Halaman

Jumat, 23 Agustus 2013

Daripada Galau, Lebih Baik Lakukan Hal Yang Bermanfaat, Koreksi diri


Menepis Kegalauan Hati Dikala Masih Harus Menanti 

Si fulanah A mulai memikirkan desain tempat untuk resepsi pernikahannya beberapa bulan lagi. Fulanah B dengan berbinar-binar memilih baju pengantinnya di toko busana muslimah. Fulanah C asik mendaftar orang-orang yang akan diundang dalam resepsinya, fulanah D rajin baca buku-buku tentang pernikahan, hak dan kewajiban suami istri, pendidikan anak dalam Islam, juga mendengarkan kajian, tanya ini dan itu ke ibu-ibu yang lebih senior, kemudian Fulanah E hingga Z semua sibuk dengan segala serba-serbi persiapan menjelang pernikahan.

Alhamdulillah…turut senang rasanya mendengar kabar fulanah A hingga Z sebentar lagi melepas status gadis mereka menuju mahligai pernikahan. Apalagi fulanah A berusaha mempersiapkan tempat resepsi dengan disain sedemikian rupa sehingga aman dari ikhtilat dan pandangan lawan jenis. Fulanah B memilih pakaian pengantin yang tetap sesuai dengan syarat-syarat pakaian muslimah atau setidaknya meminimalisir riasan meski perlu usaha keras untuk mendapat persetujuan baik dari orangtuanya maupun dari calon mertuanya. Fulanah C mengundang semua kerabat dan teman-teman yang sekiranya dapat diundang tanpa memilah-milih status sosial dan ekonomi mereka. Fulanah D berusaha keras mempelajari hal-hal yang harus dimengerti dan akan dijalaninya esok, walaupun selama ini tidak jarang dia mendapati pengetahuan tersebut baik melalui buku-buku, ceramah para ustadz, maupun obrolan dengan teman-teman yang shalih, tapi dia merasa perlu mengulang dan menggali kembali ilmu-ilmu tersebut. Fulanah F hingga Z, semua memberi inspirasi, juga menjadi bahan evaluasi diri, namun juga terkadang membuat hati jadi galau…

Termotivasi untuk menikah hingga kadar tertentu adalah suatu anugerah yang sangat indah dari Allah Ta’ala. Menyadari bahwa pernikahan antara laki-laki dan perempuan adalah salah satu tanda kekuasaan Allah Ta’ala, sebagaimana firman-Nya,

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”(QS. Ar-Ruum:21)

Berbesar hati dengan syari’at menikah dan tidak membencinya sebagai bentuk realisasi iman kita kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjadikan kita termasuk golongan yang berada di atas sunnahnya, serta motivasi untuk meraih berbagai pahala dalam rumah tangga, diperolehnya keturunan yang shalih dan mendo’akan orang tuanya, terwujudnya keluarga yang menegakkan syari’at Islam dan lain sebagainya menjadikan seseorang yang masih lajang berkeinginan untuk segera menikah. Waah..senangnya ya sudah dipinang, senangnya proses menuju pernikahannya demikian mudah, senang ya demikian…dan demikian. Keadaan seseorang yang tidak kunjung menikah, dan pikirannya terlalu disibukkan dengan hal tersebut dikhawatirkan menjadikan hati malah jenuh dan berpaling menjadi kegalauan. Sedih ya…kok belum ada juga jodoh yang datang, sedih ya…teman-teman sebaya, bahkan yang usianya lebih muda telah merasakan indahnya pernikahan…hingga mencapai kadar galau yang berlebihan, iri terhadap orang lain, putus asa dan bersempit hati, maka sudah barang tentu hal tersebut mengancam kesehatan jiwa dan agama seseorang.

Iri terhadap orang lain merupakan suatu hal yang dilarang dalam Islam, kecuali terhadap dua hal sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ حَسَدَ إِلَّا عَلَى اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الكِتَابَ، وَقَامَ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ، وَرَجُلٌ أَعْطَاهُ اللَّهُ مَالًا، فَهُوَ يَتَصَدَّقُ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ

“Tidak ada iri kecuali untuk dua jenis manusia: Seorang yang Allah berikan kepadanya Al Qur-an (hafal Al Qur-an), membacanya ketika shalat di waktu malam dan di waktu siang, dan yang kedua adalah seorang yang Allah berikan padanya harta yang melimpah, lalu dia membelanjakannya dalam ketaatan baik di waktu malam maupun di waktu siang.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Iri di sini maksudnya adalah ghibthah, yaitu berangan-angan agar dapat semisal dengan orang lain tanpa berharap hilangnya nikmat itu dari diri orang tersebut.

Lantas bagaimana jika ghibthah itu kita tujukan pada pernikahan teman-teman kita? Maka mungkin perlu kita tinjau ulang hal apa yang membuat kita iri, jangan-jangan hanya sekedar ingin ikut-ikutan agar senasib dan sama statusnya dengan teman-teman yang telah menikah, atau iri ingin mendapat suami yang kaya seperti Fulanah X supaya hidup enak, atau yang populer supaya ikut populer, atau yang tampan, ningrat dan lain sebagainya tanpa memperhatikan bagaimana agamanya, maka hal ini tentunya tidak akan membuahkan kebaikan bagi diri kita.

Sebagaimana diceritakan oleh Sufyan bin Uyainah-seorang ahli hadits, tentang dua orang saudaranya, Muhammad dan ‘Imran. Saudaranya yang bernama Muhammad ingin menikahi wanita yang tinggi martabatnya karena motivasi supaya dirinya dapat meraih martabat yang tinggi, namun justru Allah berikan kehinaan bagi dirinya. Sedangkan saudaranya yang bernama ‘Imran ingin menikahi wanita kaya karena motivasi harta wanita tersebut, maka akhirnya Allah pun menimpakan musibah padanya. Mertuanya merebut semua hartanya tanpa menyisakan sedikitpun untuknya.

Apakah kita mau merasakan betapa pahitnya nasib kedua saudara ibnu Uyainah ini? Adapun jika niat menikah itu memang baik, maka semoga ghibthah tersebut dapat menjadi motivasi untuk menempuh sebab-sebab syar’i dalam rangka menggapai pernikahan yang Allah ridhai. Imam An-Nawawi rahimahullah dalam kitabnya At- Tibyan fii Adabi Hamalatil Qur’an berkata, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa,

إنما يعطى الرجل على قدر نيته

“Seseorang diberi sesuai kualitas niatnya.”

Dengan meluruskan niat kita untuk menikah tentu akan membuat kita senantiasa memperhatikan rambu-rambu syari’at demi terwujudnya keridhaan Allah Ta’ala, meski Allah mentaqdirkan kita untuk tidak segera menikah.

Mungkin berbagai usaha dan sebab-sebab yang dituntunkan syari’at untuk mempermudah perjodohan telah dilakukan, namun hambatan dan kegagalan itu masih menghadang di depan mata, sehingga akhirnya hati pun merasa sempit dan berputus asa. Dalam keadaan yang demikian ada baiknya kita tengok kegagalan dari saudari-saudari kita dan renungi betapa apa yang kita alami tidak seberapa, betapa nikmat Allah yang masih bisa kita rasakan demikian besarnya dibanding kegagalan untuk segera menikah yang dianggap buruk dalam pandangan sebagian manusia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewanti-wanti kita dalam sabdanya:

انظروا إلى من أسفل منكم، ولا تنظروا إلى من هو فوقكم، فهو أجدر أن لا تزدروا نعمة الله عليكم

“Lihatlah orang yang lebih rendah dari kalian, dan jangan melihat orang di atas kalian, maka itu lebih layak untuk kalian agar tidak memandang hina nikmat yang Allah anugerahkan kepada kalian.” (HR. Muslim)

Kalaulah hingga saat ini kita masih menanti jodoh, maka kita lihat saudari-saudari kita yang jauh lebih dahulu menanti jodoh namun hingga saat ini masih belum datang juga jodoh yang dinanti. Kalaupun kita pernah gagal menjalani proses di awal perjodohan, maka ada di antara saudari kita yang gagal di ambang pintu pernikahan. Kalau ternyata kita termasuk yang merasakan pahitnya kegagalan di ambang pintu pernikahan, maka bukankah kita masih merasakan betapa Allah membukakan banyak pintu-pintu kebaikan lainnya untuk diri kita? Yakinlah bahwasanya pilihan Allah itu lebih baik dari pada pilihan kita.

Oleh karena itu janganlah sempit hati dan putus asa meliputi hari-hari kita sampai-sampai kita lupa akan kewajiban kita sebagai seorang hamba, kewajiban kita terhadap diri kita sendiri, demikian juga kewajiban kita sebagai seorang anak, atau kewajiban sebagai mahasiswa, bahkan kewajiban sebagai penghuni kos misalnya. Padahal dengan menunaikan kewajiban, sekalipun dalam perkara dunia jika kita niatkan untuk meraih ridha Allah maka akan membuahkan pahala, sebagaimana perkataan sebagian ahli ilmu, “Ibadahnya orang yang lalai itu bernilai rutinitas, dan rutinitas orang yang berjaga (dari lalai) itu bernilai ibadah.” (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Dar Ats-Tsuraya, th. 1424 H. hal. 13)
Allah Ta’ala juga memerintahkan kita untuk bersungguh-sungguh menyelesaikan tugas demi tugas,

فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ ( ) وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ

“Maka apabila kamu telah selesai (dalam suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain. Dan hanya kepada Rabb-mu lah hendaknya kamu berharap.” (QS. Al-Insyirah: 7-8).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan ayat ini, “Maka jadikanlah kehidupanmu kehidupan yang penuh dengan kesungguhan, apabila engkau telah selesai mengerjakan urusan dunia, maka kerjakanlah urusan akhirat, dan jika engkau telah selesai mengerjakan urusan akhirat, maka kerjakanlah urusan dunia. Jadilah engkau bersama Allah ‘Azza wa Jalla sebelum mengerjakan tugas dengan memohon pertolongan-Nya, dan setelah mengerjakan tugas dengan mengharapkan pahala-Nya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Juz ‘Amma, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, cet. III, Dar Ats-Tsuraya, th. 1424 H. hal.255)

Adakalanya kita dapat menepis seluruh kegalauan hati, namun terkadang juga masih ada keresahan-keresahan yang menyibukkan pikiran kita. Mungkin hal itu terjadi karena masih adanya waktu luang yang tidak kita manfaatkan. Jiwa manusia memang senantiasa dalam salah satu dari dua keadaan, bisa jadi jiwa ini disibukkan dengan ketaatan kepada Allah, namun jika tidak, maka jiwa itu justru yang akan menyibukkan pemiliknya. (Nashihaty Linnisaa, Ummu ‘Abdillah binti Syaikh Muqbil bin Hady Al-Waadi’i, cet. I, Dar Al-Atsar, th. 1426 H. hal. 20)

Syaikh ‘Abdurrazaaq bin ‘Abdil Muhsin Al-Badr hafidzahullah memiliki resep jitu yang beliau kumpulkan dari petunjuk Allah Ta’ala dan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjaga kondisi keimanan kita. Beliau menjelaskan sebab-sebab yang dapat meningkatkan iman di antaranya5:
Mempelajari ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu agama yang diambil dari kitabullah dan sunnah rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, bisa dengan membaca Al Qur-an dan mentadabburinya, mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala, merenungi perjalanan hidup nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, merenungi ajaran-ajaran luhur agama ini, membaca perjalanan hidup salaful ummah, dan lain sebagainya. Namun ilmu itu sendiri bukanlah tujuan, melainkan sarana agar dapat diamalkan dalam bentuk beribadah kepada Allah Ta’ala, bukan untuk tujuan lainnya.
Merenungi ayat–ayat kauniyah Allah yang ada pada makhluk-Nya
Bersungguh-sungguh dalam beramal shalih serta memurnikannya untuk mengharap wajah Allah semata, baik berupa amalan hati, lisan, maupun anggota badan.

(Asbabu Ziyadatil Iman wa Nuqshanihi, ‘Abdurrazaq bin ‘Abdil Muhsin Al-Badr, cet. II, Maktabah Dar Al-Manhaj, th. 1431 H)
Adapun sebab-sebab yang dapat mengurangi iman dibagi menjadi dua faktor yaitu faktor dari dalam berupa kebodohan, lalai, berpaling dan lupa, mengerjakan maksiat dan berbuat dosa, serta nafsu yang menyeru pada keburukan. Sedangkan sebab dari luar berupa syaitan, dunia dan fitnahnya, serta teman-teman yang buruk. Semoga dengan mengetahui sebab-sebab tersebut, kita dapat lebih waspada dan berusaha mengamalkannya agar terjaga dari keterpurukan iman bagaimana pun kondisi kita. Bukankah gagal menikah masih lebih baik dibanding gagal mengabdikan diri kepada Allah?

Terakhir mari kita renungkan perkataan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah ketika menafsirkan ayat “alam nasyrah laka shadrak” (Al-Insyirah: 1),

“Manusia yang Allah lapangkan dadanya untuk menerima hukum kauni, akan engkau dapati dia ridha terhadap ketentuan dan taqdir-Nya, dan merasa tenang terhadap hal itu. Dia berkata: ‘Aku hanyalah seorang hamba, dan Allah adalah Rabb yang melakukan apa yang dikehendaki-Nya, orang yang berada dalam kondisi seperti ini akan senantiasa dalam kebahagiaan, tidak sedih dan berduka, dia merasa sakit namun tidak sampai menanggung kesedihan dan duka cita, dan untuk hal yang demikian telah datang hadits shahih bahwasanya Nabi shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَلِكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ، وَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، وَكَانَ خَيْرًا لَهُ

“Sungguh mengagumkan keadaan seorang mukmin, sesungguhnya seluruh perkaranya itu baik, tidak ada yang mendapati keadaan seperti itu kecuali bagi seorang mukmin, apabila keburukan menimpananya, dia pun bersabar maka itu menjadi kebaikan baginya, dan apabila kebahagiaan meliputinya, dia pun bersyukur maka itu menjadi kebaikan baginya.”” (Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Juz ‘Amma, hal.247)


Tanyakan Pada Hatimu

Tanyakanlah pada hatimu, apakah yang kamu kerjakan termasuk bagian dari kebaikan ataukah bukan? Apakah dia termasuk bentuk ketaatan kepada Allah Ta’ala dan RasulNya ataukah bukan? Atau justru perbuatan tersebut akan mendatangkan murka Allah Ta’ala dan RasulNya.

Maka tanyakanlah semua itu pada hatimu…

Kebaikan adalah apa saja yang dapat menenangkan hatimu dan menentramkan jiwamu, sedangkan keburukan adalah apa saja yang membuatkan hatimu ragu dan tidak tenang.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dari sahabat An-Nawwas bin Sam’an radhiyallahu ‘anhu ,

البر حسن الخلق , و الإثم ما حاك في نفسك و كرهت أن يطلع عليه الناس

“Kebaikan adalah akhlak yang baik, sedangkan dosa adalah apa saja yang meragukan jiwamu dan kamu tidak suka memperlihatkannya pada orang lain.” (HR. Muslim)

Dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain,

عن وابصة بن معبد رضي الله عنه قال : أتيت رسول الله صلى الله عليه و سلم , فقال: جئت تسأل عن البر؟ قلت: نعم. قال: استفت قلبك. البر مااطمأن إليه النفس واطمأن إليه القلب. والإثم ماحاك في النفس و تردد في الصدر وإن أفتاك الناس وأفتوك.

Dari Wabishah bin ma’bad radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: Aku datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau berkata: “Kamu datang untuk bertanya tentang kebaikan?” Aku menjawab: benar. Kemudian beliau bersabda(artinya): “Mintalah fatwa kepada hatimu. Kebaikan adalah apa saja yang menenangkan hati dan jiwamu. Sedangkan dosa adalah apa yang menyebabkan hati bimbang dan cemas meski banyak orang mengatakan bahwa hal tersebut merupakan kebaikan.” (HR. Ahmad (4/227-228), Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (22/147), dan Al Baihaqi dalam Dalaailun-nubuwwah (6/292))

Syaikh ‘Utsaimin menjelaskan makna hadits di atas bahwa yang dimaksud dengan al birru adalah kebaikan yang banyak. Sedangkan yang dimaksud dengan akhlak yang mulia adalah seseorang senang jiwanya, lapang dadanya, tentram hatinya, dan baik pergaulannya. Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya), “Sesungguhnya kebaikan adalah akhlak yang baik.” Maka jika seseorang mempunyai akhlak yang baik terhadap Allah dan hamba Allah maka ia akan memperoleh kebaikan yang banyak, dadanya lapang terhadap Islam, hatinya menjadi tenang dengan iman, dan bergaul dengan manusia dengan akhlak yang baik. (Syarhul Arba’in An Nawawiyyah)

Adapun dosa, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa ia adalah, “Apa saja yang meragukan dalam hatimu.” Ketika itu beliau berbicara kepada An-Nawwas bin Sam’an, salah seorang sahabat yang mulia. Tidak ada sesuatu yang meragukan dan tidak menenangkan jiwanya kecuali perbuatan dosa. Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya), “Apa saja yang meragukan jiwamu dan kamu tidak suka untuk memperlihatkannya kepada orang lain.”

Sementara orang-orang fasik dan durhaka, maka perbuatan dosa tidaklah membuat keraguan dalam jiwa mereka, dan mereka juga tidak membenci untuk memperlihatkan perbuatan dosanya kepada orang lain. Bahkan sebagian mereka merasa bangga dengan perbuatan dosa yang mereka lakukan. Akan tetapi, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di sini berbicara tentang seseorang yang lurus hatinya. Sesungguhnya orang yang lurus hatinya, jika dia ingin melakukan keburukan maka jiwanya akan ragu dan dia benci perbuatannya diketahui orang lain. Oleh karena itu maka tolak ukur yang telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlaku untuk orang-orang yang baik dan lurus hatinya. (Syarhul Arba’in An Nawawiyyah)

Imam An Nawawi mengatakan dalam menjelaskan makna hadits ini bahwa hadits ini merupakan dalil bahwa setiap orang hendaknya melihat kembali hatinya ketika dia akan melakukan suatu pekerjaan. Jika jiwanya menjadi tentram ia akan melakukannya, dan jika jiwanya menjadi tidak tentram maka ia tinggalkan perbuatan tersebut. (Syarhul Arba’in An Nawawiyyah)

Di antara pelajaran penting yang terkandung dalam hadits di atas sebagaimana telah disebutkan oleh syaikh Utsaimin rahimahullah adalah:
  1. Keutamaan akhlak mulia, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan akhlak yang mulia sebagai sebuah kebaikan.
  2. Timbangan perbuatan dosa adalah ketika jiwa merasa ragu dan hati menjadi tidak tenang.
  3. Seorang mukmin tidak suka aib-aibnya diketahui orang lain. Hal ini bertolak belakang dengan orang yang tidak punya malu, ia tidak peduli jika aib-aibnya diketahui oleh orang lain.
  4. Seseorang hendaknya melihat kepada hatinya, bukan apa yang difatwakan oleh orang lain. Karena terkadang orang-orang yang tidak berilmu berfatwa kepadanya, akan tetapi hatinya masih ragu dan tidak menyukainya. Jika demikian maka hendaknya dia tidak mengembalikan perkaranya terhadap fatwa orang yang tidak berilmu, akan tetapi hendaknya ia kembalikan kepada apa yang ada pada dirinya.
  5. Selagi seseorang mampu untuk melakukan ijtihad maka ia tidak boleh melakukan taklid. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya): “Meskipun orang-orang memberi fatwa kepadamu dan mendukungmu.”


Wallahu Ta’ala A’lamu bish showwab

***
Artikel muslimah.or.id
Penulis: Ummu Zaid Wakhidatul Latifah
Murajaah: Ust Ammi Nur Baits

Referensi:

Syarh Al Arba’in An Nawawiyyah, Majmu’ Ulama, cetakan pertama tahun 2005, Darul Mustaqbal, Mesir.

Syarh Al Arba’in An Nawawiyyah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Daarul ‘Aqidah, Mesir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar