Halaman

Sabtu, 10 Agustus 2013

Tirakat dan Puasa

Puasa Obat Ajaib Galau.

Orang Jawa sering bilang jika ingin tinggi derajatnya harus banyak banyak tirakat. Tirakat itu ternyata berasal dari bahasa Arab"Al-Tarku’’ yang artinya meninggalkan. Dalam kontek ajaran Nabi Saw, tirakat berarti meninggalkan segala sesuatu yang tidak ada manfaatnya, sebagaimana Nabi Saw sampaikan di dalam hadinya yang artinya:’’sebagian dari sempurnanya islam seseorang, meninggalkan sesuatu yang tidak ada manfaatnya’’.

TIRAKAT WONG JAWA


Muntaha Ruhul Amin
Manusia jawa (tiyang Jawi) pada saat tertentu rela/mau dengan sengaja, menempuh kesukaran dan ketidaknyamanan untuk maksud-maksud ritual dalam budaya spiritualnya, yang berakar dari pikiran bahwa usaha-usaha seperti itu dapat membuat orang teguh imannya dan mampu mengatasi kesukaran-kesukaran, kesedihan dan kekecewaan dalam hidupnya melalui latihan keprihatinannya pada jalan tirakatnya. Mereka juga beranggapan bahwa orang bisa menjadi lebih tekun, dan terutama bahwa orang yang telah melakukan usaha semacam itu kelak akan mendapatkan pahala.

Tirakat kadang-kadang dijalankan dengan berpantang makan kecuali nasi putih saja (Mutih) pada hari senin dan kamis, dengan jalan berpuasa pada bulan puasa (Siyam) ada terkadang juga berpuasa selama beberapa hari (Nglowong) menjelang hari-hari besar Islam, seperti pada Bakda Besar (Bulan pertama menurut perhitungan orang Jawa), yaitu bulan Sura. Orang Jawa juga mempunyai adat untuk hanya makan sedikit sekali (tidak lebih daripada yang dapat dikepal dengan satu tangan) ngepel, untuk jatah makannya selama satu atau dua hari, atau adat untuk berpuasa dan menyendiri dalam suatu ruangan (ngebleng), bahkan ada juga yang melakukannya di dalam suatu ruangan yang gelap pekat, yang tidak dapat ditembus oleh sinar cahaya (patigeni).

Tirakat dapat juga dijalankan pada saat-saat khusus, misalnya pada waktu orang menghadapi suatu tugas berat, waktu mengalami krisis dalam keluarga, jabatan, atau dalam hubungan dengan orang lain, tetapi dapat juga pada waktu suatu masyarakat atau negara berada dalam suatu masa bahaya, pada waktu terkena bencana alam, epidemi dan sebagianya. Dalam keadaan seperti itu melakukan tirakat dapat dianggap sebagai tanda rasa prihatin yang dianggap perlu oleh orang Jawa bila seseorang berada dalam keadaan bahaya.

Bertapa ( Tapabrata )


Tapabrata dianggap oleh para penganut agami Jawi sebagai suatu hal yang sangat penting, Dalam kesusateraan kuno orang kuno, konsep tapa dan tapabrata diambil langsung dari konsep Hindu tapas, yang berasal dari buku-buku Veda. Selama berabad-abad para pertapa dianggap sebagai orang keramat, dan anggapan bahwa dengan menjalankan kehidupan yang ketat dengan disiplin tinggi, serta mampu menahan hawa nafsu, orang dapat mencapai tujuan-tujuan yang sangat penting. Dalam cerita-cerita wayang kita sering dapat menjumpai adanya tokoh pahlawan yang menjalankan tapa.

Orang jawa mengenal berbagai cara bertapa:

1. Tapa ngalong, dengan bergantung terbalik, dengan kedua kaki diikat pada dahan sebuah pohon.

2. Tapa nguwat, yaitu bersamadi disamping makam nenek moyang anggota keluarga, atau orang keramat, untuk suatu jangka waktu tertentu.

3. Tapa bisu, dengan menahan diri untuk tidak berbicara, cara bertapa semacam ini biasanya didahului oleh suatu janji.

4. Tapa bolot, yaitu tidak dan tidak membersihkan diri selama jangka waktu tertentu.

5. Tapa ngidang, dengan jalan menyingkir sendiri ke dalam hutan.

6. Tapa ngramban, dengan menyendiri di dalam hutan dan hanya makan tumbuh-tumbuhan

7. Tapa ngambang, dengan jalan merendam diri di tengah sungai selama beberapa waktu yang sudah ditentukan.

8. Tapa ngeli, adalah cara bersamadi dengan membiarkan diri dihanyutkan arus air di atas sebuah rakit.

9. Tapa tilem, dengan cara tidur untuk suatu jangka waktu tertentu tanpa makan apa-apa.

10. Tapa mutih, yaitu hanya makan nasi saja, tanpa lauk pauk.

11. Tapa mangan, dilakukan dengan jalan tidak tidur, tetapi boleh makan.

Ketiga jenis tapa yang tersebut terakhir, sebenarnya juga dilakukan oleh orang-orang yang hanya menjalankan tirakat aja, oleh karena itu batas antara tirakat dan tapabrata itu tidak begitu jelas. Walaupun demikian bahwa kita harus memperhatikan bahwa ke 11 jenis tapabrata itu jarang dilakukan secara terpisah, semua biasanya dijalankan dengan tata urut tersendiri, atau dilakukan dengan cara menggabung-gabungkan.

Oleh karena itu tapa semacam itu mirip dengan tapa pada orang hindu dahulu, sehingga dengan demikian ada suatu perbedaan fungsional antara tirakat dan tapabrata. Namun sering terjadi bahwa orang melakukan tapabrata bersamaan dengan samadi, dengan maksud untuk memperoleh wahyu. Tentu saja tujuan dari tapa semacam ini adalah untuk mendapatkan kenikmatan duniawian, akhirnya perlu disebutkan bahwa pada orang Jawa tapa merupakan salah satu cara penting dan utama untuk bersatu dengan Tuhan.

Meditasi atau Semedi.
Bahwa meditasi dan tapa adalah sama, serta perbedaan antara keduanya hanya terletak pada intensitas menjalankannya saja. Teknik-teknik serta latihan-latihan untuk melakukan meditasi ada bermacam-macam, yaitu dari yang sangat sederhana, seperti memusatkan perhatian pada titik-titik hujan yang jatuh ditanah, hingga yang sukar dan berat dijalankan, seperti menatap cahaya yang terang benderang dari dalam sebuah gua yang gelap ditepi pantai, dengan gemuruh ombak sebagai latar belakangnya, sambil berdiri dengan posisi yang sukar selama 12 jam berturut-turut.

Meditasi atau semedi memang biasanya dilakukan bersama-sama dengan tapabrata, orang yang melakukan tapa ngeli misalnya, tidak hanya duduk diatas rakitnya saja sambil bengong, tidak berbuat apa-apa, ia biasanya juga bermeditasi. Sebaliknya meditasi seringkali juga dijalankan bersama dengan suatu tindakan keagamaan lain, misalnya dengan berpuasa atau tirakat.

Maksud yang ingin dicapai dengan bermeditasi itu ada bermacam-macam, misalnya untuk memperoleh kekuatan iman dalam menghadapi krisis sosial ekonomi atau sosial politik, untuk memperoleh kemahiran berkreasi atau memperoleh kemahiran dalam kesenian, untuk mendapatkan wahyu, yang memungkinkannya melakukan suatu pekerjaan yang penuh tanggung jawab atau untuk menghadapi suatu tugas berat yang dihadapinya. Namun banyak orang melakukan meditasi untuk memperoleh kesaktian ( kasekten ) disamping untuk menyatukan diri dengan sang Pencipta.


Menurut Islam
Puasa sunnah di siang hari, dan menghidupkan malam merupakan bagian dari pola hidup Nabi Muhammad Saw. Sampai-sampai, di dalam pepatah orang arab dikatakan:”barang siapa yang ingin memperoleh tempat mulia harus banyak menghidupkan malam’’. Begitulah tradisi ulama dan ilmuan islam sejak jaman Nabi Saw, hingga sahabat dan ulama-ulama masa kini. Kerja keras, berdo’a dengan banyak sholat malam dan perutnya tidak terlalu kenyang.

Nabi Saw salah satu dari sekian banyak utusan Allah Swt yang paling demen puasa. Sebut saja, puasa ramadhan, rajab, syawwal, sya’ban, senin dan kamis, Dawud, dan puasa tiga bulan pada tanggal (12,13,14) setiap bulan. Nabi Saw tidak hanya menganjurkan, lebih dari itu Nabi Saw melaksanakan puasa tersebut dengan sebaik-baiknya.

Pernah suatu ketika Nabi Saw ditanya seputar puasa hari senin. Nabi-pun menjawab singkat:’’hari itu aku dilahirkan’’. Nabi Saw puasa hari senin karena bentuk rasa syukur atas kelahirnya. Sedangkan ketika beliau ditanya seputar puasa hari kamis, Nabi-pun menjawab:’’ saya paling suka ketika amal saya diangkat, aku dalam keadaan puasa’’. Artinya, setiap kamis sore, semua amal manusia oleh malaikat di angkat kelangit disetorkan dihadapan Allah Swt.

Terlepas dari itu semua. Puasa memiliki kekuatan tersendiri. Orang yang terbiasa galau, akan terasa tenang dan tentram jiwa dan pikirannya jika melaksanakan puasa sunnah. Dengan puasa sunnah, semata-mata mengikuti tuntunan Nabi Muhammad Saw, dan ihalas karena Allah Swt, semua persoalan akan mendapatkan pertolongan langsung dari Allah Swt. Orang yang berpuasa lebih mudah beinteraksi dengan Allah Swt, dari pada dengan orang yang tidak berpuasa. Nabi Saw ketika perang Badar, denan jumlah pasukan yang terbatas. Namun karena kondisi puasa, tuhan-pun mengirimkan balatentara yang terdiri para malaikat yang ikut andil di dalam mengalahkan pasukan Abu Jahal.

Puasa adalah obat ajaib dari segala macam pennyakit, baik penyakit fisik, maupun penyakit hati. Orang yang sering galau, stress, disinyalir akan kurangnya meditasi dengan puasa dan sholat malam. Orang yang sering resah, galau, gelisah, dan tidak terarah dalam hidupnya kurangnya pendekatan diri kepada Allah Swt. Dan puasa sunnah dan sholat malam satu-satunya cara paling ampuh dan teruji di dalam menyelesaikan urusan kegalauan hati dari berbagai urusan duniawi.

Banyak sekali data yang membuktikan bahwa puasa meningkatkan kejernihan pikiran dan hati, serta meningkatka ketajaman intuisi. Puasa sunnah dengan istikomah dapat menjadi alat dan modal utama di dalam mengarungi kehidupan. Dengan puasa istikomah, akan melahirkan kesabaran, serta percaya diri tinggi, serta tidak mudah putus asa di dalam menjalani roda kehidupan. Urusan bisnis, keluarga, kesehatan, ruhani, dan masa depan bisa dijalani dengan kekuatan mental dan ruhani yang penuh.

Galau….!Galau….bisa dihalau dengan puasa sunnah sesuai dengan ajaran islam dan tuntunan Nabi Muahmmad Saw. Jangan terlambat, jangan biarkan galau kalian menjadi stress dan kemudian berubah menjadi strok dan kadang jantung.

Usirlah galu itu dengan meditasi puasa sunnah, sebagaimana Nabi anjurkan dan dicontohkan. Tetapi, semua itu akan diraih dengan mudah, ketika niat benar semata-mata karena Allah Swt.
 

Puasa bukan Tirakat?

Dalam beberapa kasus, puasa sering identik atau tepatnya disamakan dengan “tirakat”, dan tirakat identik dengan riyadlah badaniyah, mutih, poso, topo atau yang lain dalam bahasa jawa. Istilah tirakat mungkin berakar dari kata “taraka” dalam bahasa arab, yang menunjuk pengertian meninggalkan, maksudnya meninggalkan keduniaan dunia. Tirakat itu adalah berlapar-lapar ria, berhaus-haus ria, dan bersusah-susah ria, yang semuanya bertujuan untuk melatih tubuh, jasad atau badan agar kebal dengan keadaan lapar, haus atau susah sengsara.

Memang dalam beberapa kasus, tirakat bertujuan lebih jauh dari riyadlah badaniyah. Menurut si pelaku, tirakat justru bertujuan riyadlah nafsiyah, sama dengan puasa. Ketika seseorang berpuasa, maka sesungguhnya ia telah bertirakat, meninggalkan segala yang membatalkan puasa dan pahala puasa. Puasa tidak hanya imsak dari makan, minum dan bersetubuh, tapi juga meninggalkan maksiat indra agar tidak membatalkan pahala puasa. Puasa tidak hanya sekedar berlapar-lapar ria atau berhaus-haus ria, namun hal itu untuk mengingatkan akan keadaan si miskin dan si fakir yang kelaparan sepanjang tahun. Puasa tidak hanya bersusah-susah ria, namun lebih dari itu, puasa adalah ajang latihan untuk mensucikan hati dan menghantarkan pada ketakwaan hati. Jadi puasa adalah riyadlah nafsiyah, sama dengan tirakat.

Nah, bagaimana sebenarnya al-Qur’an dan Hadits mengajarkan puasa dalam Islam? Apakah sama dengan tirakat? Apakah kesimpulan puasa sama dengan tirakat adalah hipotesis berdasarkan kajian atau tidak? Inilah polemik yang perlu kita bahas bersama.

Melalui beberapa analisis, mungkin akan membawa kita pada diskusi yang lebih mengarah. Analisa pertama, puasa adalah latihan.

ياآيها الذين آمنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون، أياما معدودات

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu puasa, sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa, yaitu pada hari-hari yang ditentukan.

Puasa adalah kewajiban bagi kita orang-orang yang percaya dan beriman yang wajib dilaksanakan pada hari-hari tertentu di bulan ramadhan yang di bulan ini diturunkan al-Qur’an.

شهر رمضان الذى أنزل فيه القرآن

Jadi puasa itu wajib hanya di satu bulan, bulan puasa, tidak selamanya, tidak satu tahun penuh, bahkan ada beberapa hari dimana puasa menjadi haram, sepertia hari lebaran. Fenomena apa ini?

Empat entry poin dalam ayat itu, pertama, puasa yang wajib, kedua, kewajiban puasa di bulan Ramadhan, ketiga, puasa tradisi agama sejak sebelum Nabi Muhammad Saw. dan keempat, tujuan puasa agar kita bertaqwa. Bila kita gabungkan, maka yang terlihat adalah bentuk tradisi latihan batiniyah atau riyadlah nafsiyah.

Puasa adalah imsak secara etimologi, imsak dari segala yang membatalkan puasa. Kegiatan imsak ini tidak harus dilakukan seorang mukmin sepanjang hidupnya, namun tertentu pada waktu yang ditentukan. Artinya, pada masa normal, seorang mukmin tidak diharuskan melakukan kegiatan imsak. Kegiatan imsak yang harus dilakukannya pada waktu tertentu itu, adalah sebagai “latihan” untuk menghadapi masa-masa normal berikutnya. Dan ketika bekal hidup terbaik adalah taqwa, maka taqwa adalah tujuan yang akan dicapai oleh orang yang melakukan imsak.

Jika memang puasa adalah latihan atau riyadlah, maka puasa adalah tirakat. Karena seorang atlit angkat besi pada masa latihan, ia akan bersusah-susah ria dalam latihannya agar dapat menunjukkan kemampuannya pada saat perlombaan. Latihan si atlit harus lebih berat dari beban yang akan dihadapinya disaat lomba berlangsung, bila si atlit mengikuti kejuaraan pada nomor 70 kg maka pada latihan ia harus mampu mengangkat beban 80 kg, dengan pertimbangan, bahwa si atlit pada saat perlombaan, tidak hanya menghadapi beban besi yang akan ia angkat, namun juga beban mental di hadapan para penonton dan juri.

Namun, berbeda dengan tirakat, puasa ternyata mempunyai sisi lain. Rasul pernah mendeskripsikan puasa sebagai aktifitas yang menyehatkan. Deskripsi sehat tentu kontras dengan susah yang ada dalam tirakat, kecuali kalau sehat yang dimaksudkan oleh Nabi adalah tujuan dari puasa itu, sebagaimana slogan “berakit-rakit kehulu, berenang-renang ketepian”. Pada saat seseorang berpuasa, tentu ia susah, namun ia akan mendapatkan kesehatan setelah ia merampungkan pauasanya sesuai ketentuan. Sepintas, menurut deskripsi ini, puasa adalah riyadlah badaniyah, sama dengan tirakat.

Bingung?, menurut anda tulisan ini berputar-putar?, sebenarnya sama atau tidak, puasa dengan tirakat? Pembahasan menjadi ruwet karena dua kesalahan; pertama, analisa mengambang dari penulis tentang tirakat, apakah ia riyadlah nafsiyah atau sebatas badaniyah? Dan kedua, dualisme tujuan dari puasa, di satu sisi ia riyadlah nafsiyah dan di sisi lain ia sebatas riyadlah badaniyah.

Sebenarnya, rumusan dua kesalahan inilah yang menampakkan gambaran dari posisi tirakat terhadap puasa, yaitu; hubungan umum-khusus. Tirakat adalah kegiatan imsak secara umum dengan bentuk, pola yang beragam sesuai dengan metodologi si pelaku dalam rangka mencapai tujuan tirakatnya. Sedangkan puasa adalah bentuk imsak yang khusus dengan bentuk, pola dan syarat-syarat yang tertentu dalam syari’at islam. Karena itu, dapat disimpulkan bahwa setiap puasa adalah tirakat, namun tidak setiap tirakat adalah puasa. Namun menurut rumusan di atas, tidak sesederhana ini, karena bentuk riyadlah dari tirakat tidak sama dengan puasa, baik badaniyah ataupun nafsiyah-nya, karena tujuan lahiriyah tirakat bersifat umum pula daripada tujuan lahiriyah puasa, demikian juga tujuan batiniyahnya.

Analisa kedua; pada klasifikasi puasa. Dalam sebuah riwayat, dilaporkan bahwa Nabi membagi puasa pada tiga kelas; pertama, puasa orang awam, dimana puasa dilakukan hanya untuk menggugurkan kewajiban, seseorang berpuasa, namun ia tidak mendapatkan apapun dari aktifitas puasanya, kecuali lapar dan haus. Kedua, puasa golongan khusus, yaitu puasa yang dilaksanakan dengan dua tujuan sekaligus, lahiriyah dan batiniyah. Dan ketiga, puasa lebih khusus dari golongan khusus, yaitu puasa yang dilakukan tidak dengan tujuan apapun, kecuali lillahi ta’ala.

Dari laporan ini, kesamaan puasa dengan tirakat ada pada kelas pertama, jika tirakat ditujukan hanya sekedar untuk mencapai tujuan lahiriyah saja, yaitu puasa orang awam. Dan ada pada kelas kedua, jika memang tirakat dimaksudkan untuk mencapai tujuan batiniyah yang sama dengan puasa. Namun tirakat tidak dapat disamakan dengan puasa pada kelas ketiga, karena tirakat, walau bagaimana, adalah kegiatan yang sengaja dilakukan dengan tujuan “tertentu”, selain mungkin lillahi ta’ala.

Klasifikasi puasa pada kelas-kelas itu dimaksudkan oleh Nabi Saw untuk mengakomodir secara hukum syar’i keafsahan setiap kelas puasa. Artinya puasa kelas pertama yang hanya bertujuan menggugurkan kewajiban dapat dinilai sah dan legal secara syara’. Namun sesungguhnya, setiap muslim seyogyanya mengejar puasa kelas ketiga, dimana “puasa sama sekali bukan tirakat”.

Wallahu a’lam bisshawab.

Sumber :
http://abdurrahmanbinsaid.wordpress.com/2008/10/09/puasa-bukan-tirakat/
http://lenteradankehidupan.blogspot.com/2012/05/puasa-meningkatkan-kejernihan-pikiran.html
http://dariislam.blogspot.com/2009/10/tirakat-wong-jawa.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar