Sebagaimana bau sampah, kisah tragis yang terjadi pada sebuah kamar hotel murahan itu pun cepat sekali berpindah telinga. Lalu tiba-tiba saja, seluruh kota sudah hafal jalan ceritanya. Sebuah peristiwa biasa kurasa. Seorang lelaki tua, dilaporkan oleh teman kencannya - seorang wanita panggilan, tewas ketika sedang berhubungan badan dengannya. Dan seperti biasanya pula, kita hanya menyoroti soal moral, yang mana adalah kelakuan bejat seorang lelaki tua yang doyan melakukan hubungan badan dengan pelacur, juga tentang obat kuat yang berbahaya. Tidak lebih dari itu.
Lalu suatu hari, aku bertemu dengan perempuan itu. Perempuan yang bekerja dengan tubuhnya. Lebih tepatnya alat kelaminnya. Dia tetanggaku. Rumahnya hanya berjarak tiga rumah dari kontrakanku. Saat peristiwa itu terjadi, perempuan yang sekarang sedang duduk di depanku, tidak pulang seharian. Kami yang berada satu lingkungan RT tahu bahwa dialah perempuan yang di atas perutnya kemarin malam ada lelaki tua yang terjemput maut. Setelah peristiwa itu, ramai orang berbisik-bisik jika bertemu dengannya.
“Ih, tidak terbayang aku bercinta dengan seorang kakek yang sudah bau tanah,” celoteh seseorang yang melintas di depan teras rumah. Yang di sampingnya bercakap pelan,”Bagaimana lagi? Saya hanya perlu uangnya.” Dan keduanya tertawa terkikik sambil melirik ke arah perempuan yang duduk di depanku. Aku duduk di hadapannya dengan kikuk. Sebab jika aku tersenyum, aku kuatir perempuan itu mengira aku ikut menertawai dirinya.
“Jadi bagaimana, Mbak?” Kembali aku menanyakan kepadanya soal bantuan yang hendak diterima olehnya sebagai warga kota yang tergolong miskin.
“Saya ini masih mampu bekerja, Mas. Coret saja nama saya dari daftar Mas itu,” kata-katanya terdengar agak ketus.
“Besar bantuan ini cukup layak lho, Mbak. Coba Mbak pikirkan sekali lagi.”
Uang sebanyak tiga ratus ribu sebulan memang tidak cukup untuk hidup di kota besar, tapi jika hanya untuk seorang diri saja masih layak lah. Apalagi rumah sudah punya dan masih bekerja juga. Tapi entah kenapa sepertinya dia sangat berat untuk mengiyakannya.
“Sekarang ini, mana ada yang menampik bantuan, Mbak. Ini bantuan dari yayasan tempat saya bekerja. Tidak ada imbalan atau manfaat apa pun yang hendak saya dapatkan dari pemberian bantuan ini.” Aku masih berusaha meyakinkan kepadanya akan niatan baik ini.
“Saya ini masih mampu bekerja, Mas. Coret saja nama saya dari daftar Mas itu,” kata-katanya terdengar agak ketus.
“Besar bantuan ini cukup layak lho, Mbak. Coba Mbak pikirkan sekali lagi.”
Uang sebanyak tiga ratus ribu sebulan memang tidak cukup untuk hidup di kota besar, tapi jika hanya untuk seorang diri saja masih layak lah. Apalagi rumah sudah punya dan masih bekerja juga. Tapi entah kenapa sepertinya dia sangat berat untuk mengiyakannya.
“Sekarang ini, mana ada yang menampik bantuan, Mbak. Ini bantuan dari yayasan tempat saya bekerja. Tidak ada imbalan atau manfaat apa pun yang hendak saya dapatkan dari pemberian bantuan ini.” Aku masih berusaha meyakinkan kepadanya akan niatan baik ini.
Dia hanya tersenyum. Senyuman yang manis. Pantas saja jika banyak lelaki yang terpikat kepadanya. Tiba-tiba aku teringat tentang lelaki yang tewas di atas perutnya itu. Bagaimana ceritanya mereka bisa bertemu? Perempuan ini berdiri di tengah jalan dan melambai ke arah mobil lelaki itu, atau lelaki itu sengaja keluar dari rumahnya untuk mencari perempuan seperti dia? Aku pun mendatanginya sekarang meskipun bukan untuk menggunakan jasanya. Aku tak habis pikir bagaimana pelacuran bisa dikategorikan pekerjaan jasa padahal yang terjadi adalah penghambaan manusia akan uang dan nafsu. Sok moralis! Demikian tuduhan temanku ketika aku menolak terlibat korupsi di kantor.
Demikian pula saat aku menolak ikut serta ke sebuah ruang karaoke yang sudah berisi beberapa perempuan setengah telanjang. Aku terlalu takut melakukan hal yang menurutku sendiri tidak pantas kulakukan.
Dosa? Aku tidak berpikir sejauh itu. Begini, untuk soal korupsi, aku merasa tidak pantas melakukan karena dulu waktu diterima bekerja di yayasan ini gajiku sudah ditentukan. Apabila aku melakukan korupsi maka aku akan mendapatkan uang yang lebih banyak dari gajiku. Sementara aku tidak bekerja lebih keras ataupun lembur. Lebih-lebih soal perempuan. Aku belum menikah, makanya aku merasa tidak pantas melakukan hal yang seharusnya kulakukan dengan istriku sendiri. Jadi bukan karena aku merasa perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh teman-temanku itu sebagai dosa.
Demikian pula saat aku menolak ikut serta ke sebuah ruang karaoke yang sudah berisi beberapa perempuan setengah telanjang. Aku terlalu takut melakukan hal yang menurutku sendiri tidak pantas kulakukan.
Dosa? Aku tidak berpikir sejauh itu. Begini, untuk soal korupsi, aku merasa tidak pantas melakukan karena dulu waktu diterima bekerja di yayasan ini gajiku sudah ditentukan. Apabila aku melakukan korupsi maka aku akan mendapatkan uang yang lebih banyak dari gajiku. Sementara aku tidak bekerja lebih keras ataupun lembur. Lebih-lebih soal perempuan. Aku belum menikah, makanya aku merasa tidak pantas melakukan hal yang seharusnya kulakukan dengan istriku sendiri. Jadi bukan karena aku merasa perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh teman-temanku itu sebagai dosa.
Dia masih tersenyum. Matanya menatap ke arah map yang aku letakkan di atas meja, penghalang antara aku dan dia, di teras ini.
“Bagaimana ya?” Dia bertanya sendiri, lalu melanjutkan bicara,”Biasanya lelaki datang kepadaku dengan berbagai alasan tetapi pada akhirnya mereka pasti minta imbalan.”
Setetes keringatku jatuh. Sejak awal menginjakkan kaki ke rumahnya, aku sudah menduga bahwa tuduhan seperti ini pasti akan terlontar olehnya. Aku pun tersenyum.
“Maaf. Jika terpaksa saya katakan tuduhan Mbak sama sekali salah. Saya tidak pernah menginginkan apapun dari Mbak,”tandasku.
“Dia juga pertama bilang seperti itu.”
“Dia? Dia siapa?”
“Laki-laki tua yang tewas di atas tubuhku,” lalu dua buah titik air matanya mengembang di pelupuk mata sebelum akhirnya luruh menjalur di kedua pipinya.
“Bagaimana ya?” Dia bertanya sendiri, lalu melanjutkan bicara,”Biasanya lelaki datang kepadaku dengan berbagai alasan tetapi pada akhirnya mereka pasti minta imbalan.”
Setetes keringatku jatuh. Sejak awal menginjakkan kaki ke rumahnya, aku sudah menduga bahwa tuduhan seperti ini pasti akan terlontar olehnya. Aku pun tersenyum.
“Maaf. Jika terpaksa saya katakan tuduhan Mbak sama sekali salah. Saya tidak pernah menginginkan apapun dari Mbak,”tandasku.
“Dia juga pertama bilang seperti itu.”
“Dia? Dia siapa?”
“Laki-laki tua yang tewas di atas tubuhku,” lalu dua buah titik air matanya mengembang di pelupuk mata sebelum akhirnya luruh menjalur di kedua pipinya.
Aku terdiam. Dari mulutku ingin terucap kata-kata aku beda dengan laki-laki itu, atau tidak semua laki-laki yang berbuat baik menginginkan sesuatu dari seorang perempuan. Tapi semuanya itu tertahan. Percuma ada pembelaan diri. Biarlah dia puas menumpahkan cengkunek di hatinya. Siapa tahu dari ceritanya aku mendapat ide naskah drama.
“Memang apa yang dijanjikan kepadamu?” Akhirnya aku ber-aku kamu kepadanya untuk menghilangkan kesenjangan di antara kami.
“Tidak. Dia tidak menjanjikan apa-apa. Dia cuma berkeluh tentang hidupnya.”
“Bukankah itu sudah biasa? Lelaki mengeluhkan tentang kehidupannya, terutama kehidupan cintanya untuk mendapatkan perhatian dari seorang perempuan.”
“Tidak. Tidak. Ini berbeda,” kedua belah telapak tangannya ditutupkan ke wajahnya. Rupanya dia masih trauma dengan kejadian itu.
“Dia bercerita tentang anjing, pelacur, dan surga.”
“Sepertinya aku pernah mendengar cerita itu,” kataku.
“Tentang pelacur yang masuk surga gara-gara memberi minum seekor anjing?” Dia bertanya.
“Ya. Benar. Cerita itu.”
Kali ini dia benar-benar menangis dan berkata,”Coba kau ceritakan kisah itu kepadaku.”
“Tidak. Dia tidak menjanjikan apa-apa. Dia cuma berkeluh tentang hidupnya.”
“Bukankah itu sudah biasa? Lelaki mengeluhkan tentang kehidupannya, terutama kehidupan cintanya untuk mendapatkan perhatian dari seorang perempuan.”
“Tidak. Tidak. Ini berbeda,” kedua belah telapak tangannya ditutupkan ke wajahnya. Rupanya dia masih trauma dengan kejadian itu.
“Dia bercerita tentang anjing, pelacur, dan surga.”
“Sepertinya aku pernah mendengar cerita itu,” kataku.
“Tentang pelacur yang masuk surga gara-gara memberi minum seekor anjing?” Dia bertanya.
“Ya. Benar. Cerita itu.”
Kali ini dia benar-benar menangis dan berkata,”Coba kau ceritakan kisah itu kepadaku.”
Sebenarnya, aku tidak begitu ingat cerita itu. Yang aku tahu, suatu ketika di sebuah daerah yang gersang ada seorang pelacur yang sangat kehausan. Dia berjalan jauh untuk mencari perigi. Lalu ketika dia hendak minum, tampak olehnya seekor anjing yang hampir mati kehausan. Pelacur itu berbaik hati, dengan tangannya dia memberikan air untuk anjing itu minum. Keduanya, setelah puas minum, tanpa sebab yang jelas menemui ajalnya. Ternyata karena kebaikannya memberi minum kepada anjing sekarat, pelacur itu masuk surga.
Kudengar dia terisak.
“Apa yang salah?”
“Tidak. Tidak ada. Kau pun tahu cerita itu, Mas. Aku senang sekali mendengar akhirnya. Pelacur itu masuk surga. Itu impian saya, Mas.”
“Lantas, apa hubungannya antara cerita itu dengan lelaki tua itu?” Selidikku.
“Dia bilang, dia adalah anjing yang sedang sekarat itu. Anjing yang sangat kehausan. Dan aku, katanya, adalah pelacur yang di tangannya ada segenggam air. Lalu dia mengatakan akan memilih mati di atas perutku. ”
“Dengan cerita seperti itu, kamu percaya begitu saja kepadanya?”
“Bukan. Bukan seperti itu. Hanya dialah lelaki yang menjanjikan surga kepadaku. Makanya malam itu, aku ingin sekali memuaskannya. Dan dia setuju. Kami sama-sama ingin masuk surga.”
Aku tersenyum. Betapa bodohnya perempuan ini. Betapa rapuhnya dia akan janji surga seorang lelaki. Aku ingin tertawa terbahak-bahak, tapi kuurungkan karena hal itu bisa merusak suasana.
“Apa yang salah?”
“Tidak. Tidak ada. Kau pun tahu cerita itu, Mas. Aku senang sekali mendengar akhirnya. Pelacur itu masuk surga. Itu impian saya, Mas.”
“Lantas, apa hubungannya antara cerita itu dengan lelaki tua itu?” Selidikku.
“Dia bilang, dia adalah anjing yang sedang sekarat itu. Anjing yang sangat kehausan. Dan aku, katanya, adalah pelacur yang di tangannya ada segenggam air. Lalu dia mengatakan akan memilih mati di atas perutku. ”
“Dengan cerita seperti itu, kamu percaya begitu saja kepadanya?”
“Bukan. Bukan seperti itu. Hanya dialah lelaki yang menjanjikan surga kepadaku. Makanya malam itu, aku ingin sekali memuaskannya. Dan dia setuju. Kami sama-sama ingin masuk surga.”
Aku tersenyum. Betapa bodohnya perempuan ini. Betapa rapuhnya dia akan janji surga seorang lelaki. Aku ingin tertawa terbahak-bahak, tapi kuurungkan karena hal itu bisa merusak suasana.
“Bukankah kamu memang selalu menjanjikan surga kenikmatan kepada semua laki-laki?” Terpaksa aku bertanya sedikit ketus kepadanya, sebab semua yang dia ceritakan benar-benar tidak masuk akal bagiku.
“Kamu salah menilai! Kemarin malam itu, pada telapak tanganku benar-benar muncul segenggam air. Namun lelaki tua itu ternyata bukan seekor anjing yang kehausan. Dia telah menipu aku.”
Aku mulai menganggap perempuan itu sedikit terganggu pikirannya karena cerita pelacur dan anjing itu. Namun perempuan ini rupanya masih ingin berkutat dengan cerita itu. “Ternyata ceritanya tentang surga itu benar, Mas.”
“Surga? Apakah kau sudah melihat surga?”
“Ya. Pada saat itu aku melihat langit-langit kamar terbuka. Ada tangga dari emas menjuntai. Aku dan lelaki itu sama-sama melihat ke atas. Pintu surga dari emas juga terbuka. Ada taman yang sangat indah.”
“Lalu apa yang terjadi?”
Aku sudah tak tahan mendengar kebohongan seperti ini. Yang mengejutkan, dia menatapku dengan mata yang berbinar. Ada apakah gerangan?
“Surga? Apakah kau sudah melihat surga?”
“Ya. Pada saat itu aku melihat langit-langit kamar terbuka. Ada tangga dari emas menjuntai. Aku dan lelaki itu sama-sama melihat ke atas. Pintu surga dari emas juga terbuka. Ada taman yang sangat indah.”
“Lalu apa yang terjadi?”
Aku sudah tak tahan mendengar kebohongan seperti ini. Yang mengejutkan, dia menatapku dengan mata yang berbinar. Ada apakah gerangan?
“Mas, aku tidak butuh bantuanmu. Uang dari yayasan itu sama sekali tidak menarik bagiku. Tetapi jika boleh, aku ingin minta tolong sekali ini saja.”
“Apa itu?” Tanyaku curiga. Jangan-jangan dia mulai menganggapku sama seperti lelaki tua itu, sebagai anjing yang kehausan yang bisa mengantarnya masuk surga.
“Carikanlah untukku seekor anjing yang sekarat karena kehausan.”
“Apa itu?” Tanyaku curiga. Jangan-jangan dia mulai menganggapku sama seperti lelaki tua itu, sebagai anjing yang kehausan yang bisa mengantarnya masuk surga.
“Carikanlah untukku seekor anjing yang sekarat karena kehausan.”
Juli, 2007.
Latar Belakang Kisah
Karena sifat murah hatinya kepada binatang seorang wanita yang selama hidupnya melacurkan diri akhirnya masuk syurga. Kisah ini hendaknya menjadi teladan bagi kita semua agar jangan pernah putus asa, mengharap kasih sayang dan ampunan Allah SWT.
Pada zaman kenabian isa as, banyak terjadi kerusakan karena ulah kaisar romawi yang zalim. Kelaparan dan kemiskinan merajalela di negeri palestina. Berbagai cara dilakukan oleh rakyat terutama para kaum miskin untuk melawan kelaparan dan kemiskinan itu.
Seorang ibu terpaksa menjual anaknya seperti menjual pisang goreng. Perampokan, Pembunuhan, Penganiyaan tak kenal peri kemanusiaan lagi. Sementara ketika nabi isa menyampaikan dakwahnya kepada rakyat, tentara romawi selalu mengejar-ngejar Beliau.
Sesekali nabi isa mengumpulkan para orang miskin itu, dan membagi-bagikan roti dan gandum kepada mereka. Namun tak urung para tentara romawi terus menggusur dan menganiaya mereka.
Kehidupan rakyat sudah benar-benar tak menentu. Laki-laki banyak sekali yang meninggalkan rumah dan keluarga mereka, entah pergi kemana. Pelacuran Tumbuh dimana-mana, setiap orang harus mempertahankan dirinya dari serangan lapar.
Suatu ketika terlihat seorang perempuan muda berjalan serseok-seok seolah menahan rasa letih. Sudah terlalu jauh ia menyusuri sepanjang jalan, untuk mencari sesuap nasi.
Menawarkan diri kepada siapa saja yang mau, meski dengan harga yang murah, perempuan muda itu terlihat terlalu tua dibandingkan dengan usia sebenarnya. Wajahnya Kuyu di guyur penderitaan panjang.
Ia tidak memiliki keluarga, kerabat, ataupun sanak saudara lainya. Orang-orang sekelilingnya menjauhinya. Bila bertemu dengan perempuan tersebut mereka melengos menjauhinya karena jijik melihatnya.
Namun perempuan itu tidak peduli, karena pengalaman dan penderitaan mengajarinya untuk bisa tabah. Segala ejekan dan cacimaki manusia diabaikanya. Ia berjalan Dan Berjalan, seolah tiada pemberhentianya.
Ia tak pernah yakin, perjalananya akan berakhir. Tapi ia terus berusaha melenggak-lenggok untuk menawarkan diri. Namun sepanjang itu Sunyi saja, sementara panas masih terus membakar dirinya.
Entah sudah berapa jauh ia berjalan, namun tak seorangpun juga yang mendekatinya. Lapar dan Haus terus menyerangnya. Dadanya terasa sesak dengan nafas yang terengah-engah kelelahan yang amat sangat. Betapa lapar dan hausnya dia.
Akhirnya sampailah ia disebuah desa yang sunyi. Desa itu sedemikian gersangnya hingga sehelai rumputpun tak tumbuh lagi. Perempuan lacur itu memandang ke arah kejauhan. Matanya nanar melihat kepulan debu yang bertebaran di udara. Kepalanya sudah mulai terayun-ayun dibalut kesuraman wajahnya yang kuyu.
Dalam pandangan dan rasa hausnya yang sangat itu. Ia Melihat sebuah sumur di batas desa yang sepi. Sumur itu ditumbuhi rerumputan dan ilalang kering yang rusak di sana-sini. Pelacur itu berhenti di pinggirnya sambil menyandarkan tubuhnya yang sangat letih. rasa hauslah yang membawa ia ke tepi sumur tua itu.
Sesaat ia menjengukan kepalanya ke dalam sumur tua itu. Tak tampak apa-apa, hanya sekilas air memantul dari permukaanya. Mukanya tampak menyemburat senang, namun bagaimana harus mengambil air sepercik dari dalam sumur yang curam?
Perempuan itu kembali terduduk. Tiba-tiba ia melepaskan stagenya yang mengikat perutnya, lalu dibuka sebelah sepatunya. Sepatu itu diikatnya dengan stagen, lalu di julurkanya ke dalam sumur. Ia mencoba mengais air yang hanya tersisa sedikit itu dengan sepatu kumalnya. betapa hausnya ia, betapa dahaganya ia.
Air yang tersisa sedikit dalam sumur itu pun tercabik, lalu ia menarik stagen perlahan-lahan agar tidak tumpah, namun tiba-tiba ia merasakan kain bajunya ditarik-tarik dari belakang.
Ketika dia menoleh, di lihatnya seekor anjing dengan lidahnya terjulur ingin meloncat masuk kedalam sumur itu. Sang pelacur pun tertegun melihat anjing yang sangat kehausan itu, sementara tenggorokannya sendiri serasa terbakar karena dahaga yang sangat.
Sepercik air kotor itu sudah ada di dalam sepatunya. kemudian dia akan meneguknya, Anjing itu mengibas-ngibaskan ekornya sambil merintih.
Pelacur itupun mengurungkan niatnya untuk mereguk air itu. Dielusnya kepala hewan itu dengan penuh kasih. Si Anjing memandangi air yang berada di dalam sepatu, lalu perempuan itu meregukan air hanya sedikit ke dalam mulut sang anjing, dan perempuan itu pun seketika terkulai roboh sambil tangannya memegang sepatu.
Melihat perempuan itu tergeletak tak bernafas lagi, sang Anjing menjilat-jilat wajahnya, seolah menyesal telah mereguk air yang semula akan direguk perempuan itu. Pelacur itu benar-benar meninggal.
Para malaikatpun turun kebumi menyaksikan jasad sang pelacur. Malaikat Raqib dan Atib sibuk mencatat-catat, sementara malaikat Malik dan Ridwan saling berebut. malik, si penjaga neraka sangat ingin membawa perempuan pelacur itu ke neraka.
Sementara Ridwan, si penjaga Syurga, mencoba mempertahankanya. Ia ingin membawa pelacur itu ke syurga. Akhirnya persoalan itu mereka hadapkan kepada ALLAH SWT. ”Ya Allah, sudah semestinya pelacur itu mendapat siksaan di neraka, karena sepanjang hidupnya menentang larangan Mu. ” kata Malik.
”Tidak ! ” bantah Ridwan. Kemudian Ridwan berkata kepada Allah, ” Ya Allah, bukankah hambaMu si pelacur itu termasuk seorang wanita yang ikhlas melepaskan nyawanya daripada melepaskan nyawa Anjing yang kehausan, sementara ia sendiri melepaskan kehausan yang amat sangat?”
Mendengar perkataan Ridwan, Allah lalu berfirman, ” Kau benar, wahai Ridwan, wanita itu telah menebus dosa-dosanya dengan mengorbankan nyawanya demi makhlukKu yang lain. Bawalah ia ke syurga, Aku meridhoinya..”
Seketika malaikat Malik kaget dan terpana mendengar Firman Allah itu, sementara malaikat Ridwan merasa Gembira. Ia pun membawa hamba Allah itu memasuki surga. lalu Bergemalah suara takbir, para malaikat berbaris memberi hormat kepada wanita, sang hamba Allah yang ikhlas itu.
Cerita sama dengan versi berbeda
Sesungguhnya, setiap orang beriman berhak atas surga. Tak peduli apa statusnya. Orang yang mulia atau mereka yang hina-dina. Karena surga adalah milik Allah, maka terserah kepada Allah, siapa yang diridhoi-Nya untuk masuk ke dalam surga-Nya itu. Dan Rasulullah SAW telah mengindikasikan bahwa seorang ahli ibadah tidak serta-merta mendapat jaminan akan masuk surga, karena surga lebih diutamakan bagi mereka yang mencintai Allah dengan sesungguh-sungguhnya kecintaan. Seperti juga kita, maka pastilah kita lebih suka kepada orang yang kita sukai untuk datang ke rumah kita, daripada mereka yang selalu memuja-muji kita – dengan niat bergelimang pamrih. Demikianlah juga Allah memilih mereka yang lebih dicintai-Nya. Dan Dia Maha Mengetahui akan segala yang tertampak pada lahir dan terbersit dalam batin….
Maka, hendaknya kita tidak jadi merasa heran saat mengetahui bahwa Allah telah memasukkan seorang pelacur ke dalam surga-Nya yang mulia. Karena Dia sungguh mengetahui apa-apa yang selayaknya dianugerahkan kepada hamba-hamba-Nya. Tapi, bagaimana ceritanya kok seorang pelacur bisa sampai masuk ke surga? Silakan menyimak riwayat berikut ini. Semoga menjadi pelajaran dan teladan bagi kita, untuk meraih ridho Allah.
Anjing kurap adalah makhluk Allah juga. Dan hanya Allah yang Maha Mengetahui apa-apa yang baik atau buruk.
Pada suatu hari, dalam suatu majelis, seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai, Rasulullah. Apakah hanya orang-orang ahli ibadah saja yang akan masuk surga?”
Dengan tegas Rasulullah menjawab, “Tidak. Sesungguhnya, seseorang itu masuk surga bukan semata-mata karena ibadahnya, melainkan karena ketulusan cintanya kepada Allah.”
Penasaran, orang itu bertanya lagi, “Apa itu berarti… hanya para aulia dan alim-ulama saja yang akan masuk surga?”
Rasulullah kembali menegaskan, “Tidak, bukan begitu. Karena sesungguhnya telah ada seorang pelacur yang masuk ke surga.”
Keruan saja semua yang hadir di majelis itu jadi kaget dan bertanya-tanya. Maka Rasulullah lalu menceritakan mengenai pelacur itu.
Suatu hari, di tengah suatu musim kemarau yang amat kering, tutur Rasulullah, ada seekor anjing liar yang hampir mati kehausan. Anjing ini amat buruk rupanya dan penuh kudis badannya. Karena amat hausnya, anjing itu sampai menjilat-jilat tanah lembab di depan rumah seorang ulama terkenal. Melihat makhluk menjijikkan itu, si ulama segera mengusirnya dan bahkan melemparinya dengan batu.
Pelacur dan anjing kurap adalah ciptaan Allah yang Maha Pengasih, maka kasihilah sebagaimana Allah juga mengasihi mereka.
Anjing itu lari ketakutan sampai ke luar desa, dan akhirnya – karena lelah dan kehausan – hewan malang itu ambruk di pinggir sumur. Nampaknya, tak ada harapan lagi buat anjing itu. Dia pasti mati kalau tidak segera mendapatkan minum.
Namun di saat kritis itu, lewat seorang pelacur. Ia melihat anjing itu, terbaring putus asa dengan lidah terjulur dan napas tersengal-sengal, dan ia merasa iba. Maka, ia lalu melepas terompahnya (alas kakinya) dan merobek gaunnya. Dengan sobekan gaun dan terompah itu ia lantas membuat timba untuk mengambil air dari sumur, lalu memberi anjing itu minum.
Setelah puas minum, anjing itu sehat kembali dan lantas pergi. Si Pelacur merasa gembira melihat anjing itu tidak jadi mati kehausan. Melihat apa yang telah diperbuat oleh hamba-Nya yang pelacur itu, Allah mengatakan kepada malaikatnya: “Catatlah hamba-Ku itu. Dia adalah salah satu hamba-Ku yang akan masuk surga pertama.”
“Subhanallah…!” puji orang-orang yang hadir dalam majelis itu, dengan harapan baru tumbuh dalam hati mereka akan kasih sayang Allah.
Dan kita… apa yang telah kita lakukan sehingga kita punya harapan untuk layak memperoleh anugerah sehebat itu dari Allah ?
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar