau yang kita lakukan ini hanya ritual-simbolik, sebatas menahan lapar dan haus, seperti yang pernah disinyalir Nabi Muhamad Saw? Jawabnya, Allahu ‘alam, kita tak tahu sejatinya. Tapi menurut para ulama, ada beberapa indikasi, seseorang dianggap berhasil dalam menjalankan ibadah puasa: ketika kualitas kesalehan individu dan sosialnya meningkat. Ketika jiwanya makin dipenuhi hawa keimanan. Ketika hatinya sanggup berempati dan peka atas penderitaan dan musibah saudaranya di ujung sana. Artinya penghayatan mendalam atas Ramadhan akan membawa efek fantastik, individu, maupun sosial.

Penghayatan dan pengamalan yang baik terhadap bulan ini akan mendorong kita untuk kembali kepada fitrah sejati sebagai makhluk sosial, yang selain punya hak, juga punya kewajiban, individu dan sosial. Sudahkan kita merasakannya? Itulah rahasia kenapa selamat hari raya Idul Fitri seringkali diakhiri dengan ucapan Minal ‘Âidîn wal Faizîn (Semoga kita termasuk orang-orang yang kembali pada fitrah sejati manusia dan mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat). Selain sebagai doa dan harapan, ucapan ini juga bak pengingat, bahwa puncak prestasi tertinggi bagi mereka yang menjalankan ibadah puasa paripurna, lahir dan bathin, adalah kembali kepada fitrahnya (suci tanpa dosa).


 

Makna Idul Fitri

Sejak Idul Fitri resmi jadi hari raya nasional umat Islam, tepatnya pada tahun II H. kita disunahkan untuk merayakannya sebagai ungkapan syukur atas kemenangan jihad akbar melawan nafsu duniawi selama Ramadhan. Tapi Islam tak menghendaki perayaan simbolik, bermewah-mewah. Apalagi sambil memaksakan diri. Islam menganjurkan perayaan ini dengan kontemplasi dan tafakur tentang perbuatan kita selama ini.

Syeikh Abdul Qadir al-Jailany dalam al-Gunyah-nya berpendapat, merayakan Idul Fitri tidak harus dengan baju baru, tapi jadikanlah Idul fitri ajang tasyakur, refleksi diri untuk kembali mendekatkan diri pada Alah Swt. Momen mengasah kepekaan sosial kita. Ada pemandangan paradoks, betapa disaat kita berbahagia ini, saudara-saudara kita di tempat-tempat lain masih banyak menangis menahan lapar. Bersyukurlah kita! Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1428 H. Mohon maaf lahir dan bathin.


http://www.hidayatullah.com/
http://www.unipdu.ac.id/90-memahami-kembali-makna-idul-fitri
http://razunet.abatasa.co.id/post/detail/21482/belajar-dengan-ramadlan
http://pustaka.abatasa.co.id/pustaka/detail/telaah/allsub/255/makna-idul-fitri.html
http://langitan.net/?p=54
http://rhosy18.blogspot.com/2011/08/hari-raya-idul-fitri-makna-dan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar