Halaman

Jumat, 12 Juli 2013

Misteri Seorang Ksatria Nusantara, Gajah Mada

7 abad sejak kebesaran namanya berkibar di seantero negeri, hampir semua orang Indonesia tahu nama tokoh besar Gajah Mada, seorang mahapatih Majapahit yang pertama kalinya mempersatukan Nusantara.

Riwayat Sang Patih ini menyimpan banyak misteri yang tak terjawab hingga kini, mulai asal-usul dan kematiannya, tentang strategi politik menuju posisi puncak di Majapahit serta strategi perangnya menguasai Nusantara, sampai polemik penggambaran rupanya yang masih rekaan.

Postingan berikut ini adalah kumpulan artikel yang saya comot dari berbagai situs, dari para budayawan dan arkeolog yang melakukan penelitian tentang tokoh besar yang dinobatkan sebagai pahlawan nusantara, sang Patih Majapahit yaitu Gajah Mada, terutama membahas seputar misteri keislamannya. Mari kita coba ungkap misteri itu.

Keberadaan dan asal-usul pahlawan yang kondang dengan Sumpah Palapa ini masih menjadi misteri bagi semua orang. Bahkan para ahli sejarah pun belum menemukan kata sepakat dimana dia dilahirkan. Dimana dia dibesarkan sampai bagaimana sosok Patih Gajah Mada menghabiskan masa tuanya sampai saat ini menjadi tanda tanya besar. Serta menjadi teka-teki sejarah yang belum terpecahkan.

Ada bahasan menarik yang disampaikan oleh sastrawan Anuf Chafiddi atau sering dipanggil Viddy AD Daery dalam makalahnya dalam Seminar Sesi II tentang Kontroversi Gajah Mada dalam Perspektif Fiksi dan Sejarah di Borobudur Writers & Cultural Festival 2012 di Manohara Hotel, Kompleks Taman Wisata Candi Borobudur, Magelang, Jateng Senin (29/10).

Secara tegas dirinya memberikan judul dalam makalahnya; "Foklor Mengenai Gajah Mada Lahir di Modo, Lamongan" yang artinya menyatakan dirinya yakin bahwa Gajah Mada dilahirkan, besar dan mati di Lamongan, Jatim.

"Gajah Mada pahlawan maha besar nusantara itu lahir di wilayah Lamongan, Jawa Timur? Untuk menjawab pertanyaan itu akan menimbulkan berbagai macam jawaban kalau ditanyakan ke banyak orang. Namun kalau ditanyakan kepada saya. Jawaban saya adalah betul," ungkap Viddy.

Ada lima alasan yang menjadikan Viddy yakin bahwa Gajah Mada berasal dari Lamongan, Jatim. Alasan itu di antaranya, di daerah Desa Modo dan sekitarnya termasuk Desa Pamotan, Desa Ngimbang, Desa Bluluk, Desa Sukorame dan sekitarnya tersebar foklor atau cerita rakyat. Dongeng dari mulut ke mulut mengisahkan bahwa Gajah Mada adalah kelahiran wilayah Desa Modo.

Kelima desa itu merupakan daerah ibu kota sejak didirikan jaman Kerajaan Kahuripan Erlangga. Bahkan anak cucu raja juga mendirikan ibu kota di situ. Alasanya strategis alamnya bergunung-gunung, bagus untuk pertahanan dan dekat dengan Kali Lamong cabang Kali Brantas. Selain itu ada jalan raya Kahuripan-Tuban yang dibatasi Sungai Bengawan Solo di Pelabuhan Bubat (kini bernama Kota Babat). Ibu kota ini baru digeser oleh cicit Airlangga ke arah Kertosono-Nganjuk.

Kemudian baru di zaman Jayabaya digeser lagi ke Mamenang, Kediri. Selanjutnya oleh Ken Arok, digeser masuk lagi ke Singosari. Baru kemudian oleh R Wijaya dikembalikan ke arah muara yaitu ke Tarik. Namun, anaknya yang akan dijadikan penggantinya yakni Tribuana Tunggadewi diratukan di daerah Lamongan-Pamotan-Bluluk lagi yaitu di Kahuripan alias Rani Kahuripan, Lamongan.

"Ketika Gajah Mada menyelamatkan Raja Jayanegara dari amukan pemberontak Ra Kuti, dibawanya Jayanegara ke arah Lamongan yaitu di Badender (bisa Badender Bojonegoro, bisa Badender kabuh, Jombang, keduanya memiliki rute ke arah Lamongan (Pamotan-Modo-Bluluk dan sekitarnya). Itu sesuai teori masa anak-anak dimana kalau anak kecil atau remaja berkelahi di luar desa pasti jika kalah lari menyelamatkan diri masuk ke desa minta dukungan. Di desanya banyak teman, kerabat maupun guru silatnya. Saya kira Gajah Mada juga menerapkan taktik itu,"ungkapnya.

Sebuah situs kuburan Ibunda Gajah Mada, yaitu Nyai Andongsari juga menjadikan Viddy yakin bahwa patih kerajaan jaman Majapahit itu berasal dari Lamongan. Kemudian juga ada situs kuburan yang sampai saat ini menjadi perdebatan dan kontroversial yang diyakini warga sekitar merupakan kuburan patih Gajah Mada. Namun, kuburan itu dalam posisi dan berkarakter kuburan islam.

"Kuburannya menghadap ke arah persis sebagaimana kuburan orang Islam. Kalau misalnya hal ini benar maka wajar saja masa tua Gajah Mada tidak ditulis di babad-babad atau kitab kuno. Sengaja disisihkan atau dihapus dari sejarah karena Gajah Mada mungkin dianggap 'murtad' atau semacam itu," jelasnya.

Arkeolog sekaligus sejarawan Fakultas Sejarah Universitas Indonesia (UI) Agus Aris Munandar menyatakan secara arkeologis belum ditemukan data tentang asal muasal dan keberadaan pasti Gajah Mada. Bahkan beberapa temuan prasasti-prasasti yang menyinggung tentang cerita Gajah Mada belum dan tidak bisa digunakan untuk penelitian dan memastikan benang merah sejarah cikal bakal Gajah Mada itu sendiri.

"Beberapa data soal keberadaan Gajah Mada yang belum digunakan. Data Gajah Mada secara arkeologis tidak ada. Yang ada nanti jika digunakan menjadi tafsir di atas tafsir. Prasasti yang terabaikan itu diantaranya: Prasasti Gajah Mada di situs Candi Singosari (Tahun 1351 M), Prasasti Relief Mahameru (Pawitra) yang menjelaskan Mahameru sebagai titik asis mundi.

Kemudian penemuan Candi Tikus di situs Trowulan yang gayanya mirip Candi Singosari. Mungkinkah Candi Tikus diperintah Gajah Mada untuk dibangun.

"Candi Kepung 7 meter di muka tanah sangat dekat dengan Candi Tikus di Kepung Kediri. Ada lagi Prasasti Hemadwalandit, Prasasti Bendodari (Tahun 1360 M),"tuturnya.

Agus Aris menyatakan karena tidak ada bukti arkeologis yang ditemukan terkait keberadaan dan cikal bakal Gajah Mada dan saking menariknya tokoh yang satu ini, banyak sekali daerah yang sampai mengklaim secara lisan bahwa di daerah mereka merupakan asal muasal maupun tempat meninggalnya Gajah Mada.

"Ada yang mengakui bahwa Gajah Mada dari Buton, Gajah Mada dari Wange-wange Bali. Ada yang bahkan mengatakan bahwa Gajah Mada adalah keturunan pasukan Tor-Tor,"ungkap Agus Aris Munandar.

Sampai saat ini, penelitian Arkeologi belum berhasil menemukan jati diri, sosok Gajah Mada yang seutuhnya. Sebab dari arkeologi sejarah, mempunya peringkat validitas data.

"Data primer, data sekunder dan data tertier. Berita- berita dari mulut ke mulut (folklor) itu, menurut Aris itu merupakan data tersier dan bersifat negatif. Data primer prasasti itu mutlak dan dibuat pada jamanya. Prasasti dengan angka tahun dihargai dengan angka tahun. Data pendukung: zaman, bergeser. Negarakertagama lebih falid dari Pararathon. Ada peringkat yang tidak bisa kami tabrak begitu saja. Silahkan multi tafsir nanti akan diperbaiki," kata Agus.


 Membahas Sejarah "Misteri Gajah Mada Islam"

Minat orang untuk membaca buku-buku sejarah sangatlah rendah, mungkin karena terasa menjenuhkan, tidak kreatif, kaku, dan monoton sehingga membosankan. Padahal, membaca sejarah bangsa merupakan kebutuhan akan jati diri kita sebagai penerus generasi bangsa yang besar dalam memotivasi bangkitnya semangat kebangsaan.

Lain halnya bila tokoh pendekar silat, seperti Pendekar Sendang Drajat (PSD) yang mengajak pembacanya untuk membicarakan sejenak kisah sejarah tanpa proses menggurui. Menariknya, Sang Pendekar justru mengungkap cuplikan sejarah Gajah Mada apa adanya, yaitu sejarah yang hingga kini masih diselubungi oleh berbagai misteri atau tanda tanya besar. Jujur saja, karena selama ini tak satu pun sejarawan dapat mengungkap siapa sebenarnya Gajah Mada itu. Mulai dari asal usul, hari tua (masa pensiun), hingga proses kematian Gajah Mada yang misterius. Sungguh ironis! Mengingat peran besar dan kepopuleran nama Gajah Mada yang mempersatukan Nusantara kita.

Dalam beberapa novel tentang Gajah Mada, sebagai seorang arkeolog, saya prihatin tentang kerusakan sejarah yang ditimbulkan oleh para novelis selama ini. Hingga muncul rasa antipati saya terhadap novel-novel berlatar belakang sejarah karena para novelis justru mengacak aduk sejarah dengan fantasi fiksi secara berlebihan, tanpa menghiraukan bahwa hal yang mereka lakukan tersebut justru merusak sejarah yang sedang dibahas dalam novelnya itu. Tragis!

Namun, hal ini yang berbeda dengan penuturan Pendekar Sendang Drajat dalam buku novel keempat berjudul "Misteri Gajah Mada Islam" setebal 215 halaman yang diterbitkan oleh Grafindo Book Media, Jakarta, Februari 2013. Saya sebut saja teknik bertutur ini adalah "Neo Cerita Berbingkai". Teknik yang dipakai mengingatkan pada genre "Cerita Berbingkai" yang dalam khazanah sastra klasik banyak kita baca dalam "Hikayat 1001 Malam". Sang Pendekar yang sedang melacak jejak-jejak sejarah Mahapatih Gajah Mada cukup dapat dikatakan obyektif dalam menceritakan fakta sejarah. Sebab, ketika ada sekelompok "keturunan Gajah Mada" yang mengklaim bahwa Gajah Mada menganut agama Islam dan pernah berguru di Pesantren Gondang, tak serta-merta klaim itu diiyakan. Tetapi, Sang Pendekar justru menelitinya langsung dari mana sumber informasi tersebut berasal. Meskipun juga dikisahkan bahwa Pondok Pesantren Gondang itu merupakan basis pelarian mantan prajurit Tartar-Mongol yang beragama Islam ketika perang besar pembalasan dendam Kubilai Khan terhadap Kerajaan Jawa: Singasari-Kediri.

Pendekar Sendang Drajat kreasi Viddy Ad Daery tidak bercerita mengenai sejarah secara mutlak, hanya berdasarkan klaim-klaim sepihak saja, karena Viddy melalui novel PSD-nya menulis kronologi-kronologi sejarah berdasarkan hasil observasi terbaru yang disandingkan dengan fakta-fakta yang didapat oleh sejarawan pada umumnya. Metode blusukan ala Viddy—juga saya pernah mendampingi—justru mengungkap dan menemukan fakta-fakta baru yang selama ini belum terungkap oleh antropolog, arkeolog, dan filolog dalam menyusun historiografi Nusantara.

Kecaman dan cibiran terhadap karya tulis Viddy tak menyurutkan langkahnya untuk terus menelusuri jejak-jejak sejarah masa silam. Sang Pendekar terus melanglang buana, hingga suatu hari, Nasir Abbas pun (mantan teroris asal Malaysia, sahabat Dr Ashari dan Noordin M Top yang sempat populer) dibuat terkagum-kagum dengan kisah yang dituturkan tentang asal usul nenek moyang Amrozi bersaudara (Trio Trenggulun, pelaku Bom Bali 2002 yang menggemparkan dunia), yang masih Trah Majapahit, dari Trah Bhayangkara-Trenggulun. Itulah kenapa Amrozi menjadi sungguh nekat dan berani menentang adidaya AS dan sekutunya.

Begitu pula ketika buku Pendekar Sendang Drajat sempat menjadi buku pameran di Forum Dialog Borobudur bertema "Maritim Majapahit" yang diselenggarakan oleh Samana Foundation di Hotel Batavia baru-baru ini, yang membuat Romo Muji Sutrisno, Prof Agus Aris Munadar, dan banyak sejarawan serta penulis buku terkagum-kagum ingin segera memiliki buku keempat PSD: Misteri Gajah Mada Islam. Namun sayangnya, buku yang dipamerkan tersebut hanya satu-satunya, itu pun milik Viddy Ad Daery sendiri.

Konon, menurut Viddy—menyitir kabar dari penerbitnya, buku heboh itu sekarang sudah beredar dan saya telah membaca tuntas isinya. Dan, sebagai arkeolog dan pemerhati sejarah dan budaya, saya memberinya rating "bintang sembilan".



Sejarah Gajah Mada Wajib Direvisi

Historyografi (Penulisan Sejarah) suatu bangsa merupakan kewajiban dari bangsa itu sendiri. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati sejarahnya. Ilmu sejarah itu dinamis, tidak statis. Meskipun kedinamisan dalam ilmu sejarah itu lamban, dan bisa berubah apabila ditemukan bukti-bukti baru yang akurat. Tentu harus dengan kaidah Historyografi, yaitu : ilmiah – berdasarkan fakta bukan spekulasi, jujur tidak ada yang ditutupi dan netral terlepas dari kepentingan politik/agama tertentu.

Untuk menulis sejarah tidak bisa hanya dengan membaca buku-buku status quo, itu berarti merupakan pengulangan/saduran saja. Juga tidak cukup dengan kajian tesis sejarah dikampus dan seminar, tapi wajib riset di lapangan, observasi mencari situs tersembunyi, ekskavasi situs, dan bila perlu melakukan forensik.

Historyografi merupakan ilmu yang mulia. Bagi orang-orang beriman, bahkan Tuhan pun menulis sejarah dalam kitab-kitab suci melalui Nabi-Nabi Nya, yaitu Zabur, Taurat, Injil dan Al Quran. Sehingga, penulisan sejarah tokoh-tokoh yang tidak disukai orang banyak pun harus ditulis secara akurat. Tuhan menjadikan Namrud, Qarun, Firaun dan lainnya sebagai monumen sejarah, agar menjadi pelajaran bagi manusia. Sejarah itu logis dan bisa dibuktikan keasliannya.

Sejak JLA Brandes, NJ Krom, dan JH Kern dari tahun 1902-1920 menulis sejarah bangsa kita, tentang Majapahit dan Sriwijaya secara sudut pandang Barat (Modern), banyak sejarahwan menulis puluhan buku tentang Majapahit. Namun tak ada satu pun yang berhasil mengungkap jatidiri tokoh besar Majapahit, mahapatih Gajah Mada.

Sungguh aneh dan miris! Karena begitu besarnya nama Gajah Mada, tapi tidak diketahui asal usulnya? Sehingga meimbulkan spekulasi beberapa daerah yang mengklaim Gajah Mada berasal dari daerah mereka, tanpa di dasari oleh fakta yang akurat.

Gajah Mada berasal dari Desa Mada
Hal ini berbeda dengan folklore Mada (cerita rakyat Modo – Lamongan) yang telah berabad-abad lamanya diwariskan secara turun temurun, dengan detail menjelaskan jati diri Gajah Mada alias Jaka Mada (nama beliau saat masih kecil, diasuh oleh petinggi desa Mada sejak bayi, dilahirkan dari rahim Dewi Andong Sari-selir Raden Wijaya- ditengah hutan Cancing, Ngimbang). Ketika kanak-kanak, Gajah Mada menjadi pengembala kerbau di desanya, bersama teman-temannya, ia sering melihat iring-iringan tentara Majapahit yang gagah-gagah sehingga timbul keinginan untuk menjadi prajurit Majapahit. Sekian ratus tahun folklor itu terpendam, dan baru budayawan Lamongan Viddy Ad Daery yang berani mengungkap dan mengangkat hal itu di forum nasional maupun Internasional, meski dengan resiko dikritik dan dicaci-maki oleh orang-orang yang picik visinya.

Perlu diketahui bahwa folklore Mada (Lamongan) terkait dengan folklor Badander (Jombang). Badander adalah desa kuno yang disebut oleh manuskrip kitab-kitab kuno sebagai tempat Gajah Mada menyembunyikan Prabu Jayanegara dari kejaran tentara pemberontak Ra Kuti. Desa Mada (Modo) dan desa Badander merupakan basis Gajah Mada (banyak teman masa kecilnya), dan letaknya tidak terlalu jauh dari ibukota Majapahit – Trowulan.

Ketika menginjak usia remaja, Jaka Mada diajak oleh kakek angkatnya yang bernama Ki Gede Sidowayah ke Songgoriti, Malang. Dari Malang itulah Jaka Mada meniti karier sebagai prajurit Majapahit, yang kelak beliau dikenal dengan nama Gajah Mada (Orang besar dari desa Mada). Berdasarkan folklore ini diduga Gajah Mada memang berasal dari desas Mada (Modo), Lamongan-Jawa Timur. Namun folklore ini masih harus diperkuat dengan fakta akurat lainnya, tidak cukup hanya didukung oleh situs berupa Makam Ibunda Gajah Mada – Dewi Andong Sari.

Baru-baru ini tim riset Yamasta yang terdiri dari Viddy Ad Daery, Sufyan Al Jawi, dan Drs. Mat Rais telah menemukan fakta-fakta awal seputar asal usul Gajah Mada (baca berita Kompas.com = Budayawan Temukan Situs Makam Kerabat Gajah Mada). Pencantuman nama para peneliti merupakan tanggung jawab ilmiah, bukan cari popularitas ! Karena apabila hasil riset tersebut ternyata keliru, maka tim yang bersangkutan harus bertanggung jawab secara moril dengan pers rilis dan penelitian ulang.

Meluruskan Penulisan Sejarah
Sebagai arkeolog dan numismatis, sejak 1994 saya terbiasa meriset / menelaah sejarah dengan metode : Asli atau Palsu, untuk membedakan mana yang jurnal (catatan) sejarah, mana yang opini sejarah, dan mana yang sekedar mitos (dongeng). Komitmen kami yang bertajuk : Gajah Mada Bangkit Nusantara Berjaya, merupakan tanggung jawab besar. Maka niat lurus, kejujuran, netralitas dan akurasi fakta menjadi kewajiban kami.

Metode riset kami tidak hanya membahas sastra berupa manuskrip kuno dan folklore saja. Bukan sekedar bongkar pasang benang merah benda purbakala ! Tapi dilengkapi dengan metode forensik fisik, baik itu terhadap benda purbakala, maupun terhadap sisa-sisa jenazah (bila ditemukan) untuk memastikan usia kematian, dan rekontruksi wajah dari tokoh tersebut. Mirip seperti riset terhadap Mummy Firaun. Dan membutuhkan biaya yang cukup besar.

Selama ini buku-buku sejarah status quo banyak menyembunyikan fakta, hingga pengaburan tokoh-tokoh pelaku sejarah besar bangsa ini. Historyografi yang akurat justru menimbulkan dampak buruk bagi anak bangsa. Misalnya : Peristiwa Perang Bubat, yang dieksploitasi oleh sejarawan kolonial Belanda memicu ketidak sukaan Suku Sunda terhadap Suku Jawa hingga hari ini.

Begitu pula Peristiwa penyatuan Nusantara, yang dipelintir menjadi agresi Suku Jawa terhadap Suku-suku lain, padahal tidak ada satu negeripun yang dijajah oleh Majapahit. Dan peristiwa Islamnya penduduk Majapahit yang dipelintir menjadi ‘pengkhianatan’ Walisongo terhadap Majapahit memicu ketidak sukaan kaum kejawen (kolot) terhadap ajaran Islam. Padahal sesungguhnya kaum kejawen ini ya Islam juga, tapi merupakan tinggalan “Islam Purba” zaman Nabi Sis, Nabi Nuh dan Nabi Ibrahim sewaktu mereka di Nusantara (teori dari Kelompok Ilmuwan Turangga Seta). Maka,Nabi  Muhammad Rasulullah memang menyatakan diri “diutus menyempurnakan Islam”, bukan bikin agama baru!!!

Ironisnya buku sejarah yang tidak netral ini terus menerus di produksi dan mudah di jumpai di toko buku, perpustakaan, bahkan menjadi buku pengajaran di sekolah dan kampus. Sehingga dapat melahirkan generasi sinisme dan pemuja perpecahan. Maka wajar jika saat ini Nusantara terpuruk ! Tolong pikirkan, siapa yang berkeinginan agar bangsa asli pribumi Nusantara terpecah belah dan terpuruk terus menerus ???? Anehnya banyak orang yang menikmati dan tidak rela bila buku sejarah status quo direvisi, padahal buku sejarah bukanlah kitab suci!

Coba kita perhatikan fakta-fakta berikut ini:
  1. Celengan kuno, berbentuk patung kepala terbuat dari tembikar yang dulu populer dibuat, diperjualbelikan oleh penduduk Majapahit sebagai tabungan koin cash tembaga (koin Cina), kemudian hari oleh sejarawan diklaim sebagai potret/gambaran wajah Gajah Mada ?
  2. Lukisan rekayasa Gajah Mada oleh Moh. Yamin yang mirip dengan wajah beliau. Lalu timbul spekulasi bahwa Gajah Mada berasal dari Minangkabau ?
  3. Karena ditemukannya beberapa Prasasti di aliran Sungai Berantas yang menyebut nama Gajah Mada, maka ada spekulasi bahwa Gajah Mada lahir di Malang. Padahal pencatuman nama pejabat pada Prasasti merupakan hal yang wajar. Seperti Prasasti Tugu yang mencantumkan nama Raja Tarumanegara, bukan berarti sang Prabu lahir di Tugu Cilincing Jakarta Utara ? Lagi pula tidak ada folklore Malang yang berkaitan dengan Gajah Mada.
  4. Bahkan ada spekulasi radikal dari Bali (Kitab Usana Jawa) yang menyatakan bahwa Gajah Mada lahir dari buah kelapa yang pecah. Mirip dongeng Sun Go Kong (kera sakti) yang lahir dari batu.

Untuk mematahkan riset dan ingin membungkam sejarah, ada pihak yang ngotot bila Gajah Mada bukan dari desa Mada dan telah dibakar menjadi abu. Katanya Gajah Mada telah dicandikan (mana ada Sudra dicandikan ?), Mungkin maksud mereka adalah candi yang diresmikan oleh Gajah Mada ? Toh ketika Gayatri Rajapatni wafat, beliau yang notabene beragama Budha, di Hindukan oleh masyarakat Majapahit lewat pembuatan patung dan dicandikan. Kalaupun ternyata hasil riset membuktikan bahwa Gajah Mada telah jadi abu, tidak ada kerugian apapun bagi tim riset.

Menemukan Situs Purbakala yang Belum Terungkap
Tim Riset Yamasta berhasil menemukan situs-situs purbakala yang belum terungkap, seperti:
  1. Situs Makam kerabat Gajah Mada di desa Modo
  2. Situs Sendang dan tempat mandi Gajah Mada di desa Modo
  3. Situs Prasasti Gondang di Sugio, Prasasti zaman Airlangga yang ditulis dengan huruf Arab Pegon (Jawi) dan huruf Jawa Kuno (Kawi). Sebelas tahn yang lalu, tulisan masih bisa terbaca. Karena terbengkalai, kena sinar Matahari dan hujan, maka tulisan menjadi hilang. Namun secara samar-samar bisa terlihat tulisannya saat terkena blitz cahaya tertentu.
  4. Situs dusun Lukman Hakim (Lukrejo) di Kalitengah, Lamongan. Sebuah dusun yang disebut dalam Ying Yai Sheng Lan karya Ma Huan terbit 1416-1433. Dusun (kota baru ?) letaknya dekat dengan Bengawan Solo, aliran Bengawan Jero (Sungai Purbakala). Dusun ini memiliki pertahanan Parit Andalusia (Parit air yang mengitari dusun, lebarnya 8-10 m, dibentengi dengan pagar hidup pohon bambu). Pintu keluar masuk hanya satu, 3 (tiga) pos jaga, dibangun dan dihuni oleh 3 (tiga) golongan, yaitu : Muslim Jawa, Cina suku Tang Muslim dan Hindu Budha Jawa.
  5. Situs Bawanmati di Pringgoboyo, lokasi tambangan kapal-kapal asing dan Bea Cukai Majapahit (No.1-5 berada di Lamongan).
  6. Situs Pagar Banon di desa Badander, Jombang.

Semua situs tersebut diduga merupakan benang merah asal usul Gajah Mada yang harus diungkap secara ilmiah dengan teliti dan hati-hati. Apapun hasil riset yang ditemukan, masih harus diuji dan dipresentasikan dengan lapang dada. Ojo dumeh (jangan mentang-mentang).

Budayawan Temukan Situs Kerabat Gajah Mada


Budayawan Nusantara kelahiran Lamongan, Viddy Ad Daery, yang telah banyak meneliti mengenai Folklor Gajah Mada “versi” Lamongan, dan telah mempresentasikan temuan-temuan itu di beberapa seminar Internasional di Indonesia, Malaysia, Singapura dan Brunei, kini telah menemukan “Bukti-bukti baru folklore Modo” berupa situs-situs yang selama ini belum pernah diungkap.

Viddy yang baru-baru ini menjelajahi kembali “wilayah Modo” Lamongan, bersama Sufyan Al-Jawi, arkeolog dari Numismatik Indonesia, menemukan beberapa “situs yang mengejutkan” yang tentunya akan memengaruhi penulisan sejarah Indonesia. “Teori Pak Viddy yang saya baca di www.kompas.com (mengenai folklore Modo yang menyatakan bahwa Gajah Mada lahir di Modo) tampaknya akan mendapat dukungan bukti-bukti kuat di lapangan, terutama dari segi arkeologi!” tandas Sufyan Al-Jawi.

Temuan itu, pertama-tama dijumpai di Modo sendiri, antara lain ialah “makam kerabat Gajah Mada” yang diakui kebenarannya oleh Pak Sukardi yang mengaku “masih kerabat Gajah Mada”. Pria yang berwajah dan berpostur Mongoloid  “mirip citra Gajah Mada” itu, menunjuk sekelompok makam kuno yang terdapat di sudut utara kompleks makam Medalem, Modo, Lamongan.

“Menurut cerita kakek-nenek saya, itu makam kerabat dekat Gajah Mada dan para pengikutnya”, tutur Pak Sukardi menunjuk sekelompok makam tua yang terdiri dari empat makam. Empat makam itu Nampak “lain”, karena tidak nampak sebagai makam-makam “modern” yang lain yang rata-rata diurug tinggi lalu diplester dengan ubin. Empat makam tua itu hanya dikelilingi batu-batu kuno, dan nisan “kuno”nya sudah banyak yang patah, Nampak tidak terurus.

“Nisan makam ini ada yang masih tersisa dan tampak kekunoannya, yaitu berjenis nisan dari peradaban abad ke 15, sebelum munculnya zaman Walisongo”, ujar Sufyan Al-Jawi. “Dicirikan dengan lambang mahkota bunga, dan itu merupakan perpaduan kebudayaan Hindu dan Islam”.

Lebih lanjut Sufyan Al-Jawi menyimpulkan, bahwa “Kerabat Gajah Mada” ternyata sudah menganut kepercayaan islam, dengan bukti makamnya menghadap ke arah kiblat, dan nisannya bercitra Islam abad ke 15.

Viddy menyatakan, meskipun makam yang ditemukan bukan atau belum mengarah ke Gajah Mada itu sendiri, namun sudah merupakan bukti kuat bahwa Gajah Mada sangat terkait erat dengan desa Modo, yang pada zaman Majapahit merupakan ibukota Kerajaan Pamotan atau Kahuripan, salah satu vassal Majapahit di sebelah utara yang pernah diperintah oleh Tribhuana Tunggadewi dan Hayam Wuruk ketika dipersiapkan untuk menerima tahta Majapahit.

Rombongan Viddy dan Sufyan Al-Jawi seterusnya mengunjungi situs desa Garang, yang dalam folklore Modo disebut sebagai desa perguruan silat Garangan Putih tempat Gajah Mada muda mempelajari ilmu kanuragan. Kemudian dilanjutkan ke makam Ibunda Gajah Mada alias Dewi Andongsari yang berada di bukit Gunung Ratu, Ngimbang dekat Modo.

Selanjutnya tim ke dusun Badander, Kabuh, Jombang di dekat Sungai Brantas, yang ditengarai sebagai tempat Gajah Mada menyelamatkan Prabu Jayanegara dari kejaran pasukan pemberontak Ra Kuti. Letak Badander dengan Modo, Lamongan, relatif tidak terlalu jauh.

Menggugat Sejarah
Seorang penduduk Badander (Pak Pari) yang diwawancarai oleh tim Viddy-Sufyan, mempertanyakan, “Kenapa buku-buku sejarah di sekolah tidak menulis yang benar? Kenapa ditulis bahwa tempat penyelamatan Prabu Jayanegara di Dander Bojonegoro? Bagi kami terasa aneh! Sebab menurut cerita leluhur-leluhur kami, desa kamilah, yaitu Badander, sebagai tempat penyelamatan Prabu Jayanegara. Menurut cerita leluhur kami, Gajah Mada menitipkan Prabu Jayanegara kepada Buyut Badander atau kepala desa kami saat itu.”

Tim menyusuri bukti-bukti yang dikemukakan oleh Pak Pari dengan mengukur jarak antara pusat Kerajaan Majapahit dengan Badander, Kabuh, dan menyimpulkan bahwa secara logika, letak Badander Kabuh lebih masuk akal menjadi tempat penyelamatan Jayanegara, daripada Dander Bojonegoro yang letaknya terlalu jauh. “Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya tata letak pusat pemerintahan desa yang sekarang adalah bekas lokasi pesanggrahan Buyut Badander seperti yang diceritakan oleh masyarakat setempat, berupa Pager Banon!” simpul Sufyan Al-Jawi.

Menurut Viddy Ad Daery, dalam babad-babad kuno memang ditulis bahwa lokasi desa tempat penyelamatan Prabu Jayanegara oleh Gajah Mada adalah di Badander, bukan Dander. “Dan itu berarti lebih mengarah Badander Kabuh. Bukan Dander Bojonegoro!” kata budayawan yang kini sedang menggarap tesis Ph D itu.

Menurut Sufyan Al-Jawi penelitian ini bertujuan untuk pembuatan buku demi meluruskan sejarah Gajah Mada yang selama ini simpang siur. Sedang bagi Viddy sendiri, di samping untuk memperkuat teorinya, juga untuk bahan penulisan serial novelnya “Pendekar Sendang Drajat Misteri Gajah Mada Islam”.



Menguak Misteri Keislaman Gajah Mada

Pernahkah pembaca berpikir bagaimana Islam dan bahasa Melayu (60% serapan dari bahasa Arab) dapat tumbuh subur di Nusantara? Sedangkan di negeri kuno Burma, Siam, Vietnam dan Kamboja, Islam hanya minoritas!

Kami menduga ada peran tak langsung dari politik Gajah Mada di Kerajaan Majapahit yang nota bene bukan kesultanan Islam. Bahkan Gayatri Rajapatni- Arsitek politik Majapahit – pun kaget dan kagum atas kemampuaan politik Gajah Mada yang baginya dianggap sudra misterius. Dalam buku “Gayatri Rajapatni” Karya Earl Drake Hal 109-117, terlihat Drake tidak mengetahui bagaimana Gajah Mada memiliki wawasan yang luas, bahkan di luar nalar pejabat Majapahit saat itu.

Ada beberapa politik Gajah Mada yang luar biasa, yang akhirnya membawa kejayaan bagi Majapahit di Nusantara, seperti:
  1. Memperluas wilayah Majapahit dengan menundukkan Kerajaan-kerajaan di Nusantara, saat beliau di lantik menjadi mahapatih, dengan tekad Sumpah Palapa (Tan ayun amukti Palapa- tidak buka puasa sebelum tercapai cita-cita, itu adalah puasa ala nabi Daud AS).
  2. Menyusun kitab hukum “Kutara Manawa sastra” yang meniru Al Qanun al Azazi (kitab Hukum syariat Islam).
  3. Menerapkan Politik Bahasa penduduk, yaitu : Bagi Pribumi Jawa adalah Bahasa Jawa, dan bagi orang luar Jawa (seberang) adalah Bahasa Melayu Islam (dengan merombak Bahasa Melayu kuno yang bercampur Bahasa Sansekerta). Politik Bahasa ini menyebar di seluruh Nusantara : dari Pattani , Champa, Vietnam, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei, Sulu (Moro Philipina), Darwin Australia, dan semua negeri-negeri polinesia dan micronesia pasifik.

Ketika politik tersebut di terapkan setahap demi setahap, Gayatri Rajapatni kaget dan terheran-heran, karena beliau lah yang mengajari Gajah Mada dalam berpolitik. Pada saat Gajah Mada (atas saran Gayatri) akan mencaplok Bali, Gayatri khawatir atas dominasi peran orang-orang Islam di Majapahit, meskipun muslim adalah penduduk minoritas. Apa lagi setelah di cetaknya Koin dinar emas kerajaan Majapahit yang memuat kalimat syahadat-meski jumlahnya tidak banyak, yang di gunakan untuk alat tukar kepada Aceh, Arab dan India yang muslim.

Kesimpulannya, Islam bukan barang langka di Majapahit. Dalam kitab ”Ying Yai Sheng Lan” yang terbit tahun 1416-1433 (zaman Majapahit mulai mundur, tapi belum benar-benar hancur), karya Ma Huan, juru tulis dan penterjemah Laksana Cheng Ho dalam ekspedisi 1405-1433, tertulis:

Ada tiga golongan dalam Masyarakat di Tuban, Surabaya, kota baru (dusun baru tanpa nama-bisa jadi dusun Lukman Hakim atau kini disebut Luk rejo Lamongan ) dan kota raja Majapahit, yaitu:
  1. Kaum Muslim yang menguasai pelabuhan dan perdagangan (pribumi, Arab, India dan keturunan campur).
  2. Pendatang Cina suku Tang (juga muslim).
  3. Pribumi Jawa Hindu-Budha yang tidak pakai baju, rambut terurai acak-acakan atau di gelung, berciri wajah jelek (jarang mandi).

Bagi rakyat dan pejabat Majapahit, kaum muslim (pribumi dan pendatang) yang bercirikan pakaian rapi, wajah cerah karena sering wudlu, santun, jujur, pandai (memiliki berbagai keahlian—karena mereka adalah para insinyur pendatang dari Baghdad dan Andalusia Islam) sangat disegani dan di hormati. Golongan minoritas ini mendapat posisi yang strategis dalam struktur masyarakat Majapahit, bahkan mendapat jabatan khusus di Trowulan kotaraja.Akhirnya merekapun mendapat fasilitas pemakaman khusus di Troloyo.

Memang pada abad pertengahan tidak lah aneh apabila dalam kerajaan besar yang bukan kesultanan Islam memiliki jendral atau perdana menteri seorang muslim. Seperti kerajaan Cina, kaisar Yong le yang memiliki Laksamana Cheng Ho yang beragama Islam. Tetapi dalam kasus Majapahit, Gajah Mada sengaja menyembunyikan identitas diri dan keluarganya demi keselamatan nyawanya dari saingan politiknya.

Diduga Gajah Mada menjadi seorang muslim ketika beliau menjadi bhayangkara, atau mungkin beberapa saat sebelum menjadi mahapatih. Itulah sebabnya, kenapa Gajah Mada memilih bertempat tinggal di luar kompleks kraton. Tentu agar dia bisa bebas melaksanakan ibadahnya tanpa diketahui pihak istana selain juga memudahkan rakyat jelata berhubungan dengan beliau, tanpa mengenal protokoler kasta.

Gajah Mada pun memisahkan antara keyakinan pribadi dengan tugas Negara. Beliau menghargai Gayatri Rajapatni yang beragama Budha, dan atas desakan Mayoritas Masyarakat Hindu Jawa, maka Gayatri diizinkan oleh Gajah Mada untuk di-Hindukan melalui pembuatan patung dan candi (baca buku Earl Drake “Gayatri Rajapatni”).

Akhir Juni 2012, kami Tim riset “Gajah Mada Bangkit, Nusantara Berjaya” yang terdiri dari : Viddy Ad Daery, Sufyan al Jawi, dan Drs. Mat Rais, secara tak terduga menemukan bukti-bukti adanya penduduk minoritas Muslim zaman Majapahit abad 14-15, seperti ketika di temukannya situs Medalem, Modo, Lamongan yang terdiri dari 4 (empat) buah makam Muslim Majapahit yang di duga masih kerabat Gajah Mada. Dan kami pun menjumpai penduduk pribumi dengan wajah dan tubuh berpostur Mongoloid.

Sejarah diungkap bukan untuk bernostalgia atau menina-bobokan bangsa dalam mimpi yang tidak berakhir. Sejarah adalah langkah pendorong terciptanya semangat baru untuk masa depan.




Sumber:
http://birayang.blogspot.com/2012/09/benarkah-gajah-mada-seorang-muslim.html
http://oase.kompas.com/read/2013/04/25/00263966/Membahas.Sejarah.Misteri.Gajah.Mada.Islam
http://www.infomisteri.com/689/misteri-keberadaan-sosok-patih-gajah-mada.html
http://misteriusnya.blogspot.com/2012/10/misteri-asal-usul-patih-gajah-mada.html
- http://situs-lakalaka.blogspot.com/2012/09/menguak-misteri-gajah-mada-dan.html
- http://oase.kompas.com/read/2012/07/21/22420812/Sejarah.Gajah.Mada.Wajib.Direvisi
- http://oase.kompas.com/read/2012/06/28/02330055/Budayawan.Temukan.Situs.Kerabat.Gajah.Mada

1 komentar: