Halaman

Jumat, 06 Mei 2011

ETIKA TASAWUF AL-GHAZALI

ETIKA TASAWUF AL-GHAZALI
A. Konsepsi Manusia dalam Tasawuf al-Ghazali
Dalam bukunya Kimiā as-Sa’ādah bab yang membahas tentang mengenal diri, al-Ghazali mengupas secara panjang lebar cara bagaimana agar orang dapat mengenal dirinya sehingga bisa mendekatkan diri kepada Allah Swt. Menurut al-Ghazali pengetahuan tentang diri merupakan kunci pengetahuan tentang Tuhan dan membawa kepada tercapainya kebahagiaan yang sebenarnya. Yang dimaksud pengenalan diri ini bukanlah mengetahui bentuk luar seperti badan, muka dan anggota badan lainnya. Pengetahuan tentang diri di sini adalah usaha untuk mengetahui apakah diri itu sebenarnya, dari mana datangnya, kemana perginya, apa tujuannya datang ke dunia ini, serta tentang kebahagiaan dan kesedihan.[87] Menurut al-Ghazali manusia itu memiliki sifat-sifat binatang, sifat-sifat setan, dan sifat-sifat malaikat. Untuk mengetahui posisi dirinya dan guna mendapatkan kebahagiaan seseorang harus mengetahui apa saja isi ketiga sifat tersebut. Dari pengetahuannya itu ia harus berusaha meningkatkan dirinya dengan menjauhi sifat-sifat binatang dan sifat-sifat setan, kemudian berusaha menanamkan sifat-sifat malaikat pada dirinya.
Sifat hewan adalah makan, tidur dan berkelahi, sifat setan mengobarkan kejahatan, tipuan dan kebohongan, sedangkan sifat malaikat selalu merenungkan keindahan Tuhan dan tidak memiliki kualitas hewan. Untuk meningkatkan derajat kemanusiaan seseorang harus menanamkan sifat malaikat dalam dirinya dan menjaga dirinya agar jangan dikuasai nafsu dan amarah, karena itu adalah sifat dari binatang. Kuasailah nafsu dengan mengendalikannya seperti seseorang yang mengendalikan kuda dan jadikanlah amarah sebagai senjata.[88]
Manusia sendiri dari bentuk luar yang disebut jasad dan bentuk dalam yang disebut sebagai hati atau ruh. Yang dimaksudkannya dengan hati bukanlah sepotong daging yang terletak di bagian kiri badan, tetapi yang dimaksudkan adalah sesuatu yang tidak dapat dilihat mata. Pengetahuan tentang hati ini merupakan kunci pengetahuan tentang Allah. Dengan mengutip QS 17:85, al-Ghazali tidak membedakan antara qalb dan ruh. Jasad digambarkan satu kerajaan, ruh adalah rajanya. Tentaranya terdiri dari indera dan fakultas lainnya. Nalar adalah perdana menteri, nafsu pemungut pajak dan amarah sebagai polisi. Sebagai pemungut pajak, nafsu cenderung untuk mengambil sesuatu untuk kepentingannya sendiri sedangkan amarah cenderung kepada kekasaran dan kekerasan. Pemungut pajak dan petugas polisi haruslah posisinya di bawah raja, tetapi tidak dimatikan karena mereka mempunyai tugasnya sendiri. Yang harus dijaga agar nafsu dan amarah tidak menguasai nalar agar tidak terjadi keruntuhan jiwa. Karena itu jiwa harus menjaga agar nafsu dan amarah tidak mempengaruhninya dalam berpikir. Kualitas malaikat adalah esensi dari manusia sedangkan kualitas hewan dan setan hanyalah bersifat aksidental. Esensi makhluk adalah sesuatu yang tertinggi dan yang khas baginya. Kualitas tertinggi manusia adalah nalar yang bisa merenungkan Tuhan. Jika fakultas malaikat yang mendominasi dirinya maka ketika mati dia bisa berkawan dengan para malaikat. Dalam hal kualitas hewan, manusia kalah dengan hewan tetapi unggul di bidang nalar sehingga dapat mengalahkan hewan. Jika kecenderungan hewan yang mendominasi dirinya maka pada waktu mati dia masih cenderung kepada dunia dan kekayaannya. [89]
Dengan jiwa rasional manusia bisa mendapatkan pengetahuan dan kekuatan. Pancainderanya dapat menangkap dunia kasat mata akan tetapi hatinya mengarah ke dunia ruh. Hati ini bagaikan cermin bersih yang memancarkan segala sesuatu yang ada di Lauhul Mahfūż. Namun dia dalam keadaan kotor karena pikiran-pikiran keduniaan. Intuisi manusia juga bisa mendapatkan ilham kenabian selama seseorang memurnikan dirinya dengan manjauhi syahwat-syahwat badani dan memusatkan pikirannya kepada Tuhan. Selain itu jiwa yang demikian juga mempunyai kekuatan sebagaimana kekuatan malaikat yang mampu mengatur alam. Jiwa yang demikian dapat melihat hal-hal yang gaib pada saat-saat jaga, mampu menggerakkan jasad-jasad di luar mereka dan mereka memperoleh ilmu bukan dengan cara belajar tetapi lewat intuisi. Ketidakmampuan melihat alam rohani bisa juga karena tercemarnya hati itu oleh pengetahuan duniawi. Karena itu pengetahuan duniawi yang diperoleh melalui pancaindera harus dibuang sama sekali.[90]
Kebahagiaan dicapai tidak terlepas dari pengetahuan tentang Tuhan. Semua nafsu badani akan musnah pada waktu orang mati, tetapi jiwa akan menemui Tuhan dengan kebahagiaannya. Pengetahuan tentang Tuhan juga bisa dilihat dari segi penciptaan manusia. Dari situ akan kelihatan kebijaksanaan, kekuasaan dan cinta Tuhan kepada makhluk. Pengetahuan tentang jiwa sangat penting untuk membimbing ke arah pengetahuan tentang Tuhan. Demikianlah kebesaran jiwa manusia. [91]
Kebesaran manusia terletak pada kemampuannya untuk terus menerus meraih kemajuan. Hal itu diperolehnya dengan kesusahan dan kesulitan. Namun harus belajar untuk mengetahui dirinya untuk sampai kepada tingkat malaikat, karena di dunia ini dia benar-benar sangat lemah. Ada gangguan sedikit saja pada dirinya manjadikan ia tidak berdaya. Kekuatannya terletak setelah mati dengan syarat ia berhasil meningkatkan dirinya tersebut.[92]
Al-Ghazali memandang manusia itu adalah qalbu karena qalbu inilah yang bisa menerima ma’rifat. Manusia siap untuk menerima ma’rifat dengan qalbunya tidak melalui anggota lainnya. Qalbulah yang mengetahui Allah, yang berusaha kepada Allah. Qalbulah yang menyingkap apa yang di sisi Allah. Dalam tasawufnya al-Ghazali sangat memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan hati manusia, karena kunci untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah Swt adalah bersihnya hati. Hati yang bersih diibaratkan sebagai cermin yang mengkilap dan dapat menerima gambaran dari luar secara jelas. Untuk bisa ma’rifat kepada Allah kebersihan hati merupakan suatu kewajiban. Untuk itu al-Ghazali membahas dengan jelas tentang hati dan fungsinya, disamping pengertian ruh, nafs, dan akal.
