Kamis, 25 Juli 2013
Perbedaan Idul Fitri: Hisab, Ru’yah Lokal, dan Ru’yah Global
Perbedaan hari raya Idul Fitri yang terjadi selama ini sehingga ada yang merayakan di hari Jum’at dan ada yang di hari Sabtu (beda 28 jam) tak lepas dari perbedaan sistem penghitungan hari raya. Sebagai contoh, Arab Saudi dan negara-negara Arab yang kiblatnya adalah Ka’bah di Mekkah dan juga Malaysia serta Jepang hari Selasa ini sudah merayakan Hari Raya Idul Fitri pada tanggal 30 Agustus 2011. Sementara Indonesia baru merayakannya hari Rabu tanggal 31 Agustus 2011.
Ada yang memakai Hisab dengan perhitungan astronomi yang rumit, ada pula yang memakai Ru’yah atau melihat bulan / hilal. Jika bulan terlihat, itulah saat mulai berpuasa atau berbuka puasa (idul Fitri).
Dari hadits Nabi, yang dipakai sebenarnya adalah melihat bulan. Ummat zaman Nabi bukanlah astronomer atau ahli Falaq yang canggih. Mereka sederhana saja. Melihat bulan langsung.
”Dari Amir Mekkah, Al Harits Ibnu Hatib. Dia berkata, „Rasulullah SAW telah memerintahkan kami supaya puasa dengan melihat bulan. Jika kami tidak dapat melihat bulan itu, supaya kami puasa dengan kesaksian dua orang yang adil (yang melihat bulan).” (Riwayat Abu Daud dan Daruqutni).
Ada pun yang memakai sistem Hisab berpendapat mereka melihat bulan dengan memakai ilmu. Pegangan ummat Islam adalah Al Qur’an dan Hadits, jadi silahkan pilih mana yang mengikuti hadits dan mana yang berdasarkan pikiran sendiri. Hisab bisa dipakai sebagai alat bantu.
Ada pun sistem Ru’yah atau melihat bulan/hilal terbagi dua, Ru’yah Lokal dan Ru’yah Global.
Pada Ru’yah Lokal, tiap penduduk melihat bulan sendiri-sendiri, sehingga tiap kota atau tiap negara merayakan hari Idul Fitri sendiri-sendiri bisa berbeda satu negara dengan negara yang lain bahkan satu kota dengan kota yang lain. Mereka mengambil hadits gharib (asing yang diriwayatkan oleh hanya 1 orang) dari Kuraib. yang mengatakan bahwa dia dikirim oleh Ummul Fadli ke Syam (Damaskus) dan melihat bulan (awal Ramadan) pada malam Jum’at. Dia kembali ke Madinah pada akhir Ramadan. Ibnu Abbas mengatakan bahwa mereka harus melihat bulan (Ru’yah 1 Syawal) karena Ru’yah penduduk Syam (1ramadan) tidak cukup bagi penduduk Madinah begitu yang dikatakan Nabi.
Ada pun yang memakai Ru’yah Global begitu ada minimal 2 orang saksi yang dipercaya melihat bulan, maka itulah awal Ramadhan atau awal Syawal. Haditsnya adalah sebagai berikut:
Ibnu Umar telah melihat bulan. Maka diberitahukannya hal itu kepada Rasulullah SAW. Lalu Rasulullah SAW berpuasa dan beliau menyuruh orang-orang agar berpuasa pula” (Riwayat Abu Daud)
“Dari Amir Mekkah, Al Harits Ibnu Hatib. Dia berkata, Rasulullah SAW telah memerintahkan kami supaya puasa dengan melihat bulan. Jika kami tidak dapat melihat bulan itu, supaya kami puasa dengan kesaksian dua orang yang adil (yang melihat bulan).” (Riwayat Abu Daud dan Daruqutni).
Berpuasalah kamu sewaktu melihat bulan (di bulan Ramadan) dan berbukalah kamu sewaktu melihat bulan (di bulan Syawal). Maka jika ada yang menghalangi (mendung) sehingga bulan tidak kelihatan, hendaklah kamu sempurnakan bulan Sya’ban tiga puluh hari.” (Bukhari)
Jadi jangankan jika ada penduduk 1 negara berhari raya Idul Fitri, ada 2 orang saksi yang adil saja mereka juga turut merayakan Idul Fitri. Menurut paham Ru’yah Global tidak wajar jika ada penduduk 1 negara sudah merayakan hari raya Idul Fitri sementara yang lain masih berpuasa.
“Abu Said Al Khudri ra berkata: “Bahwasanya Rasulullah SAW melarang puasa dua hari, yaitu pada hari raya Idul Fitri dan Hari raya Idul Adha”(Bukhari-Muslim).
Di hadits yang lain ditambahkan bahwa barang siapa puasa pada Idul Fitri/Idul Adha berarti dia telah mendurhakai Nabi.
Dalam Ibadah Islam dikenal Miqat Makani (Tempat) dan Miqat ZAMANI (Waktu). Puasa pada hari Raya itu HARAM. Begitu pula saat Wuquf di Arafah (9 Dzulhijjah), harusnya di tempat lain orang-orang disunnahkan berpuasa. Jadi kalau dia berpuasa di tanggal 10 Dzulhijjah waktu Arafah, puasanya tidak sah. Oleh sebab itu penentuan tanggal tidak boleh asal-asalan.
Ada baiknya pemerintah Indonesia mengirim sebagian ulamanya untuk melihat Ru’yah di Mekkah. Bukan cuma dari Sabang sampai Merauke. Ka’bah adalah kiblat kita. Harusnya waktu Mekkah juga bisa jadi Kiblat penentuan tanggal Hijriyah di Indonesia. Meski waktunya tetap beda 4 jam, tapi tidak sampai 28 jam.
Umumnya Tim Ru’yah di Indonesia gagal melihat Hilal (bulan muda) karena memang langit berawan sehingga bulan muda sering tertutup awan. Selain itu Jawa yang merupakan pulau terpadat di dunia begitu terang oleh cahaya lampu-lampu gedung dan rumah-rumah sehingga langit juga terlihat lebih terang termasuk di Boscha. Akibatnya sinar-sinar bintang dan bulan terganggu dan terlihat kecil dan redup. Di Arab sebaliknya. Langit tidak berawan. Dengan luas darat yang lebih besar daripada Indonesia (2,4 juta km2) sementara jumlah penduduk cuma 1/5 pulau Jawa, banyak daerah tak bertuan yang tidak berlampu. Sehingga langit begitu hitam kelam, sementara bintang-bintang dan bulan jadi tampak lebih besar (sekitar 4-6x lipat daripada di Indonesia) dan lebih terang. Oleh karena itu, Hilal lebih mudah terlihat di sana.
Tak heran dengan langit yang cerah, banyak bintang-bintang dan rasi bintang yang namanya berasal dari Arab karena bangsa Arab yang melihat dan menemukannya:
http://id.wikipedia.org/wiki/Penamaan_bintang
Coba lihat nama-nama bintang seperti Aldebaran, Altair, Alphard, Betelgeuse, Deneb, Vega, dsb berasal dari bahasa Arab:
http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_Arabic_star_names
Jadi sulit bagi astronom Indonesia mengungguli astronom Arab mengingat kondisi langitnya beda sehingga untuk ukuran dunia saja bangsa Arab jauh lebih unggul.
Ada juga yang berhari raya Idul Fitri mengikuti Pemerintah. Sudahlah, daripada ribut-ribut dan beda-beda, ikuti saja pemerintah. Kalau dosa juga kan yang menanggung pemerintah. Dalilnya adalah ayat Al Qur’an yang memerintahkan kita agar mentaati ”Ulil Amri”
”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [An Nisaa’:59]
Yang lain menafsirkan bahwa yang pertama ditaati adalah Allah, kemudian Rasulnya. Setelah itu baru mentaati Ulil Amri dengan syarat Ulil Amri tersebut mentaati perintah Allah dan Rasul. Apalagi di depan kata Ulil Amri tidak ditambahkan kata ”Athi’u” (taatilah). Jika tidak, tidak wajib bagi Muslim mengikutinya. Jika mengikuti malah bisa tersesat:
”Dan mereka berkata;:”Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).” [Al Ahzab:67]
Jadi begitu ada yang mengaku telah melihat bulan, apalagi satu negara telah beridul Fitri, mereka segera mengikutinya.
Paham Ru’yah Global juga menyatakan bahwa ummat Islam itu satu dan tidak terpecah-belah jadi banyak negara kecil seperti sekarang berdasarkan ayat:
”Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara..” [Ali ’Imran:103]
Islam tidak mengenal batas atau pemisahan dengan banyak negara-negara kecil. Hanya ada satu negara Islam yang meliputi seluruh dunia.
Nabi mengatakan, ”Jika ada seorang pemimpin, dan kemudian ada seorang lagi yang mengaku sebagai pemimpin, maka bunuhlah yang terakhir.” Perintah ini begitu tegas dan keras untuk menjaga kesatuan negara Islam.
Pada zaman Nabi, para Khalifah (Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali) dan juga raja-raja Bani Umayyah (sebelum munculnya Daulah Bani Abbasiyah) hanya ada satu negara Islam.
Pada paham Ru’yah Lokal, mereka mengakui pemecahan Islam menjadi banyak negara seperti Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, Qatar, Kuwait, Arab Saudi, dsb. Tiap negara merayakan Idul Fitri sesuai dengan Ru’yah yang dilakukan masing-masing negara tersebut.
Ada yang menyatakan wajar jika Idul Fitri di Indonesia beda dengan di Arab Saudi. Sholat Dzuhur saja kita tidak bisa kan pakai waktu Arab.
Yang lain menyatakan bahwa beda waktu di Arab Saudi dengan Indonesia hanya 4 jam. Jadi seharusnya selisihnya hanya 4 jam. Bukan beda hari hingga 28 jam. Sebagai contoh, shalat Jum’at di Arab dan di Indonesia dilakukan pada hari yang sama, yaitu hari Jum’at. Hanya beda 4 jam. Kenapa hari Idul Fitri beda hari sampai 28 jam?
Jadi itulah sebab mengapa perayaan Idul Fitri berbeda-beda antar negara Islam. Kita sendiri wajib mencoba mengetahui yang benar berdasarkan dalil Al Qur’an dan Hadits, sebab bagaimana pun juga tiap-tiap orang akan dimintai pertanggung-jawaban masing-masing.
”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” [Al Israa”36]
Ijtihad manusia bisa berbeda-beda hasilnya. Meski demikian kita tetap harus bersatu dan menjaga ukhuwah Islamiyyah yang telah diperintahkan oleh Allah SWT
Allahlah yang maha mengetahui kebenarannya........... :)
sumber : http://syiarislam.wordpress.com/2011/08/30/selamat-hari-raya-idul-fitri/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Bagaimana mendefinisikan MASUKNYA AWAL BULAN, jika berdasarkan peredaran bulan ????
BalasHapusapakah utk bulan Ramadhan & 1 syawal (idul fitri) mengikuti definisi tersebut ??? mungkin utk dua hal tersebut merupakan keadaan khusus, karena merupakan bulan istimewa yg terikat pada sebuah dalil... (butuh kepastian)
Trima kasih...