Anggota-anggota badan adalah pengikut, pelayan dan alat yang dipekerjakan oleh qalbu dan dipakainya sebagaimana pemilik memakai hamba sahayanya dan sebagaimana para pemimpin mempekerjakan rakyatnya dan pembuat mempekerjakan alatnya. Qalbulah yang diterima di sisi Allah apabila dia selamat dari selain Allah dan terdinding dari Allah bila ia tenggelam dengan selain Allah. Dialah yang berbahagia bila mensucikannya dan yang sengsara bila mengotorinya.[93] Selain membicarakan tentang qalbu, al-Ghazali juga mengemukakan pengertian tentang an-nafs, ar-rūh, dan al-‘aql.
1. Qalb, nafs, rūh, dan ‘aql
Qalbu mempunyai dua pengertian, pertama qalbu adalah daging yang terletak pada sebelah kiri dada. Yaitu daging khusus yang di dalamnya ada lobang dan di dalam lobang itu ada darah yang hitam yang menjadi sumber ruh dan tambangnya. Qalbu yang seperti ini ada pada binatang dan juga pada orang yang mati.[94] Pengertian kedua adalah sesuatu yang halus, ketuhanan, kerohanian. Qalbu inilah hakikat manusia, yang diajak bicara, yang disiksa, yang dicela dan dituntut. Qalbu yang halus ini mempunyai kaitan dengan qalbu yang jasmani. Kaitannya adalah bahwa dia mempunyai hubungan perangai yang terpuji dengan tubuh, dan sifat-sifat dengan yang disifati atau kaitannya orang yang memakai alat dengan alatnya atau kaitan orang yang bertempat dengan tempatnya.[95]
Tentang ruh (nyawa) ada dua pengertian. Pengertian pertama adalah berupa tubuh halus yang sumbernya adalah lobang hati yang jasmani, lalu tersebar dengan perantara urat-urat yang merasuk ke bagian-bagian badan lainnya. Perjalanan ruh pada badan, banjirnya cahaya-cahaya kehidupan, perasaan, penglihatan, pendengaran dan penciuman dari padanya atas semua anggota itu menyerupai banjirnya cahaya dari lampu yang diputar di sudut-sudut rumah. Sesungguhnya cahaya itu tidak sampai ke suatu bagian rumah melainkan ia bersinar dengan cahaya itu.[96] Adapun pengertian yang kedua adalah sesuatuyang halus dari manusia yang mengerti lagi yang mengetahui dari manusia, dan inilah yang dimaksudkan dengan firman Allah, al-Isrā: 85. “Katakanlah bahwa ruh itu adalah urusan Tuhanku.” Dia adalah urusan Tuhan dan akal tidak dapat memahaminya.[97]
Tentang nafs juga terdapat dua pengertian. Pengertian pertama adalah yang menghimpun kekuatan marah dan nafsu syahwat pada manusia. Pengertian ini yang umumnya dipakai oleh ahli tasawuf. Karena mereka itu menginginkan pengertiannya yang asli yang merupakan kumpulan sifat-sifat manusia yang tercela. Lalu mereka mengatakan bahwa tidak boleh tidak melawan nafsu dan memecahkannya. Untuk itu Rasulullah Saw mengisyaratkan dengan bersabda: Paling berat musuhmu adalah nafsumu yang berada di antara dua lambungmu.[98]
Adapun pengertian kedua dari an-nafs adalah sesuatu yang halus yang pada hakekatnya adalah manusia, yaitu nafs manusia dan zatnya. Akan tetapi dia disifatkan dengan sifat yang berbeda-beda karena keadaannya yang berbeda-beda. Apabila nafs itu tenang di bawah perintah dan kegoncangan berpisah daripadanya karena menentang nafsu syahwat maka dia disebut dengan an-nafs al-muṭma’innah, seperti firman Allah Swt pada surah al-Fajr: 27:28. Arti pertama dari an-nafs tidak dapat digambarkan kembalinya kepada Allah Swt dan dia menjauh dari Allah Swt dan dia termasuk tentara setan. Dan apabila tidak sempurna ketenangannya tetapi dia menjadi pendorong bagi nafsu syahwat dan penentang atasnya, maka disebut an-nafs al-lawwāmah karena ia mencaci pemiliknya dan ia teledor dalam beribadah kepada Tuhannya. Dalam surah al-Qiyāmah: 2 Allah Swt berfirman yang artinya: dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri). Kalau nafs itu meninggalkan tantangan, tunduk dan taat kepada tuntutan nafsu syahwat dan dorongan-dorongan setan, maka dia dinamakan an-nafs al-ammārah (surah Yusuf: 53)[99]
Al-‘aql juga punya dua arti. Arti yang pertama adalah bahwa akal itu kadang-kadang secara umum dimaksudkan ilmu tentang hakekat perkara. Maka akal adalah ibarat dari sifat ilmu yang tempatnya adalah hati.[100] Pengertian yang kedua dimaksudkan bahwa akal kadang-kadang adalah yang mengetahui ilmu-ilmu, kadang bisa berarti al-qalb dalam pengertian sesuatu yang halus.[101]
Al-Qalb itu mempunyai dua tentara yaitu tentara yang dapat dilihat dengan penglihatan dan yang tidak dapat dilihat kecuali dengan penglihatan hati. Hati berkedudukan sebagai raja dan tentara berkedudukan sebagai pelayan. Maksud adanya tentara bagi hati adalah untuk melancarkan jalan hati itu mencapai ma’rifat. Sesungguhnya kendaraan hati adalah badan dan perbekalannya adalah ilmu dan amal shalih yang dilakukannya di dunia ini. Dunia adalah kebun akhirat. Karena itu tentara-tentara hati yang dapat dilihat bisa membantunya untuk beramal shalih.[102]
2. Hati dan Tentara Batin
Tentara batin yang berupa kemarahan dan nafsu syahwat kadang-kadang bisa tunduk kepada perintah hati dan kadang-kadang tidak. Kalau dia tunduk dia bisa membantu hati menuju jalan yang ditujunya. Namun bilamana tentara kemarahan dan tentara nafsu syahwat ini durhaka kepada hati, menyimpang dan melampaui batas maka keduanya bisa menguasai hati dan memperbudak hati. Akhirnya kepergian hati untuk merealisasikan tujuannya jadi tidak akan sampai.[103]
Namun hati masih mempunyai tentara lain, yaitu: ilmu, hikmah, dan berpikir. Dan hak hati adalah meminta pertolongan kepada tentara ini karena ia adalah tentara Allah Swt. Kadang-kadang tentara kemarahan dan tentara nafsu syahwat itu meminta bantuan kepada tentara setan sedangkan hati kalau tidak meminta bantuan kepada tentara Tuhan tadi maka hati akan binasa dan rugi. Demikian pada umumnya keadaan makhluk manusia. Akal mereka tunduk kepada nafsu syahwatnya. Seharusnya nafsu syahwat itu tunduk kepada akal mereka.[104]
3. Kekhususan Qalbu
Pada manusia terdapat empat macam sifat, sabu’iyah (kebuasan), bahimiyah (kebinatangan), syaiṭaniyah (kesetanan), dan rabbaniyah (ketuhanan). Semua sifat itu terkumpul dalam hati. Apabila ia menanamkan sifat ketuhanan dalam dirinya, taat kepada Allah Swt dengan menentang sifat nafsu syahwat membuat hatinya jadi berkilau. Sedangkan perbuatan maksiat kepadaNya menjadikan hati kotor dan hitam. Maka terangnya hati bisa diusahakan dengan zikir, dan takwa adalah pintu zikir. Zikir pintu kasyaf dan kasyaf adalah kebahagiaan dengan bertemu Allah Swt.[105]
Orang yang beriman terbagi tiga tingkatan. Tingkatan pertama adalah imannya orang awam. Mereka beriman karena taklid. Yang kedua imannya mutakallimin yang derajatnya mendekati iman orang awam. Yang ketiga adalah imannya orang arifin. Iman yang ketiga ini lebih kuat karena mereka mendapatkannya langsung dari Tuhan.[106]
Kekhususan qalbu manusia dapat dilihat pada ilmu pengetahuan dan kehendak (iradah). Adapun ilmu maka adalah ilmu tentang urusan dunia dan akhirat dan hakekat-hakekat yang berhubungan dengan akal. Sesungguhnya semua ini adalah urusan-urusan di luar apa yang ditangkap oleh panca indera. Adapun iradah maka apabila dapat diketahui dengan akal, akan akibat suatu perkara dan jalan kebaikan padanya, niscaya bangkit daripadanya keinginan kepada segi kemaslahatan dan kepada mencari sebab-sebabnya dan kehendak. Dan demikian itu bukan kehendak nafsu syahwat dan kehendak binatang. Jadi hati manusia itu khusus ditujukan kepada ilmu dan iradah yan mana semua hewan terlepas daripadanya. Kekhususan manusia adalah pada ilmu dan hikmah. Dan paling mulia di antara macam-macam ilmu ialah ilmu tentang Allah, sifat-sifatNya dan perbuatan-perbuatanNya. Pada ilmu itu kesempurnaan manusia dan pada kesempurnaan manusia itu kebahagiaannya dan kepatuhannya untuk berdekatan di sisi Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Sempurna. Kadang-kadang manusia itu berada pada tingkatan binatang dan kadang-kadang tingkatan malaikat. Sedangkan tingkatannya yang sebenarnya adalah berada pada tingkatan binatang dan malaikat.[107]
Qalbu siap menerima dua macam ilmu, ilmu akliah dan ilmu syar’iyah. Ilmu akliah terbagi dua, ilmu dharuri dan ilmu yang diusahakan. Ilmu yang diusahakan itu terdiri dari ilmu duniawi dan ilmu ukhrawi.[108] Ilmu yang bukan dharuri kadang-kadang diperoleh begitu saja dan kadang-kadang diperoleh dengan belajar. Pengetahuan yang diperoleh tanpa usaha disebut dengan ilham. Ilmu yang didapatkan karena ilham itu diperoleh oleh para wali dan orang suci karena kasih saying Tuhan. Adapun ilmu yang didapat karena wahyu diberikan kepada para Nabi. Ilmu yang didapat karena usahanya mencari ilmu dikhususkan untuk para ulama.[109]
Adapun orang-orang sufi tidak tertarik kepada ilmu ta’limiyah. Mereka lebih tertarik pada ilmu ilhamiyah. Para Nabi dan wali mengetahui masalah-masalah ghaib karena dada mereka dipenuhi oleh Nur Ilahi yang mereka dapatkan tanpa belajar, cukup dengan cara hidup zuhud.[110] Hati itu mempunyai dua pintu, pintu yang terbuka kepada alam malakut dan pintu satunya lagi terbuka kepada panca indera dan alam syahadah. Ilmu para Nabi dan wali datang dari pintu yang terbuka kealam malakut, sedangkan ilmu hikmah datang dari pintu panca indera. Hati harus dijaga dari perbuatan-perbuatan yang merusak dan harus selalu dibersihkan dengan melakukan perbuatan-perbuatan terpuji agar tercapai kepada derajat akhlak kenabian. Penguasaan setan atas hati mengakibatkan terhalangnya ilmu-ilmu yang diperoleh dengan ilham.
Al-Ghazali juga menguraikan tentang qalb dan nafs serta kebahagiaan dalam kita Kimiā as-Sa’ādah. Diri itu terbagi dua, yang pertama disebut qalb dan yang kedua nafs dan ruh. An-Nafs adalah qalbu yang dikenal dengan mata batin. Jadi qalbu bukanlah sepotong daging yang terletak di dada bagian kiri. Karena hal ini juga terdapat pada binatang dan orang yang sudah meninggal. Dan segala sesuatu yang dapat dilihat dengan mata lahir dinamakan dengan alam syahādah.[111]
Adapun qalbu yang sebenarnya bukan seperti dimaksudkan di atas akan tetapi yang terdapat di alam gaib. Seluruh anggota tubuh adalah askarnya sedangkan qalbu itu sendiri rajanya. Sifatnya adalah ma’rifatullah dan musyahadah akan keindahan hadhrat Ilahi.[112] Qalbu diibaratkan oleh al-Ghazali dengan cermin, dan demikian juga dengan lauh al-mahfuẓ karena di sana terdapat semua gambaran yang wujud. Apabila dua cermin itu saling dihadapkan maka akan terlihat gambar yang ada di cermin yang satu pada cermin lainnya. Demikian juga akan nampak apa yang ada di lauh al-mahfuẓ itu oleh qalbu bilamana qalbu tersebut bebas dari kotoran dunia. Tetapi bilamana qalbu itu kotor maka apa yang ada di alam malakut itu menjadi tertutup baginya.[113] Qalbu tidak akan dapat membaca apa yang ada di alam malakut selama ia tidak memisahkan kesibukannya dengan urusan dunia. Ilham tidak masuk melalui indra manusia tetapi langsung ke qalbu yang bersih tanpa diketahui dari mana datangnya. Qalbu termasuk alam malakut tetapi akan tertutup untuk mengetahui yang gaib bilama dia diarahkan ke urusan dunia.[114]
Sehubungan dengan ajaran tasawufnya, al-Ghazali juga membedakan antara wali dan Nabi. Konsep insan kamil (manusia yang sempurna) diungkap al-Ghazali dalam kitab al-Munqiż min ad-Ḍalāl.[115] Karamat auliya merupakan bidayat auliya. Orang awam tidak dapat memahami ini karena mereka tidak mengalaminya sendiri dan orang yang mengalaminya, yaitu para sufi, pengalaman ini tidak bisa dijelaskan dengan perkataan. Orang sufi merasakan ini melalui żauq. Orang yang menempuh jalan sufi akan mengetahui hakekat kenabian. Kalau akal merupakan satu tingkat dimana manusia dapat melihat alam gaib serta rahasia lainnya yang tak dapat diketahui oleh akal. Sifat khas kenabian hanya dapat diketahui melalui żauq dengan menempuh jalan sufi.
Jadi gambaran manusia yang dikehendaki oleh al-Ghazali manusia yang bersih qalbunya dengan cara mengamalkan ajaran tasawuf sehingga akhirnya seseorang sampai ke tujuan ma’rifat kepada Allah Swt. Al-Ghazali membagi manusia kepada empat golongan, yaitu para anbiya, para wali, ulama, dan orang awam. Para anbiya adalah orang yang mendapatkan wahyu dan ilmu dari Tuhan, para wali orang yang mengamalkan ajaran tasawuf sehingga bersih hatinya dan akhirnya mendapatkan ilmu gaib yang terdapat di lauh al-mahfuẓ melalui ilham. Sedangkan para ulama adalah mereka yang mendapatkan ilmunya melalui belajar yang dinamakan dengan ilmu ta’limiyah atau ilmu mu’amalah. Yang inti dari manusia adalah qalbunya. Dan qalbu yang disucikan melalui jalan tasawuf bisa mengangkat derajatnya yang lebih tinggi dari malaikat.
B. Hidup yang Baik adalah Hidup Orang Sufi
Dalam al-Munqiż min ad-Ḍalāl, al-Ghazali memaparkan usahanya mencari kebenaran, yang akhirnya sampai kepada tasawuf. Kitab tersebut ditulisnya berdasarkan permintaan yang tulus dari seorang saudara seagama agar dapat dikupas tujuan terakhir dan rahasia segala ilmu, tentang madzhab, kesulitan-kesulitan yang dialami dalam mencapai yang benar karena adanya pertentangan faham dan aliran, keberanian meninggalkan taklid agar dapat berpikir bebas. Selain itu juga diminta agar al-Ghazali dapat menerangkan hasil kajiannya terhadap ilmu kalam, filsafat, ilmu kaum ta’limiyah dan tasawuf.[116]
Tentang tingkat kebenaran ilmu yang dikehendaki al-Ghazali adalah ilmu yang tidak membawa keraguan sedikit pun. Dikemukakannya bahwa yang pertama harus dicarinya ialah tentang pengetahuan akan hakekat segala sesuatu. Karena itu harus jelas diketahui apa yang dimaksud dengan ilmu. Ilmu yang sesungguhnya ialah tersingkapnya sesuatu dengan jelas dan tak ada lagi celah-celah untuk merasa ragu. Andaikata ada orang menyangkalnya dengan merubah batu menjadi emas, atau tongkat menjadi ular, tetapi keyakinan akan kebenaran pengetahuan yang diperoleh itu tidak berubah. Demikianlah keyakinan ilmu yang ingin diperoleh al-Ghazali, kebenaran mutlak.[117]
Setelah memperhatikan ilmu yang ada padanya, al-Ghazali mengakui bahwa ilmunya sendiri masih belum sampai pada tingkat seperti yang dikehendakinya itu. Ilmu yang diperolehnya tidak meyakinkan dirinya, karena hanya diperoleh dengan pancaindera atau dengan menggunakan akal. Kebenaran ilmu yang seperti itu tidak meyakinkan, kebenarannya relatif. Nanti kalau ada pendapat yang lebih baru lagi dengan bukti-bukti yang lebih kuat maka pendapat lama pun ditinggalkan. Al-Ghazali pun bingung dan gelisah hingga jatuh sakit hampir selama dua bulan. Namun kemuliaan Allah Swt menyembuhkan penyakit yang dialaminya dan pikirannya kembali bisa mempercayai apa yang diperoleh oleh akalnya berkat adanya petunjuk Tuhan berupa nur yang dipancarkan ke dalam batinnya. Nur ini adalah kunci pembuka sebagian besar dari ilmu ma’rifat. Untuk mendapatkan nur ini hendaklah menjauhi dunia tipuan dan menghadap sepenuh hati ke alam abadi. Nur ini memancar karena kemurahan ilahi.[118]
Kemudian al-Ghazali mengungkapkan berbagai golongan yang mencari kebenaran. Mereka itu adalah para ahli ilmu kalam, golongan bathiniyah, kaum filsuf, dan golongan sufi.[119] Setelah mempelajari ilmu keempat golongan tersebut, dan menunjukkan kelemahan ilmu kalam, ilmu ta’limiyah dan filsafat, akhirnya al-Ghazali berkesimpulan bahwa ilmu yang dapat meyakinkan dirinya akan kebenaran adalah ilmu yang ditempuh oleh kaum sufi.[120]
Menurut al-Ghazali jalan sufi ditempuh dengan ilmu dan amal, membersihkan diri dengan mengosongkan batin dan mengisinya dengan zikir kepada Allah. Karena ilmu dianggap al-Ghazali lebih mudah dari amal maka dipelajarinya buku-buku tasawuf karangan ulama-ulama sufi terkenal. Dari usaha memahami ajaran tasawuf tersebut diketahui bahwa bagi orang sufi pengalaman batin itu lebih penting. Setelah mempelajari ilmu tasawuf maka al-Ghazali memasuki amalan orang sufi dengan pertama menghilangkan segala pengaruh dunia seperti kedudukan, harta, beserta godaan lainnya. Untuk itu dia harus meninggalkan Baghdad dengan segala kesenangannya dan pergi ke Syria menetap selama dua tahun untuk melakukan uzlah, khalwat, riadlah, dan mujahadah sesuai dengan ajaran tasawuf yang dipelajarinya sehingga batinnya menjadi bersih dan diisi dengan zikir kepada Allah Swt. Berkhalwat itu berlangsung selama lebih kurang sepuluh tahun. Banyak rahasia ilahi yang terbuka selama dia melaksanakan khalwat tersebut dan akhirnya al-Ghazali berkesimpulan bahwa kaum sufi itulah yang benar karena mereka menempuh jalan yang dikehendaki Allah Swt. Cara hidup sufi itulah yang utama, tingkah lakunya tepat dan tinggi budi pekertinya. Gerak-gerik kaum sufi itu diterangi sinar cahaya kenabian, baik lahir maupun batin. Tidak ada cahaya yang lebih terang melebihi cahaya kenabian. Jalan yang ditempuh adalah mula-mula dengan membersihkan hati, mengosongkannya sama sekali dari segala sesuatu selain Allah, kemudian menenggelamkan hati dengan zikir kepadaNya dan akhirnya fana pada Allah Swt. Kemudian terjadilah peristiwa mukasyafah dan mujahadah hingga akhirnya mereka dapat menyaksikan sendiri malaikat dan arwah para Nabi mendengar suara mereka dan mendapat pelajaran dari mereka. Setelah itu meningkat pula kemampuan dirinya dengan pengetahuan yang tidak mungkin dilukiskan dengan kata-kata. Akhirnya sampailah ke derajat yang begitu “dekat” kepadaNya dan orang yang mengalaminya tidak dapat melukiskannya maka janganlah hendak bertanya tentang apa yang mereka alami. Barangsiapa yang belum sampai ke tingkat itu maka belumlah ia mengenal hakekat kenabian karena ini hanya bisa difahami dengan zauq oleh para sufi.[121]
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan tentang hasrat yang kuat dari al-Ghazali untuk mencari kebenaran agar bisa menjadi pedoman hidupnya, dan kebenaran itu didapatkannya melalui ajaran-ajaran yang terdapat dalam tasawuf. Namun al-Ghazali tidak mengikuti ajaran tasawuf tertentu, tapi tasawuf yang berdasarkan pemahamannya sendiri. Dengan tasawuf al-Ghazali mendapat kebenaran hakiki dan rasa lebih dekat kepada Tuhan, yang merupakan tujuan semua orang sufi. Akhirnya al-Ghazali menyatakan jalan sufilah yang paling tepat. Berbagai kitab tasawuf ditelaah, seperti kitab ar-Risālah al-Qusyairiah, Qūt al-Qulūb karangan Abu Thalib al-Makki, kitab-kitab karangan al-Haris al-Muhasibi, serta ucapan-ucapan al-Junaid, as-Syibli, Abu Yazid dan lainnya. Al-Ghazali menarik kesimpulan bahwa tasawuflah satu-satunya sarana yang dapat mengantar pada konsepsi kebenaran yang sejati. Setelah selesai membahas ilmu-ilmu yang berusaha mencari kebenaran itu akhirnya dengan penuh kesungguhan perhatian ditujukan kepada jalan sufi. Dari pengkajian itu diketahui bahwa hanya dengan ilmu dan amallah jalan menuju Tuhan bisa terlaksana. Amalan kaum sufi dimaksudkan untuk memutuskan segala hambatan nafsu dan menyucikan diri dari akhlak tercela dan semua sifat jahat, sampai akhirnya pengosongan hati dari selain Allah dan mengisinya dengan zikir pada Allah.[122] Al-Ghazali mulai dengan melaksanakan ajaran tasawuf di Syam, sebagaimana diungkapkannya di kitabnya Munqiż[123] berpegang kepada kebenaran bagi al-Ghazali sama dengan berpegang pada kebaikan. Jalan yang ditempuh itu bagi al-Ghazali pertama-tama dengan penyucian hati (takhalli), kemudian pengisian qalbu dengan zikir (tahalli), yang kemudian sampai kepada terbukanya rahasia ketuhanan (tajalli). Semuanya itu dilakukan dengan suatu kesungguhan (mujahadah) dan melatih diri (riyadah).
Di dalam Encyclopedia of Religion and Ethics dikemukakan bahwa etika al-Ghazali perlu perhatian khusus karena dia merupakan seorang ortodoks muslim akhir. Bagi al-Ghazali hidup dan ajaran agama adalah satu, berakar pada kepribadian. Al-Ghazali terlepas dari perangkap ambisi dunia dan yakin atas kebenaran dan keuatan moral Islam.[124] Filsafat moralnya merupakan sintesis dari aneka ragam doktrin yang telah dikemukakan di atas. Al-Ghazali juga mengenal doktrin tentang empat keutamaan yang diuraikannya dalam bukunya Mizan al-‘Amal. Teorinya adalah mistisisme yang menghidupkan syari’at dan ajaran Islam seperti yang terlihat dari bukunya Ihyā ‘Ulūm ad-Dīn. Agama merupakan suatu pengalaman jiwa yang dimanifestasikan dalam amal.[125]
Secara ringkas karya etikanya yang utama dapat dilihat dari bukunya Ihyā ‘Ulūm ad-Dīn. Kitab Ihya terdiri dari empat jilid dan setiap jilid berisi sepuluh bab. Jilid pertama membicarakan tentang kewajiban-kewajiban agama dalam pengertian sempit (ibadat), jilid kedua tentang kewajiban-kewajiban sosial dan dan kehidupan politik (‘adat), jilid satu dan dua pengaturannya diambil terutama dari kitab-kitab hadits dan fiqh. Jilid ketiga membicarakan sesuatu yang berhubungan dengan jiwa dan pengasingan diri. Sedangkan jilid empat adalah yang berhubungan dengan penyelamatan jiwa dan kembalinya kepada Tuhan. Jilid tiga dan empat didasarkan pada pedoman asketik sufisme. Pada jilid satu dan dua al-Ghazali tidak membicarakan tentang kewajiban-kewajiban agama dan lembaga-lembaga sosial dan politik Islam seperti halnya yang dibahas oleh ulama-ulama fiqh, tetapi al-Ghazali menguraikan rahasia-rahasianya dan hubungannya dengan kehidupan spiritual dan hari kemudian. Jika al-Ghazali mulai menguraikan sebagaimana yang diuraikan pada kitab-kitab hadits dan fiqh, yang berhubungan dengan seremonial, kemudian al-Ghazali memberikan referensi kepada kesucian hati dengan meninggalkan setiap kejahatan dan bebas dari semua yang tidak diperintahkan Tuhan. Sama halnya dalam membicarakan ritual shalat unsur batiniyah juga ditekankan. Al-Ghazali membicarakan shalat yang dilakukan sebagaimana mestinya dengan praktek yang benar (pious) lebih bermakna dari pada shalat yang dikemukakan oleh syariat. Al-Ghazali juga tidak mengabaikan kewajiban seperti yang telah diatur oleh syariat. Kewajiban yang lebih rendah selalu digabungkan dengan kewajiban yang lebih tinggi dan dari segi ini al-Ghazali menggabungkan perbedaan yang dibuat dalam fiqh antara fardu ‘ain dan fardu kifayah. Demikian juga dalam hal puasa, bagi orang-orang awam pengertiannya adalah tidak makan, minum, dan dari segala yang membatalkan, tetapi bagi mereka dengan tingkat spiritual yang lebih tinggi ini berarti menghindarkan diri dari dosa-dosa jasmaniah, seperti mata, telinga, dan sebagainya; tetapi bagi orang yang berada pada tingkatan ketiga (yang lebih tinggi), yang hanya sedikit bisa sampai ke sini, puasa berarti juga memalingkan diri dari hal-hal yang duniawi dan semua yang bukan dari Tuhan.[126]
Di akhir jilid kedua dari Ihya setelah membicarakan kewajiban-kewajibn agama dan kewajiban sosial al-Ghazali menyatakan bahwa Nabi Muhammad adalah sebagai ukuran standard dari kebajikan, dan mengomentari bahwa Nabi Muhammad sebagai suri teladan dalam bertingkah laku.[127]
Pada jilid tiga dan empat dari Ihya dibicarakan karakteristik dari Tuhan dan hakikat dari sifat-sifat Tuhan. Bab pertama dari buku ketiga ini membicarakan tentang keajaiban hati dan bab kedua membicarakan tentang kebajikan-kebajikan jiwa. Adalah pada bab kedua ini etika secara filosofis dibicarakan. Di sini, dengan mengikuti uraian Plato, al-Ghazali menyatakan bahwa keadilan hanya mempunyai antithesis ketidakadilan. Kebajikan utama adalah kebijaksanaan, yang sebenarnya tidak disebutkan sama sekali dalam karakter yang ada pada Nabi Muhammad yang telah dikemukakan sebelumnya. Jilid tiga membahas pemurnian jiwa dari hawa nafsu; dan jilid keempat mengarahnya jiwa kepada Tuhan dengan cara bertobat, takut, sabar, dan syukur, dan akhirnya sampai menyatu dengan , dan akhirnya sampai menyatu dengan Tuhan dalam cinta ((in union with Him in love).
Al-Ghazali menganggap orang perlu semacam pembimbing, karena hanya sedikit orang yang secara alami sempurna. Yang lainnya adalah lemah, dan memerlukan bimbingan keagamaan yang setelah para nabi wafat, dipercayakan kepada yang lain lagi dengan cara-cara yang bervariasi. Sebagai konsekuensinya, al-Ghazali beranggapan bahwa manusia itu sangat dianjurkan untuk menempatkan dirinya di bawah pembimbing spiritual (syekh), seperti yang ada pada orde-orde tarikat. Sejumlah besar perkumpulan keagamaan dalam Islam, yang punya pengaruh besar di kalangan orang awam – khususnya di Afrika \utara – sampai sekarang ini, mempercayai perkataan-perkataan dari syekh ini. Tetapi diragukan apakah pengaruh moralnya terhadap masyaraat telah mewujudkan harapan-harapan yang diharapkan oleh para ulama.[128]
Di dalam tasawuf dibicarakan tentang hubungan diri manusia kepada Tuhan dengan cara-cara tertentu. Hubungan diri di sini maksudnya apakah manusia itu menyatu dengan Tuhannya atau hanya sekedar dapat menghayati keberadaan Tuhan karena Tuhan memberikan nur petunjukNya kepada makhluk yang dikasihiNya itu. Ada beberapa istilah untuk ini dengan pengertian yang berbeda-beda, yaitu hulul, ittihad, atau ma’rifah. Dan al-Ghazali dalam tasawufnya membatasidiri sampai kepada ma’rifah tersebut. Kalau dihubungkan dengan etika yang tujuan akhirnya mencari kebahagiaan, maka bagi seorang sufi dengan tercapainya ma’rifah tercapailah kebahagiaan.
Tujuan hidup manusia adalah mencapai kesempurnaan yang diperoleh dengan penghayatan makrifat. Jalan yang ditempuh mencapai makrifat kepada Allah, menurut al-Ghazali adalah dengan menyucikan dirinya dan selalu berzikir mengingat Allah.[129] Dengan demikian gangguan sistem atau pun kesibukan duniawi yang mengakibatkan lalai mengingat Allah dapat dihindari.
C. Jalan yang Ditempuh dalam Tasawuf
1. Takhalli[130]
Hati dibersihkan dari kotoran keduniawian dan diisi dengan zikir untuk dapat menerima petunjuk Allah. Di dalam kitab Ihya, al-Ghazali membicarakan perbuatan yang bida merusak atau mengotori qalbu seseorang. Ini ditulisnya pada bagian Rubu’ al-Muhlikāt. Untuk membersihkan hati seseorang harus menjaga diri dari sifat loba, dapat mengendalikan seks, bahaya lidah, marah, dendam dan dengki, menjauhi tercelanya dunia, tidak bersifat bakhil, cinta harta, menjauhi kemegahan dari riya’, sombong dan congkak.
Sesuatu yang dapat mengotori hati adalah gangguan syetan. Hati itu selalu dalam perubahan karena adanya goresan-goresan yang menggerakan hati. Ada goresan yang mendorong kepada kejahatan yang disebut dengan was-was atau godaan syetan dan goresan yang mendorong kepada kebaikan. Kedua dorongan itu saling tarik menarik. Godaan syetan selalu datang dengan perantaraan nafsu syahwat yang memperdayakan manusia. Untuk mengatasi bisikan syetan tersebut hendaklah selalu mengingat Allah, dan harus dapat menahan lapar sehingga nafsu syahwat dapat dihancurkan.
Di antara jalan masuknya syetan ke dalam hati manusia adalah melalui sifat marah, nafsu syahwat, hasad, rakus, makan yang terlalu kenyang, bermegah-megahan dengan rumah dan perabotnya, pakaian, tamak kepada manusia, sifat tergesa-gesa, bakhil dan takut menjadi miskin, orang awam yang tidak membiasakan diri pada ilmu, fanatic mazhab, kebanggaan akan binatang ternak, dan luasnya tanah pertanian. Untuk mengatasi ini hendaklah orang bertakwa dan senantiasa ingat kepada Allah.
Guna menjaga kebersihan hati seseorang juga harus mengutamakan latihan jiwa dengan mengutamakan budi pekerti yang baik dan mengobati penyakit hati. Menurut al-Ghazali untuk menjaga budi pekerti yang baik seseorang harus dapat mengendalikan empat daya yang terdapat dalam batin manusia. Daya itu adalah kekuatan ilmu, kekuatan ammarah, kekuatan nafsu syahwat dan kekuatan untuk berlaku adil diantara ketiga daya tadi.
Dengan kekuatan ilmu akan diketahui tentang jujur dan dusta, yang benar dan yang batil, yang bagus dan yang buruk. Bagusnya kekuatan marah adalah selama marah itu dapat dikendalikan pada batas tertentu. Kekuatan nafsu itu bagus bila dapat diatur menurut akal dan syara’sedangkan kekuatan keseimbangan itu bagus selama ia dapat menguasai daya marah dan daya nafsu di bawah kendali akal dan syara’. Sedangkan pokok akhlak dan dasar-dasarnya ada empat yaitu hikmah, keberanian, menjaga kehormatan diri dan keadilan.
Untuk membersihkan hati, al-Ghazali juga mengemukakan usaha untuk menghancurkan dua macam nafsu syahwat. Yang pertama adalah nafsu syahwat perut dan nafsu inilah yang banyak membinasakan manusia. Perut adalah sumber segala macam nafsu syahwat dan timbulnya segala macam penyakit dan bencana. Selain itu ada lagi nafsu syahwat makan dan perkawinan yang membawa kepada keinginan akan kedudukan dan harta. Harta dan kedudukan menimbulkan persaingan dan kedengkian, serta menimbulkan ria, saling membanggakan, bermegah diri dan kesombongan. Akhirnya akan membawa kepada dengki, iri hati, permusuhan dan kebencian, kedurhakaan, perbuatan keji dan mungkar.
Untuk bisa mengendalikan nafsu syahwat tersebut al-Ghazali member jalan dengan cara tidak terlalu banyak makan dan minum karena banyaknya makan dan minum dapat menyuburkan syahwat. Ada sepuluh faedah lapar, yaitu:
a. Dengan lapar hati menjadi bersih dan penglihatan hati menjadi jelas.
b. Hati siap menerima kelezatan yang disebabkan oleh zikir, serta berkesannya munajat kepada Allah.
c. Hilangnya kesombongan yang menimbulkan kelalaian kepada Allah Swt.
d. Orang tidak akan lupa akan bencana dan siksa dari Allah.
e. Dapat menghancurkan semua nafsu syahwat yang membawa kepada maksiat dan berbuat kejahatan.
f. Dapat mengurangi banyaknya tidur karena banyaknya tidur berarti menyia-nyiakan umur, hilangnya shalat tahajjud dan kasarnya hati.
g. Lapar membantu ketekunan dalam beribadah.
h. Badan akan sehat dan tercegah dari penyakit.
i. Biaya hidup menjadi ringan.
j. Memungkinkan membantu orang lain seperti sedekah kepada anak yatim dan fakir miskin.
Di antara perbuatan yang membinasakan, al-Ghazali juga mengemuakakan tentang bahaya-bahaya lidah. Lidah bisa membawa kepada kebaikan dan dapat membawa kepada kejahatan. Karena itu lidah harus dijaga dengan cara jangan berbicara sesuatu yang tidak penting, jangan bicara berlebihan, tidak melakukan perbantahan, perdebatan dan pertengkaran, tidak berkata keji dan memaki, melaknat, bergurau, mengejek dan mentertawakan, menyiarkan rahasia, janji dusta, barkata dusta dan sumpah palsu, mengumpat, serta perkataan yang maksudnya mengadu domba.
Menghindari marah yang berlebihan, dendam, dan dengki merupakan usaha yang dapat membersihkan hati. Selain itu cinta dunia menyebabkan orang lalai dalam mengingat Allah. Al-Ghazali mengemuakakan tiga macam perbuatan di dunia ini, yaitu:
a. Perbuatan yang dapat menemani seseorang di akhirat nanti, yaitu ilmu dan amal. Yang dimaksud dengan ilmu adalah ilmu tentang Allah, sifat-sifatNya, af’alNya, malaikatNya, kitab-kitabNya, dan utusanNya, alam malakut dan ilmu syariat. Sedangkan yang dimaksud dengan amal adalah ibadah yang dilakukan secara ikhlas karena Allah Ta’ala.
b. Setiap perbuatan yang member keuntungan segera tetapi tida ada manfaatnya bagi akhirat, sepert merasa lezat dari segala macam maksiat dan bersenang-senang dengan hal yang mubah yang melewati dari sekedar keperluan. Demikian juga sesuatu yang menuju epada kemewahan dan kehendak hawa nafsu, seperti bersenang-senang dengan harta yang melimpah, dari emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, istana, rumah, pakaian mahal dan makanan lezat. Inilah dunia yang tercela.
c. Perbuatan yang berada di tengah antara yang pertama dan kedua di atas. Apabila perbuatan yang kedua itu menolong untuk perbuatan yang pertama, maka yang dilakukannya itu menolong kepada amal perbuatan akhirat. Demikian juga perbuatan kedua yang dilakukannya dengan maksud untuk kesehatan dan kelangsungan hidup yang menyampaikan kepada ilmu dan amal. Tapi apabila pendorong perbuatan kedua itu untuk keuntungan duniawi semata, maka perbuatannya itu sifatnya duniawi dan tidak mendapatkan keuntungan apa-apa. Segala sesuatu yang bukan karena Allah termasuk duniawi, dan segala sesuatu yang dilakukan karena Allah tidak termasuk perbuatan duniawi.
Perbuatan lain yang harus dijaga karena termasuk yang membinasakan adalah perbuatan yang sifatnya menuju kepada cinta harta dan bakhil. Tentang faedah harta al-Ghazali mengemukakan adalah berguna untuk biaya hidupnya sendiri dengan maksud untuk ibadah, untuk sedekah, menjaga kehormatan dan upah pelayanan, dan juga harta yang diserahkan untuk kemaslahatan umum, seperti membangun mesjid, jembatan, rumah sakit dan lainnya. Namun bahaya harta yang berarti juga bahaya keagamaan adalah yang mendorong kepada kemaksiatan, mendorong untuk bersenang-senang dalam hal yang mubah, dan harta yang melalaikannya untuk mengingat Allah. Al-Ghazali menyatakan tercelanya sifat rakus, tamak, dan terpujinya sifat qana’ah, sabar dan pemurah. Sifat tercela lainnya adalah kemegahan dan ria, serta sombong dan ujub.
Dalam mengakhiri uraiannya tentang hal-hal yang membinasakan, al-Ghazali mengemukakan orang-orang yang terperdaya dan tertipu. Orang yang terperdaya itu adalah mereka yang melihat kemungkinan itu baik, mereka yang tidak bisa membedakan antara apa yang ia kerjakan untuk diri sendiri dan apa yang mreka kerjakan untuk Allah, serta orang yang meninggalkan wajib tetapi mengerjakan yang sunat. Mereka itu adalah para ahli ilmu, ahli ibadah dan ahli beramal serta orang-orang yang berprilaku tasawuf.
Yang pertama adalah ahli ilmu. Mereka tidak mengamalkan ilmu yang dikuasainya itu. Orang yang ahli fiqh tidak mengamalkan keahliannya, demikian juga orang yang mengetahui ilmu tentang kemaksiatan tetapi tidak menjauhi maksiat, mengetahui tentang akhlak tercela namun tetap saja mengerjakan yang tercela. Yang kedua ahli ibadah dan ahli beramal. Di antara merea adalah orang yang tertipu dalam shalat, tertipu dalam membaca al-Qur’an, tertipu dalam haji, tertipu dalam zuhud dan tertipu dengan perbuatan yang kelihatan dari luar adalah baik. Orang yang tertipu dalam puasa, misalnya, mereka itu berpuasa sepanjang tahun, atau pada hari-hari mulia namun mereka tidak memelihara lisannya dari perkataan kotor, mereka berbohong dan ria, tidak memelihara perut dari yang haram ketika berbuka puasa. Maka mereka termasuk orang yang tertipu. Demikian juga orang yang menyuruh berbuat kebajikan dan melarang kemungkaran, namun ia sendiri berbuat mungkar kepada manusia. Yang ketiga orang yang berprilaku tasawuf. Mereka itu tertipu dengan pakaian, bentuk dan pembicaraan. Mereka berprilaku seperti orang yang mengamalkan ajaran tasawuf dan menganggap dirinya sudah seperti orang-orang yang ahli tasawuf sedangkan mereka tidak melakukan mujahadah, riyadhah, berzikir, dan mensucikan batin dan dosa.[131]
Demikian perbuatan dan sifat yang merusak dikemukakan oleh al-Ghazali yang menjadikan hati itu kotor dan tidak mungkin dapat menerima nur dari Allah Swt.
2. Tahalli
Setelah terjadi pengosongan jiwa dari urusan-urusan duniawi yang melalaikan diri untuk mengingat Allah maka orang-orang sufi tersebut berjuang untuk mengisi dirinya dengan perbuatan yang menyelamatkan. Dalam Ihya, al-Ghazali membahas perbuatan-perbuatan yang membawa kepada keselamatan jiwa itu pada Rubu’ al-Munjiyat. Selain membicarakan tentang taubat, al-Ghazali juga mengupas secara rinci tentang hakikat sabar, keutamaan sabar dan segala sesuatu yang dapat menolong untuk dapat bersabar. Tentang takut dan harap, fakir dan zuhud, tawakkal, mahabbah, ridla, ikhlas, muraqabah dan muhasabah, tafakkur, dan mengingat kematian serta apa yang terjadi sesudah kematian.
Taubat wajib segera dilaksanakan karena perbuatan maksiat itu merusak iman. Wajib taubat itu umum pada setiap orang dan setiap keadaan. Apabila taubat itu memenuhi syarat-syaratnya maka taubatnya pasti diterima. Pada kitab Taubat al-Ghazali membahas tentang hakikat taubat, taubat dari dosa kecil dan dosa besar, kesempurnaan taubat dan syarat-syaratnya serta cara untuk melepaskan diri dari terus menerus berbuat dosa.
Setiap amal yang dilakukan dalam rangka pengisian jiwa dengan hal-hal yang terpuji ini seseorang akan merasakan perubahan dalam dirinya. Pengaruhnya pada hati adalah hatinya menjadi bersih sehingga dapat menangkap kenyataan-kenyataan yang bersifat gaib. Al-Ghazali menggambarkan hati itu seperti cermin. Apabila permukaan cermin itu bersih dari kotoran keduniawian dan kemudian diarahkan ke hadirat Allah dengan perantaraan dzikir, maka hati manusia akan dapat menerima cahaya dzat Tuhan.
Dalam kitab Ihya dikemukakan pada bagian Keajaiban Hati bahwa berbahagialah orang yang mempersiapkan hatinya untuk mengenal Tuhan, karena hati itulah yang mengetahui Allah, yang dekat kepadaNya, yang bekerja karena Allah, dan berusaha menuju kepada Allah, dan hati pula yang menjadi terbukanya apa yang ada di sisi Allah dan sekitarnya. Adapun anggota tubuh hanyalah mengikuti, melayani dan menjadi alat. Hati menggunakan anggota badan sebagai pelayan dan menggunakannya sebagaimana raja menggunakan hambanya, atau pemimpin kepada yang dipimpinnya. Maka hati akan diterima di sisi Allah bilamana bersih dari selain Allah dan terhijab bilamana diisi dengan yang selain Allah.
Pensucian hati merupakan syarat bagi tarekat dan dzikir merupakan awal tarekat yang sesungguhnya. Bagian kedua dari tarekat menurut al-Ghazali adalah istighraqu al-qalbi bi dzikirillah (menenggelamkan diri pada dzikir kepada Allah). Kalau tarekat diibaratkan sebagai shalat, maka dzikir merupakan takbiratul ihramnya (awal permulaan shalat). Artinya pensucian hati ini bagi al-Ghazali baru merupakan syarat bagi tarekat, seperti halnya mengambil air wudlu atau bersuci bagi orang yang akan menjalankan shalat. Sedangkan awal tarekat yang sesungguhnya adalah dzikir.
Pada bab enam Kimiā as-Sa’ādah , al-Ghazali mengemukakan ada dua tingkatan zikir. Yang pertama adalah tingkatan para wali yang tidak lagi berkepentingan kepada dunia, tetapi pikiran mereka hanya tertuju kepada Allah. Mereka yang demikian larut dalam zikir ini tidak mendengarkan lagi apa yang dibicarakan orang dengan mereka dan tidak melihat orang yang lewat di depannya. Tingkatan kedua adalah zikir orang yang dinamakan aṣhāb al-yamīn. Orang ini sadar bahwa Allah mengetahui tentang mereka tetapi tidak larut dalam mengingat Allah seperti yang terjadi pada para wali.[132]
D. Ma’rifatullah sebagai Kebaikan Tertinggi
Tahap ketiga adalah Tajalli (Ma’rifatullah). Bagi yang berhasil dalam usahanya mendekatkan diri kepada Allah berarti ma’rifatullah sudah didapatkannya. Dengan ma’rifatullah tercapailah kebahagiaan yang diusahakan salik selama ini. Kebahagiaan yang demikian diungkapkan al-Ghazali dalam kitabnya \Mizan al-‘amal. Kelezatan dan kebahagiaan bagi anak Adam itu adalah ma’rifatullah dia gembira dan tidak sabar untuk menyaksikannya. Apabila ma’rifah itu lebih tinggi tingkatannya lebih besar pula kelezatan yang dirasakan. Seperti seseorang yang mengenal menteri dia gembira, tapi apabila mengenal raja maka kegembiraannya lebih besar lagi. Tidak ada wujud yang lebih mulia dari pada Allah Swt, karena kemuliaan semua wujud ini berada denganNya dan dari Dia. Dan semua keajaiban alam adalah bekas dari perbuatanNya. Maka tidak ada ma’rifah yang lebih mulia daripada ma’rifah kepadaNya. Dan tidak ada kelezatan yang lebih besar daripada kelezatan ma’rifah kepadaNya. Tidak ada pemandangan yang lebih indah daripada memandang hadhiratNya. Setiap kelezatan duniawi tergantung pada diri lahir. Kelezatan yang seperti ini berakhir dengan datangnya maut. Kelezatan ma’rifah dengan Tuhan tergantung pada qalb. Qalbu tidak dibatasi oleh maut, karena dia tidak musnah dengan datangnya maut seseorang. Bahkan kelezatan dirasakan semakin lebih besar dengan datangnya maut karena berarti dia keluar dari alam gelap ke alam terang menuju Tuhan.[133]
Ma’rifah adalah turunnya Nur Ilahi ke dalam qalbu seseorang sehingga dia lupa akan individualitas dirinya dan merasakan kenikmatan sinar Ilahi itu tanpa dapat dilukiskan dengan kata-kata. Para sufi yang ingin sampai ke derajat ma’rifah berusaha membersihkan qalbunya dari noda-noda yang mengotorinya. Pembersihan diri ini bila berhasil haruslah diyakininya sebagai kehendak Tuhan dan sama sekali bukan dari hasil usahanya sendiri. Ahli ma’rifah bukanlah orang yang bertujuan mencari surga tetapi yang dicari adalah agar bisa bertemu dengan Tuhan.
Pengetahuan biasa yang disebut ilmu berbeda dengan pengetahuan yang lazimnya dikenal di kalangan sufi yang disebut ma’rifah atau irfan. Ma’rifah di kalangan sufi berarti pengetahuan langsung dari Tuhan yang didasarkan pada pandangan yang disingkapkan. Ma’rifah bukanlah hasil dari proses mental, tetapi tergantung seluruhnya dari kemauan dan kehendak Tuhan yang menganugerahkannya sebagai hadiah dari Tuhan kepada mereka yang telah Dia ciptakan mampu menerima ma’rifah itu. Ma’rifah merupakan nur anugerah dari Tuhan yang memancar ke dalam qalbu dan menyusuf ke seluruh kemampuan manusia dengan sinarnya yang menyilaukan. Orang yang sampai pada tingkat ma’rifah melihat rahasia dari unsur yang nyata dalam agama, tetapi ma’rifahnya bukanlah berasal dari agama atau dari jenis pengetahuan manusia. Ma’rifah berhubungan dengan sifat-sifat Tuhan, dan Tuhan sendirilah yang menyampaikan pengetahuan tentang sifat-sifat itu kepada hambaNya yang merenungkan Dia.
Tidak semua kaum sufi itu sampai kepada tingkat ma’rifah. Dan mereka yang dianggap belum matang untuk menerima ma’rifah akan menerima dari para gurunya yang sampai ke tingkat itu pelajaran etika yang cocok bagi kebutuhan mereka. Kaum sufi merasa bahwa alam semesata ini sebagai bayangan yang diproyeksikan dan direfleksikan dari Tuhan.
Dalami Mizan al-‘Amal al-Ghazali membicarakan tentang kebahagiaan akhirat yang merupakan kebahagiaan abadi. Orang yang mengabaikan kebahagiaan akhirat ini disebabkan imannya lemah. Kebahagiaan yang sebenarnya adalah kebahagiaan akhirat sedangkan kebahagiaan duniawi adalah kegiatan semu.[134]

[87] Al-Ghazali, Kimia Kebahagiaan (Bandung: Mizan,tt), hlm. 2
[88] Ibid., hlm. 3.
[89] Ibid., hlm. 5.
[90] Ibid.
[91] Ibid., hlm. 7.
[92] Ibid., hlm. 9.
[93]Ihya, jld. 2, hlm. 204
[94]Ibid., hlm. 206.
[95] Ibid.
[96]Ibid.
[97]Ibid.
[98] Ibid.
[99] Ibid.
[100] Ibid.
[101] Ibid.
[102] Ibid., hlm. 207.
[103] Ibid., hlm. 209.
[104] Ibid.
[105] Ibid., hlm. 213-214.
[106] Ihya, jld. II, hlm. 218.
[107] Ibid., hlm. 210-212.
[108] Ibid., hlm. 219.
[109] Ibid., hlm. 221.
[110] Ibid.
[111] Al-Ghazali (Majmu’ah ar-Rasā’il), Kimiā as-Sa’ādah, (Beirut: Daar al-Fikri, 1996), hlm. 420.
[112] Ibid., hlm. 421.
[113] Ibid., hlm. 425.
[114] Ibid.
[115] Al-Ghazali, al-Munqiż min ad-alāl, hlm. 86.
[116] Al-Ghazali, al-Munqiż min ad-alāl., hlm. 23.
[117] Ibid., hlm. 26
[118] Ibid., hlm. 31
[119] Ibid., hlm. 33-35.
[120] Ibid., hlm. 68.
[121]Ibid., hlm. 75.
[122] Ibid., hlm. 68.
[123]Ibid., hlm. 74.
[124] James Hastings, Encyclopedia of Religion and Ethics, vol. V, (New York: Charles Scribner’s Sons, tt), hlm. 508.
[125] Ibid.
[126] Pada Ihya jilid I al-Ghazali membicarakan tentang ilmu pengetahuan, I’tikad, rahasia thaharah, rahasia shalat, rahasia zakat, rahasia puasa, rahasia haji, kemudian tata krama membaca al-Qur’an, zikir dan do’a, setelah itu tentang wirid.
[127] Pada Ihya jilid II al-Ghazali membicarakan tentang tata krama makan dan minum, pentingnya menikah, tentang penghidupan, halal dan haram, persahabatan, uzlah, bepergian, mendengarkan musik, amar ma’ruf, dan mencari nafkah.
[128] Ibid., hlm. 509
[129]Ibid.
[130] Pengosongan dari sifat-sifat tercela disebut takhalli, pengisian dengan sifat-sifat terpuji disebut tahalli dan akhirnya mencapai kejernihan hati disebut tajalli. Lih. M. Amin Syukur, Tasawuf Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 10.
[131] Perbuatan yang mengotori hati ini dibicarakan al-Ghazali dalam Ihya jilid III. Di awal jilid III ini al-Ghazali membicarakan tentang keajaiban hati.
[132] Kimiā as-sa’ādah, hlm. 36-38.
[133] Kimia al-Sa’adah, hlm. 426.
[134] Al-Ghazali, Mīzān al-‘Amal, http://www.alwarraq.com, hlm. 37.